Senin, 04 Mei 2020

SEBAB-SEBAB HAPUSNYA HUKUMAN DAN PERMASALAHANNYA

MAKALAH
 Sebab-sebab Hapusnya Hukuman dan Permasalahannya


Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Fiqh Jinayah
Fakultas Syariah dan Hukum Islam Prodi Hukum Keluarga Islam 
Kelompok 8 Semester 6

Oleh Kelompok 11

GISTY ELYANA (01171234)
MUH. FAISAL (01171215)


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM ISLAM 
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BONE
TAHUN 2019/2020

KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah swt yang telah menurunkan beberapa kitab suci yang menjadi petunjuk bagi umat manusia, baik secara umum maupun secara khusus, demi keselamatan umat manusia itu sendiri. Shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada junjungan Nabi Muhammad saw yang diutus oleh Allah swt untuk merubah peradaban dari yang kelam dan jahiliyah menuju kehidupan yang terang benderang dengan cahaya sebagai rahmat bagi alam semesta dan manusia itu sendiri.
Rasa syukur atas nikmat yang tak henti-hentinya telah Allah swt berikan kepada penulis sehingga mampu menyelesaikan makalah yang berjudul “Sebab-Sebab Hapusnya Hukuman dan Permasalahannya” untuk memenuhi tugas mata kuliah.
Proses pembuatan makalah ini tidak terlepas dari berbagai hambatan. Namun, berkat bantuan dan aspirasi serta motivasi dari berbagai pihak baik terkait secara langsung maupun secara tidak langsung sehingga makalah ini dapat di selesaikan.
Watampone, 4 Mei 2020

DAFTAR ISI
Sampul i
Kata Pengantar ii
Daftar Isi iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 1
C. Tujuan Penulis 2
BAB II  PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukuman 3
B. Dasar Hukuman 6
C. Sebab-sebab hapusnya Hukuman dan Permasalahannya 7
D. Syarat-syarat hapusnya Hukuman 16
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan 18
B. Saran 19
Daftar Pustaka iv


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukuman adalah suatu penderitaan atau nestapa, atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan yang diberikan dengan sengaja oleh badan yang berwenang kepada seseorang yang cakap menurut hukum yang telah melakukan perbuatan atau peristiwa pidana.
Hukuman karena keadaan pelaku, hukuman tidak dijatuhkan karena kondisi psikis dari pelaku sedang terganggu, misalnya karena gila, dipaksa, mabuk, atau masih dibawah umur. Asbabraf ’ aluqubah atau sebab hapusnya hukuman, tidak mengakibatkan perbuatan yang dilakukan itu diperbolehkan, melainkan tetap pada asalnya yaitu dilarang. Hanya saja oleh karena keadaan pelaku tidak memungkainkan dilaksanakannya hukuman, ia dibebaskan dari hukuman.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu hukuman ?
2. Apa dasar hukuman?
3. Apa sebab-sebab hapusnya hukuman dan permasalahannya?
4. Apa syarat-syarat hapusnya hukuman dan permasalahannya?
C. Tujuan Pembahasan Masalah
1. Untuk mengetahui apa itu hukuman
2. Untuk mengetahui apa dasar hukuman
3. Untuk mengetahui apa sebab-sebab hapusnya hukuman dan permasalahannya
4. Untuk mengetahui apa syarat-syarat hapusnya hukuman dan permasalahannya


BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukuman
Menurut Kamus Bahasa Indonesia karangan S. Wojowasito, hukuman berarti siksaan atau pembalasan kejahatan (kesalahan dosa). Hukuman menurut Abdul Qadir Audah. Hukuman adalah pembalasan yang ditetapkanuntuk memelihara kepentingan masyarakat, karena adanya pelanggaran atas ketentuan-ketentuan syara’. Menurut Sudarto seperti yang dikutip oleh Mustafa Abdullah dan Ruben Ahmad hukuman adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang lain yang melakukan perbuatan yang memenuhi syaral-syarat tertentu. Dari defenisi diatas dapat diambil intisari bahwa hukuman adalah suatu penderitaan atau nestapa, atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan yang diberikan dengan sengaja oleh badan yang berwenang kepada seseorang yang cakap menurut hukum yang telah melakukan perbuatan atau peristiwa pidana.
B.  Dasar Hukuman
Terdapat dalam surah an-Nisa ayat 58 dan ayat 135
 •           ••     •      •       
Artinya:  Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.

