PERMASALAHAN JARIMAH
TAKZIR
Diajukan
untuk memenuhi salah satu tugas pada Mata Kuliah Fiqh Jinayah,
Program
Studi Hukum Keluarga Islam,
Fakultas
Syariah dan Hukum Islam,
IAIN
BONE
Oleh :
KELOMPOK 10
NANA
HARDIANA KAHAR
NIM.01.17.1227
AHMAD
FAUZY
NIM.01.17.1211
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
BONE
2020
PEMBAHASAN
a.
Pengertian Jarimah Ta’zir
Jarimah Ta’zir secara bahasa adalah memberi pengajaran
(al-ta’dib). Sedangkan jarimah Ta’zir menurut hukum pidana islam adalah
tindakan yang berupa edukatif (pengajaran) terhadap pelaku perbuatan dosa yang
tidak ada sanksi hadd dan kifaratnya. Atau kata lain, ta’zir adalah hukuman
yang bersifat edukatif dan hukumannya di tentukan oleh hakim, atau pelaku
tindak pidana atau pelaku perbuatan maksiat yang hukumannya belum ditentukan
oleh syari’at.
Dapat dijelaskan bahwa ta’zir adalah
suatu istilah untuk hukuman atas jarimah-jarimah yang hukumannya belum
ditetapkan oleh syara’, dikalangan para fuqoha jarimah yang hukumannya belum di
tetapkan oleh syara’ biasa disebut dengan jarimah ta’zir. Dapat dipahami juga
bahwa jarimah ta’zir terdiri atas perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak di
kenakan hukuman had dan tidak pula kifarat. Jadi,hukuman ta’zir tidak mempunyai
batas-batas hukuman tertentu, karena syara’ hanya menyebutkan sekumpulan
hukuman, mulai dari yang seringan-ringannya sampai yang seberat-beratnya.
Dengan kata lain, hakim yang berhak menetukan macam tindak pidana beserta
hukumannya, karena hukumannya belum di tentukan oleh syara’.
Dengan demikian ciri khas dari jarimah ta’zir adalah :
1.
Hukumannya tidak tertentu dan tidak
terbatas. Artinya hukuman tersebut belum di tentukan oleh syara’.
2. Penetuan hukuman tersebut adalah
oleh hakim.
Aturan hukum pidana islam yang paling fleksibel terdapat
pada jarimah ta’zir, Pada kategori jarimah ini, baik kriminalisasi suatu
perbuatan maupun hukumannya diserahkan kepada Hakim. Jadi ta’zir merupakan
hukuman bagi perbuatan pidana (jarimah) yang tidak ada ketetapannya nas tentang
hukumnya.
1.
Jika dilihat dari eksistensinya
jarimah ta’zir sama dengan jarimah hudud, karena keduanya sama-sama sebagai
pengajaran (al-ta’lib) untuk mencapai kemaslahatan dan sebagai tindakan
preventif yang macam hukumnya berbeda-beda sesuai jenis perbuatan dosa atau
tindak pidana yang dilakukan. Jika pada jarimah hudud sudah ditentukan secara
pasti dan jelas hukuman-hukumannya, dan tidak bisa dirubah atau diganti,
sedangkan pada jarimah ta’zir belum ditentukan hukumannya.
Mengenai macam-macam hukuman yang
ada pada jarimah ta’zir adalah mulai dari memberi nasehat atau peringatan,
hukuman cambuk, penjara, dan lain-lain, bahkan sampai hukuman mati, jika
jarimah yang dilakukan benar-benar sangat membahayakan, baik yang dirasakan
oleh dirinya maupun masyarakat. Oleh karena itu hakim boleh memilih hukuman
tersebut tentunya disesuaikan dengan jenis perbuatan atau tindak pidana yang
dilakukan, baik mengenai kriteria pelakunya maupun factor-faktor penyebabnya.
Dalam sebuah riwayat dinyatakan bahwa Umar bin khathab ra.