                                   •        
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.
C. Sebab-sebab Hapusnya Hukuman dan Permasalahannya
Dalam kaitan dengan hapusnya hukuman karena keadaan pelaku, hukuman tidak dijatuhkan karena kondisi psikis dari pelaku sedang terganggu, misalnya karena gila, dipaksa, mabuk, atau masih dibawah umur. Asbabraf ’ aluqubah atau sebab hapusnya hukuman, tidak mengakibatkan perbuatan yang dilakukan itu diperbolehkan, melainkan tetap pada asalnya yaitu dilarang. Hanya saja oleh karena keadaan pelaku tidak memungkainkan dilaksanakannya hukuman, ia dibebaskan dari hukuman. Sebab-sebab hapusnya hukuman :
a. Paksaan (al ikrah)
Paksaan adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang karena orang lain, dan oleh karena itu hilanglah kerelaannya atau tidak sempurna pilihannya atau paksaan adalah suatu perbuatan yang timbul dari orang yang memaksa dan menimbulkan pada diri orang yang dipaksa suatu keadaan yang mendorong dirinya untuk mengerjakan perbuatan yang dimintakan kepadanya. Atau paksaan adalah ancaman oleh seseorang atas  orang lain dengan sesuatu yang tidak disenangi untuk mengerjakan sesuatu sehingga karenanya hilang kerelaannya.
Paksaan atau koersi adalah praktik memaksa pihak lain untuk berperilaku secara spontan (baik melalui tindakan atau tidak bertindak) dengan menggunakan ancaman, imbalan, atau intimidasi atau bentuk lain dari tekanan atau kekuatan. Dalam hukum, pemaksaan dikodifikasikan sebagai kejahatan paksaan. Tindakan tersebut digunakan sebagai pengaruh, memaksa korban untuk bertindak dengan cara yang diinginkan. Paksaan mungkin melibatkan penderitaan sebenarnya rasa sakit fisik/cedera atau kerusakan psikologis dalam rangka meningkatkan kredibilitas ancaman. Ancaman kerusakan lebih lanjut dapat menyebabkan kerja sama atau kepatuhan dari orang yang dipaksa. Penyiksaan adalah salah satu contoh yang paling ekstrem dari sakit parah adalah pemaksaan yaitu ditimbulkan sampai korban memberikan informasi yang dikehendaki.
b. Mabuk (al sukru)
Mabuk dalam pengertian umum, adalah keadaan keracunan karena konsumsi alkohol sampai kondisi di mana terjadi penurunan kemampuan mental dan fisik. Gejala umum antara lain bicara tidak jelas, keseimbangan kacau, koordinasi buruk, muka semburat, mata merah, dan kelakuan-kelakuan aneh lainnya. Seorang yang terbiasa mabuk kadang disebut sebagai seorang alkoholik, atau "pemabuk". namun jika dikaji secara mendalam dalam ilmu filsafat dan agama, mabuk berarti tidak mengerti apa yang dikerjakan namun dalam keadaan sadar.
Pengertian lain yang dimaksud dengan mabuk adalah hilangnya akal sebagai akibat minum minuman keras atau khamar atau yang sejenisnya. Muhammad ibn Hasan dan Imam Abu Yusuf berpendapat bahwa orang mabuk  itu adalah orang yang banyak mengigau pada pembicaraannya.  “ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan”.
c. Gila (al jununu)
Secara umum dan luas, gila memiliki pengertian “ hilangnya akal, rusak atau lemah” . Definisi tersebut merupakan definisi secara umum dan luas, sehingga mencakup gila (junun), dungu (al‘ithu), dan semua jenis penyakit kejiwaan hyang sifatnya menghilangkan idrak (kemampuan berfikir). Berdasarkan Pasal 44 ayat (1) KUHPid, tidak dipidana mereka yang melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan (ontoegerekend) kepadanya karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau jiwanya terganggu karena penyakit.
1) Gila terus menerus
Gila terus menerus adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak dapat berpikir sama sekali, baik hal itu diderita sejak lahir maupun yang datang kemudian. Dikalangan fuqaha, gila semacam ini disebut dengan Al-Jununu Al-Muthbaq.
Gila berselang
Orang yang terkena penyakit gila berselang tidak dapat berfikir, tetapi tidak terus-menerus. Apabila keadaan tersebut menimpanya maka ia kehilangan pikirannya sama sekali, dan  apabila keadaan tersebut telah berlalu (hilang) maka ia dapat berpikir kembali seperti biasa. Pertanggungjawaban pidana pada gila terus menerus hilang sama sekali, sedang pada gila berselang ia tetap dibebani pertanggungjawaban ketika ia dalam kondisi sehat.
Gila sebagian
Gila sebagian menyebabkan seseorang tidak dapat berpikir dalam perkara-perkara tertentu, sedangkan pada perkara-perkara yang lain ia masih tetap dapat berpikir. Dalam kondisi dimana ia masih dapat berpikir, ia tetap dibebani pertanggungjawaban pidana, tetapi ketika ia tidak dapat berpikir, ia bebas dari pertanggungjawaban pidana.