Pernah menjatuhkan hukuman ta’zir dan pembinaan dengan memotong rambut,
mengasingkan, dan cambuk. Sebagaimana dia juga pernah membakar warung para
tukang khamar serta kampung tempat perjualan khamar. Dia juga membakar istana
Sa’ad bin Abi Waqqash di kufah lantaran keberadaan istana ini membuatnya
tertutup dengan rakyat. Dia membuat cambuk untuk memukul orang yang layak
mendapatkan cambukan serta membuat bangunan penjara dan mencambuk wanita yang
meratapi jenazah hingga rambutnya terlihat. Tiga imam Fiqih mengatakan itu
wajib, syafi’I mengatakan tidak wajib.
Pelaksanaan hukuman pada jarimah ta’zir yang sudah
diputuskan oleh hakim, juga menjadi hak penguasa Negara atau petugas yang
ditunjuk olehnya. Hal ini oleh karena hukuman itu disyari’atkan untuk
melindungi masyarakat, dengan demikian hukuman tersebut menjadi haknya dan
dilaksanakan oleh wakil masyarakat, yaitu penguasa Negara seperti presiden atau
aparat Negara. Orang lain, selain penguasa atau orang yang ditunjuk oleh nya
tidak boleh melaksankan hukuman ta’zir, meskipun hukuman tersebut menghilangkan
nyawa. Apabila iamelaksanakan sendiri dan hukumannya berupa hukuman mati
sebagai ta’zir maka ia dianggap sebagai pembunuh, walaupun sebenarnya hykuman
mati tersebut adalah hukuman yang menhilanhkan nyawa.
Dari uraian tersebut di atas terlihat adanya perbedaan
pertanggung jawaban dari pelaksanaan hukuman yang tidak mempunyai wewenang,
dalam melaksanakan hukuman mati sebagai had dan sebagai ta’zir. Orang yang
melaksanakan sendiri hukuman mati sebagai had, tidak dianggap sebagai pembunuh,
sedangkan yang melaksanaakan sendiri hukuman mati sebagai ta’zir dianggap
sebagai pembunuh. Perbedaan tersebut disebabkan , karena hukuman had adalah
hukuman yang sudah pasti yang tidak bisa digugurkan atau dimaafkan, sedangkan
hukuman ta’zir masih bisa dimaafkan oleh penguasa Negara, apabila situasi dan
kondisi menghendaki untuk dimaafkan dengan berbagai pertimbangan.
b. Macam-macam
jarimah Ta’zir
Dapat dijelaskan bahwa dari hak yang dilanggar, jarimah
ta’zair dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu ;
1.
Jarimah ta’zir yang menyinggung hak
Allah;
2.
Jarimah ta’zir yang menyinggung hak
individu.
Dari segi sifatnya, jarimah ta’zir dapat dibagi kepada tiga
bagian, yaitu
a.
Ta’zir karena melakukan perbuatan
maksiat;
b.
Ta’zir karena melakukan perbuatan
yang membahayakan kepentingan umum;
c.
Ta’zir karena melakukan pelanggaran.
Di samping itu,
dilihat dari segi dasar hukum (penetapannya), ta’zir juga dapat di bagi menjadi
kepada tiga bagian, yaitu sebagai berikut.
1)
Jarimah ta’zir yang berasal dari
jarimah-jarimah hudud atau qishas, tetapi syarat-syaratnya tidak dipenuhi, atau
ada syubhat, seperti pencurian yang tidak mencapai nishab, atau oleh keluaraga
sendiri.
2) Jarimah ta’zir yang jenisnya
disebutkna dalam nas syara’ tetapi hukumannya belum ditetapkan, sepeti riba,
suap,dan mengurangi takaran dan timbangan.
3)
Jarimah ta’zir yang baik jenis
maupun sanksinya belum ditentukan oleh syara’.
Jenis
ketiga ini sepenuhnya diserahkan kepada ulil amri, seperti pelanggaran disiplin
pegawai pemerintah.
c.
Macam-macam hukuman jarimah Ta’zir
Hukuman ta’zir adalah jumlahnya sangat banyak, karena
mencakup semua perbuatan maksiat yang hukumannya belum ditentukan oleh syara’
dan diserahkan kepada ulil amri untuk mengaturnya dari hukuman yang paling
ringan sampai yang paling berat. Dalam penyelesaian perkara yang termasuk
jarimah ta’zir, hakim diberi wewenang untuk memilih diantara kedua hukuman
tersebut,mana yang sesuai dengan jarimah yang dilakukan oleh pelaku.