d. Dungu (Al-‘Ithu)
Menurut para fuqaha sebagaimana dikutip oleh Abdul Qadir Audah memberikan definisi sebagai berikut: “orang dungu adalah orang yang minim pemahamannya, pembicaraannya bercampur baur, tidak beres pemikirannya, baik hal itu bawaan sejak lahir atau timbul kemudian karena suatu penyakit. Dapat dipahami ba hwa dungu merupakan tingkatan gila yang paling rendah dan dungu bias dikatakan berbeda dengan gila, karena hanya mengakibatkan lemahnya berpikir bukan menghilangkannya, sedangkan gila mengakibatkan hilangnya atau kacaunya kekuatan ber pikir, sesuai dengan tingkatan - tingkatan kedunguannya, namun orang yang dungu bagaimanapun tidak sama kemampuan berpikirnya dengan orang biasa” . Namun secara umum orang dungu tidak dibebani pertanggungjawaban pidana.
e. Tuli dan Bisu
Tuli adalah kondisi fisik yang ditandai dengan penurunan atau ketidakmampuan seseorang untuk mendengarkan suara. Bisu adalah ketidakmampuan seseorang untuk berbicara. Bisu disebabkan oleh gangguan pada organ-organ seperti tenggorokan, pita suara, paru-paru, mulut, lidah, dsb. Bisu umumnya diasosiasikan dengan tuli.
f. Gerakan Tidur
Dimana suatu keadaan tidak sadar dimana persepsi dan reaksi individu terhadap lingkungan menurun atau hilang, dapat di bangunkan kembali dengan indra atau rancangan yang cukup.
g. Hipnotis
Hipnotis adalah salah satu ilmu yang digunakan untuk bermain dengan alam bawah sadar manusia, setelah seseorang memasuki alam bawah sadarnya kita bisa menanamkan sugesti tertentu dalam pikiran mereka dan membuat mereka melakukan hal-hal yang kita perintahkan.
h. Dibawah umur (shighar assinni)
Menurut syari’at Islam, pertanggungjawaban pidana didasarkan atas dua perkara, yakni kekuatan beripikir dan pilihan atau iradah dan ikhtiar . Oleh karena itu, kedudukan anak kecil berbeda-beda menurut perbedaan-perbedaan masa yang dilalui hidupnya, mulai darikelahiran sampai masa memiliki kedua perkara tersebut. Hasil penyelidikan para fuqaha’ mengatakan bahwa masa tersebut ada tiga yang dialami oleh setiap orang sejak ia dilahirkan sampai dewasa:
1) Masa tidak adanya kemampuan berpikir (idrak) (0-2 tahun)
Masa ini dimulai sejak dilahirkan sampai pada usia tujuh tahun. Pada masa ini seorang anak dianggap tidak mempunyai kemampuan berpikir atau belum tamyiz . Boleh jadi anak yang belum berusia tujuh tahun menunjukkan kemampuan berpikir, tetapi ia tetap dianggap belum tamyiz karena yang menjadi ukuran kebanyakan orang bukan perseorangan. Jarimah yang dilakukan oleh anak di bawah umur tujuh tahun tidak dikenakan hukuman pidana atau pun sebagai pengajaran. Menurut Piaget, bayi lahir dengan sejumlah refleks bawaan selain juga dorongan untuk mengeksplorasi dunianya. Skema awalnya dibentuk melalui diferensiasi refleks bawaan tersebut. Periode sensorimotor adalah periode pertama dari empat periode. Piaget berpendapat bahwa tahapan ini menandai perkembangan kemampuan dan pemahaman spatial penting dalam enam sub-tahapan:
Sub-tahapan skema refleks , muncul saat lahir sampai usia enam minggu dan berhubungan terutama dengan refleks.
Sub-tahapan fase reaksi sirkular primer, dari usia enam minggu sampai empat bulan dan berhubungan terutama dengan munculnya kebiasaan-kebiasaan.
Sub-tahapan fase reaksi sirkular sekunder , muncul antara usia empat sampai sembilan bulan dan berhubungan terutama dengan koordinasi antara penglihatan dan pemaknaan.
Sub-tahapan koordinasi reaksi sirkular sekunder , muncul dari usia sembilan sampai dua belas bulan, saat berkembangnya kemampuan untuk melihat objek sebagai sesuatu yang permanen walau kelihatannya berbeda kalau dilihat dari sudut berbeda (permanensi objek).
Sub-tahapan fase reaksi sirkular tersier , muncul dalam usia dua belas sampai delapan belas bulan dan berhubungan terutama dengan penemuan cara-cara baru untuk mencapai tujuan.
Sub-tahapan awal representasi simbolik , berhubungan terutama dengan tahapan awal kreativitas.
2) Masa kemampuan berpikir yang lemah (2-11 tahun)
Masa kemapuan berpikir lemah dimulai sejak usia 7 (tujuh) tahun sampai mencapai usia baligh, dan kebanyakan para ulama membatasinya dengan usia 15 (lima belas) tahun. Pada masa tersebut, seorang anak tidak dikenakan pertanggung jawaban pidana akan tetapi ia bisa dijatuhi pengajaran. Anak-anak belajar berfikir menggunakan simbol-simbol, dan pencitraan batiniah. namun pikiran mereka masih tidak sistematis dan tidak logis. pikiran di titik ini sangat berbeda dengan pikiran orang dewasa untuk dapat memahami suatu permasalahan sangatlah sulit, karena di masa ini anak masih ingin memahami kepribadiannya. Maka dari itu pada masa ini harus lah peran orang tua untuk membentuk sifat perilaku si anak tersebut sehingga ketika usia nya sudah dewasa maka pemikiran nya juga layak untuk di pergunakan.
3) Masa kemampuan berpikir penuh (11- tahun sampai dewasa)
Masa ini dimulai sejak anak mencapai usia kecerdikan ( Sinnur rusdy), dengan perkataan lain anak tersebut telah mencapai usia 15 (lima belas) tahun atau 18 (delapan belas) tahun. Pada masa ini seorang anak sudah dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana atas semua Jari>mah Jari>mah yang telah diperbuatnya.Tahap operasional formal adalah periode terakhir perkembangan kognitif dalam teori Piaget. Tahap ini mulai dialami anak dalam usia sebelas tahun (saat pubertas) dan terus berlanjut sampai dewasa. Karakteristik tahap ini adalah diperolehnya kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia. Dalam tahapan ini, seseorang dapat memahami hal-hal seperti cinta, bukti logis, dan nilai. Ia tidak melihat segala sesuatu hanya dalam bentuk hitam dan putih, namun ada "gradasi abu-abu" di antaranya. Dilihat dari faktor biologis, tahapan ini muncul saat pubertas (saat terjadi berbagai perubahan besar lainnya), menandai masuknya ke dunia dewasa secara fisiologis, kognitif, penalaran moral, perkembangan psikoseksual, dan perkembangan sosial. Beberapa orang tidak sepenuhnya mencapai perkembangan sampai tahap ini, sehingga ia tidak mempunyai keterampilan berpikir sebagai seorang dewasa dan tetap menggunakan penalaran dari tahap operasional konkrit.
D.  Syarat-syarat hapusnya hukuman
Pembatalan hukuman adalah tidak dapat dilakukannya suatu putusan pengdilan yang telah dijatuhkan berkenaan berbagai sebab, baik sebab itu pada diri terhukum maupun usaha-usaha terhukum, atau berkaitan dengan masalah waktu hukuman. Dalam hal ini, terdapat perbedaan antara terhapusnya hukuman dengan pembatalan hukuman. Pada terhapusnya hukuman, tidak terdapat pertanggung jawaban pidana, karena perkaranya tidak diproses sehingga tidak ada keputusan hakim. Adapun pada pembatalan hukuman, pertanggung jawaban pidana itu  ada dan telah diproses di pengadilan sehingga terdapat keputusan hakim. Namun karena sebab-sebab seperti tersebut di atas, keputusan tersebut tidak dapat dilaksakan kepada terhukum. Berikut ini beberapa hal atau perbuatan yang menyebabkan terjadinya gugurnya hukuman:
a) Meninggalnya si pembuat Jarimah .
Hukuman mati yang ditetapkan kepada si pelaku menjadi batal pelaksanaannya bila si pelakunya meninggal. Namun, hukuman yang berupa harta seperti denda, diyat . Diyat adalah sejumlah harta yang wajib di berikan kepada pihak yang terbunuh. Diyat berlaku atas perbuatan pembunuhan atau melukai atau menghilangkan manfaat anggota badan, Diyat di syari'atkan dengan maksud mencegah perampasan jiwa atau penganiayaan terhadap manusia yang harus di pelihara keselamatan jiwanya.Dan perampasan harta dapat terus dilaksanakan.
b) Hilangnya anggota badan yang akan dijatuhi hukuman.
Dalam kasus Jarimah qisas (Al-Jurnani adalah yang mengenakan sebuah tindakan (sanksi hukum) kepada pelaku persis seperti tindakan yang dilakukan oleh pelaku tersebut (terhadap korban). hukuman berpindah kepada hukuman diyat .
c) Bertobat,
menurut para ulama tobat ini hanya ada pada Jarimah hirabah. Hirabah berasal dari kata Harb yang artinya perang. Menurut buku Fiqh Sunnah jilid 9 karya Sayyid Sabiq, Hirabah adalah keluarnya gerombolan bersenjata didaerah Islam untuk mengadakan kekacauan, penumpahan darah, perampasan harta, mengoyak kehormatan, merusak tanaman, peternakan, citra agama, akhlak, ketertiban dan undang-undang baik gerombolan tersebut dari orang Islam sendiri maupun kafir Dzimmi atau kafir Harbi).49 Namun mereka juga memberikan keleluasaan bagi ulil amri untuk memberikan sanksi ta’zir demi kemaslahatan umum.
d) Korban (dalam hal masih hidup) dan wali/ahliwaris
 (dalam hal korban mati), memaafkannya (dalam qisas diyat ) ataupun ululamri dalam kasus ta’zir yang berkaitan dengan hak perseorangan.
e) Adanya upaya damai antar pelaku dengan korban atau wali/ahli warisnya dalam kasus Jarimah qisas /diyat .

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut Sudarto seperti yang dikutip oleh Mustafa Abdullah dan Ruben Ahmad hukuman adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang lain yang melakukan perbuatan yang memenuhi syaral-syarat tertentu. Adapun dasar hukuman terdapat dalam surah an-Nisa ayat 58 dan ayat 135.
Dalam kaitan dengan hapusnya hukuman karena keadaan pelaku, hukuman tidak dijatuhkan karena kondisi psikis dari pelaku sedang terganggu, misalnya karena gila, dipaksa, mabuk, atau masih dibawah umur. Asbabraf ’ aluqubah atau sebab hapusnya hukuman, tidak mengakibatkan perbuatan yang dilakukan itu diperbolehkan, melainkan tetap pada asalnya yaitu dilarang. Hanya saja oleh karena keadaan pelaku tidak memungkainkan dilaksanakannya hukuman, ia dibebaskan dari hukuman. Sebab-sebab hapusnya hukuman : paksaan, mabuk, gila, dungu, tuli-bisu, gerakan tidur, hipnotis, dibawah umur.
Pembatalan hukuman adalah tidak dapat dilakukannya suatu putusan pengdilan yang telah dijatuhkan berkenaan berbagai sebab, baik sebab itu pada diri terhukum maupun usaha-usaha terhukum, atau berkaitan dengan masalah waktu hukuman. Dalam hal ini, terdapat perbedaan antara terhapusnya hukuman dengan pembatalan hukuman. Pada terhapusnya hukuman, tidak terdapat pertanggung jawaban pidana, karena perkaranya tidak diproses sehingga tidak ada keputusan hakim. Adapun pada pembatalan hukuman, pertanggung jawaban pidana itu  ada dan telah diproses di pengadilan sehingga terdapat keputusan hakim.
B. Saran
Setelah mengetahui betapa pentingnya mempelajari fiqh jinayah, maka dari itu kita sebagai bagian dari masyarakat harus menerapkannya agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan dan untuk menanggulangi masalah-masalah yang terjadi karena hukuman sehingga dalam makalah ini kami membahas sebab-sebab hapusnya hukuman. Dan bagi para pembaca yang ingin membuat makalah seperti ini, penulis sarankan agar memperbanyak referensi dan banyak membaca, karena dengan memperbanyak referensi dan banyak membaca dapat memperluas pengetahuan dan memudahkan pembaca dalam membuat sebuah makalah.

DAFTAR PUSTAKA
https://id.wikipedia.org/wiki/Mabuk.
Qadir Abdul  Audah, At Tasyri’ Al Jina’I Al Islami , (Beirut, Dar Al-Kitab Al-‘Araby, t.t), h.116.
Miramis Frans, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di  Indonesia (PT Raja Grafindo, 2012), .h. 173.
HanafiAhmad, Asas - Asas Hukum Pidana Islam, Cet IV , (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h.121.
Wardi Ahmad Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam , (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h.114.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PERMASALAHAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA

PERMASALAHAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas p...