Dalam ta’zir, hukuman itu tidak ditetapkan dengan ketentuan
(dari Allah dan rasulnya), dan Qodhi diperkenankan untuk mempertimbangkan baik
bentuk hukuman yang akan dikenakan kadarnya.
Melukai atau penganiayaan bisa sengaja, semi sengaja, dan
kesalahan. Dalam hal ini para ulama membaginya menjadi 5 macam, yaitu:
1. Ibanat al-athraf, yaitu memotong
anggota badan, termasuk di dalamnya pemotongan tangan, kaki, hidung, gigi, dan
sebagainya.
2.
Idzhab ma’a al-athraf, yaitu
menghilangkan fungsi anggota badan (anggota badan tetap ada tapi tidak bisa
berfungsi), misalnya membuat korban tuli, buta, bisu, dan sebagainya.
3.
As-syaj, yaitu pelukaan terhadap
kepala dan muka (secara khusus)
4.
Al-jarh, yaitu pelukaan terhadap
selain wajah dan kepala termasuk di dalamnya yang tidak masuk ke dalam perut
atau rongga dada dan yang masuk ke dalam perut atau anggota dada.
5.
Pelukaan yang tidak termasuk ke
dalam salah satu dari empat jenis pelukaan di atas.
Jenis-jenis hukam ta’zir ini adalah
sebagai berikut :
1.
Hukumann Ta’zir yang Berkaitan
dengan Badan
a. Hukuman mati
Dalam makalah-makalh sebelumnya telah dijelaskan bahwa
hukuman mati ditetapkan sebagai hukuman qishash utnuk pembunuhan sengaja dan
sebagai hukuman had untuk jarimah hirabah, zina muhson, riddah, dan jarimah
pemberontakan. Untuk jarimah ta’zir, hukuman mati ini di terapkan oleh para
fuqoha secara beragam. Hanafiyah membolehkan kepada ulil amri untuk menerapakan
hukuman mati sebagai ta’zir dalam jarimah-jarimah yang jenisnya diancam dengan
hukuman mati apabila jarimah tersebut dilakukan berulang-ulang. Contohnya
pencurian yang berulang-ulang dan menghina nabi beberapa kali yang dilakukan
oleh kafir dzimmi, meskipun setelah itu ia masuk islam.
b. Hukuman jilid (Dera)
Alat yang digunakan untuk hukuman jilid ini adalah cambuk
yang pertengahan (sedang, tidak terlalu besar dan tidak terlalau kecil) atau
tongkat. Pendapat ini juga dikemukakan oleh imam Ibn Taimiyah, dengan alasan
karena sebaik-baiknya perkara adalah pertengahan.
Apabila orang yang dihukum ta’zir itu laki-laki maka baju
yang menghalanginya sampainya cambuk ke kulit harus dibuka. Akan tetapi,
apabila orang terhukum itu seorang perempuan maka bajunya tidak boleh dibuka,
karena jika demikian akan terbukalah auratnya.
2.
Hukuman yang Berkaitan dengan
Kemerdekaan
a) Hukuman penjara
Maksud hukuman penjara disini bukanlah menahan pelaku di
tempat yang sempit, melainkan menahan sseorang yang mencegahnya agar ia tidak
melakukan perbuatan hukum, baik penahanan tersebut di dalam rumah, atau masjid,
maupun ditempat lainnya. Penahan itulah yang dilakukan pada masa nabi dan Abu
bakar. Artinya, pada masa Nabi dan Abu bakar tidak ada tempat yang khusus
disediakan untuk menahan seseorang pelaku.
b) Hukuman pengasingan
Hukuman pengasingan termasuk hukuman had yang
diterapkan untuk pelaku tindak pidana hirabah (perampokan) berdasarkan
Qs. Al- Maidah ayat 33 :
إنما جزاء الذين يحاربون الله ورسوله ويسعون في الأرض فسادا أن
يقتلوا أو يصلبوا أو تقطع أيديهم
وأرجلهم من خلاف أو ينفوا من الأرض ذلك لهم خزي في الدنيا ولهم
في الآخرة عذاب عظيم
Yang artinya :
“sesungguhnya pembalsan terhadap orang-orang yang
memerangi Allah dan Rasulnya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka
dibunuh atau disalib, atau di potong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal
balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya) (QS. Al-Maidah:33)
3.
Hukuman Ta’zir yang Berkaitan dengan
Harta
a. Status hukumannya
Para ulama berpendapat tentang dibolehkannya hukuman ta’zir
dengan cara mengambil harta. Pendapat ini di bolehkan apabila dipandang membawa
maslahat. Pengambilan harta ini bukan semata untuk diri hakim atau untuk kas
umum (Negara), melainkan hanya menahannya untuk sementara waktu. Adapun apabila
pelaku tidak bias di harapkan untuk bertobat maka hakim dapat men-tasarufkan
harya tersebut untuk kepentingan yang mengandung maslahat.
Hukuman-Hukuman
Ta’zir yang Lain
Selain hukuman-hukuman yang telah di sebutkan di atas,
terdapat hukuman ta’zir yang lain hukuman adalah sebagai berikut:
1. Peringatan keras
2. Dihadirkan di hadapan sidang
3. Di beri nasehat
4. Celaan
5. Pengucilan
6. Pemecatan
7. Pengumuman kesalahan secara terbuka.
4.
Pengecualian/orang yang tidak dapat
di hukum ta’zir
Pengecualian dalam tanggung jawab hukuman, Ali
bin Abi thalib berkata kepada Umar bin Khattab : “apakah engkau tahu bahwa
tidaklah di catat perbuatan baik atau buruk, dan tidak pula dituntut tanggung jawab
atas apa yang dilakukan, karena hal berikut:
1.
Orang yang gila sampai dia sadar
2.
Anak-anak sampai dia mencapai usia
dewasa/baligh
3.
Orang yang tidur sampai dia bangun”.
(Riwayat Imam bukhari.)
Berdasarkan riwayat diatas, kita dapat mengetahui tanggung
jawab hukum atau tindak pidana dalam syariat.Tanggung jawab atau tindak pidana
yang dilakukan dibenarkan kepada pelaku kejahatan itu sendiri. Ayah, Ibu,
saudara atau kerabatnya yang lain tak dapat mengambil alih/menjalankan hukuman
karena kejahatan yang dilakukan sebagaimana yang telah terjadi pada masa
jahiliyah, sebelum islam. Al-Qur’anul karim menjelaskan bahwa tak seorang pun
yang akan memikul beban orang lain.
Q.S Al-An’am :124
وإذا جاءتهم آية قالوا لن نؤمن حتى
نؤتى مثل ما أوتي رسل الله الله أعلم حيث يجعل رسالته سيصيب الذين أجرموا صغار عند
الله وعذاب شديد بما كانوا يمكرون
"Apabila
datang sesuatu ayat kepada mereka, mereka berkata: "Kami tidak akan
beriman sehingga diberikan kepada kami yang serupa dengan apa yang telah
diberikan kepada utusan-utusan Allah." Allah lebih mengetahui di mana Dia
menempatkan tugas kerasulan. Orang-orang yang berdosa, nanti akan ditimpa
kehinaan di sisi Allah dan siksa yang keras disebabkan mereka selalu membuat
tipu daya.” (Q.S
Al-An’am: 124)
Tanggung jawab bersama itu hanya akan dipikul oleh keluarga
tersebut dalam hal pembayaran hutang darah (Diyat) atau kerusakan karena suatu
kejahatan. Dalam hal ini, si pelaku, demikian pula kerabatnya dari pihak ayah,
secara bersama akan bertanggung jawab untuk membayar “Diyat” (hutang darah)
atau kerusakan fisik yang diakibatkan oleh kejahatannya.
DAFTAR PUSTAKA
Muslich, Ahmad wardi, Hukum Pidana Islam, Jakarta:
Sinar Grafika,2005.
Syahrur, Muhammad, Limitasi Hukum Pidana Islam,
Semarang: Walisongo Press. 2008.
Rokhmadi, Reformasi Hukum Pidana Islam, Semarang:
Rasail Media Group
Santoso, topo, Membumikan Hukum Pidana Islam,
Jakarta: Gema Insani Press, 2003.
Rahman, abdur, Tindak Pidana Islam, Jakarta: Rineka
Cipta, 1992.
Munajat,
Makhrus. 2004. Dekonstruksi Hukum Pidana Islam. Yogyakarta: Logung pustaka.
Muslich,
Ahmad Wardi. 2005. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar