Jumat, 01 Mei 2020

PERMASALAHAN JARIMAH TAKSIR


PERMASALAHAN  JARIMAH  TAKZIR



Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas pada Mata Kuliah  Fiqh Jinayah,
Program Studi Hukum Keluarga Islam,
Fakultas Syariah dan Hukum Islam,
IAIN BONE

Oleh :
KELOMPOK 10
NANA HARDIANA KAHAR
NIM.01.17.1227
AHMAD FAUZY
NIM.01.17.1211

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
BONE
2020
                                                PEMBAHASAN
a.       Pengertian Jarimah Ta’zir
Jarimah Ta’zir secara bahasa adalah memberi pengajaran (al-ta’dib). Sedangkan  jarimah Ta’zir menurut hukum pidana islam adalah tindakan yang berupa edukatif (pengajaran) terhadap pelaku perbuatan dosa yang tidak ada sanksi hadd dan kifaratnya. Atau kata lain, ta’zir adalah hukuman yang bersifat edukatif dan hukumannya di tentukan oleh hakim, atau pelaku tindak pidana atau pelaku perbuatan maksiat yang hukumannya belum ditentukan oleh syari’at.
Dapat dijelaskan bahwa ta’zir adalah suatu istilah untuk hukuman atas jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’, dikalangan para fuqoha jarimah yang hukumannya belum di tetapkan oleh syara’ biasa disebut dengan jarimah ta’zir. Dapat dipahami juga bahwa jarimah ta’zir terdiri atas perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak di kenakan hukuman had dan tidak pula kifarat. Jadi,hukuman ta’zir tidak mempunyai batas-batas hukuman tertentu, karena syara’ hanya menyebutkan sekumpulan hukuman, mulai dari yang seringan-ringannya sampai yang seberat-beratnya. Dengan kata lain, hakim yang berhak menetukan macam tindak pidana beserta hukumannya, karena hukumannya belum di tentukan oleh syara’.
            Dengan demikian ciri khas dari jarimah ta’zir adalah :
1.      Hukumannya tidak tertentu dan tidak terbatas. Artinya hukuman tersebut belum di tentukan oleh syara’.
2.      Penetuan hukuman tersebut adalah oleh hakim.
Aturan hukum pidana islam yang paling fleksibel terdapat pada jarimah ta’zir, Pada kategori jarimah ini, baik kriminalisasi suatu perbuatan maupun hukumannya diserahkan kepada Hakim. Jadi ta’zir merupakan hukuman bagi perbuatan pidana (jarimah) yang tidak ada ketetapannya nas tentang hukumnya.
1.      Jika dilihat dari eksistensinya jarimah ta’zir sama dengan jarimah hudud, karena keduanya sama-sama sebagai pengajaran (al-ta’lib) untuk mencapai kemaslahatan dan sebagai tindakan preventif yang macam hukumnya berbeda-beda sesuai jenis perbuatan dosa atau tindak pidana yang dilakukan. Jika pada jarimah hudud sudah ditentukan secara pasti dan jelas hukuman-hukumannya, dan tidak bisa dirubah atau diganti, sedangkan pada jarimah ta’zir belum ditentukan hukumannya.

Mengenai macam-macam hukuman yang ada pada jarimah ta’zir adalah mulai dari memberi nasehat atau peringatan, hukuman cambuk, penjara, dan lain-lain, bahkan sampai hukuman mati, jika jarimah yang dilakukan benar-benar sangat membahayakan, baik yang dirasakan oleh dirinya maupun masyarakat. Oleh karena itu hakim boleh memilih hukuman tersebut tentunya disesuaikan dengan jenis perbuatan atau tindak pidana yang dilakukan, baik mengenai kriteria pelakunya maupun factor-faktor penyebabnya.
Dalam sebuah riwayat dinyatakan bahwa Umar bin khathab ra. Pernah menjatuhkan hukuman ta’zir dan pembinaan dengan memotong rambut, mengasingkan, dan cambuk. Sebagaimana dia juga pernah membakar warung para tukang khamar serta kampung tempat perjualan khamar. Dia juga membakar istana Sa’ad bin Abi Waqqash di kufah lantaran keberadaan istana ini membuatnya tertutup dengan rakyat. Dia membuat cambuk untuk memukul orang yang layak mendapatkan cambukan serta membuat bangunan penjara dan mencambuk wanita yang meratapi jenazah hingga rambutnya terlihat. Tiga imam Fiqih mengatakan itu wajib, syafi’I mengatakan tidak wajib.
Pelaksanaan hukuman pada jarimah ta’zir yang sudah diputuskan oleh hakim, juga menjadi hak penguasa Negara atau petugas yang ditunjuk olehnya. Hal ini oleh karena hukuman itu disyari’atkan untuk melindungi masyarakat, dengan demikian hukuman tersebut menjadi haknya dan dilaksanakan oleh wakil masyarakat, yaitu penguasa Negara seperti presiden atau aparat Negara. Orang lain, selain penguasa atau orang yang ditunjuk oleh nya tidak boleh melaksankan hukuman ta’zir, meskipun hukuman tersebut menghilangkan nyawa. Apabila iamelaksanakan sendiri dan hukumannya berupa hukuman mati sebagai ta’zir maka ia dianggap sebagai pembunuh, walaupun sebenarnya hykuman mati tersebut adalah hukuman yang menhilanhkan nyawa.
Dari uraian tersebut di atas terlihat adanya perbedaan pertanggung jawaban dari pelaksanaan hukuman yang tidak mempunyai wewenang, dalam melaksanakan hukuman mati sebagai had dan sebagai ta’zir. Orang yang melaksanakan sendiri hukuman mati sebagai had, tidak dianggap sebagai pembunuh, sedangkan yang melaksanaakan sendiri hukuman mati sebagai ta’zir dianggap sebagai pembunuh. Perbedaan tersebut disebabkan , karena hukuman had adalah hukuman yang sudah pasti yang tidak bisa digugurkan atau dimaafkan, sedangkan hukuman ta’zir masih bisa dimaafkan oleh penguasa Negara, apabila situasi dan kondisi menghendaki untuk dimaafkan dengan berbagai pertimbangan.

b.      Macam-macam jarimah Ta’zir
Dapat dijelaskan bahwa dari hak yang dilanggar, jarimah ta’zair dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu ;
1.      Jarimah ta’zir yang menyinggung hak Allah;
2.      Jarimah ta’zir yang menyinggung hak individu.
Dari segi sifatnya, jarimah ta’zir dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu
a.       Ta’zir karena melakukan perbuatan maksiat;
b.      Ta’zir karena melakukan perbuatan yang membahayakan kepentingan umum;
c.       Ta’zir karena melakukan pelanggaran.
 Di samping itu, dilihat dari segi dasar hukum (penetapannya), ta’zir juga dapat di bagi menjadi kepada tiga bagian, yaitu sebagai berikut.
1)      Jarimah ta’zir yang berasal dari jarimah-jarimah hudud atau qishas, tetapi syarat-syaratnya tidak dipenuhi, atau ada syubhat, seperti pencurian yang tidak mencapai nishab, atau oleh keluaraga sendiri.
2)     Jarimah ta’zir yang jenisnya disebutkna dalam nas syara’ tetapi hukumannya belum ditetapkan, sepeti riba, suap,dan mengurangi takaran dan timbangan.
3)      Jarimah ta’zir yang baik jenis maupun sanksinya belum ditentukan oleh syara’.
Jenis ketiga ini sepenuhnya diserahkan kepada ulil amri, seperti pelanggaran disiplin pegawai pemerintah.
c.       Macam-macam hukuman jarimah Ta’zir
Hukuman ta’zir adalah jumlahnya sangat banyak, karena mencakup semua perbuatan maksiat yang hukumannya belum ditentukan oleh syara’ dan diserahkan kepada ulil amri untuk mengaturnya dari hukuman yang paling ringan sampai yang paling berat. Dalam penyelesaian perkara yang termasuk jarimah ta’zir, hakim diberi wewenang untuk memilih diantara kedua hukuman tersebut,mana yang sesuai dengan jarimah yang dilakukan oleh pelaku.
Dalam ta’zir, hukuman itu tidak ditetapkan dengan ketentuan (dari Allah dan rasulnya), dan Qodhi diperkenankan untuk mempertimbangkan baik bentuk hukuman yang akan dikenakan kadarnya.
Melukai atau penganiayaan bisa sengaja, semi sengaja, dan kesalahan. Dalam hal ini para ulama membaginya menjadi 5 macam, yaitu:
1.     Ibanat al-athraf, yaitu memotong anggota badan, termasuk di dalamnya pemotongan tangan, kaki, hidung, gigi, dan sebagainya.
2.      Idzhab ma’a al-athraf, yaitu menghilangkan fungsi anggota badan (anggota badan tetap ada tapi tidak bisa berfungsi), misalnya membuat korban tuli, buta, bisu, dan sebagainya.
3.      As-syaj, yaitu pelukaan terhadap kepala dan muka (secara khusus)
4.      Al-jarh, yaitu pelukaan terhadap selain wajah dan kepala termasuk di dalamnya yang tidak masuk ke dalam perut atau rongga dada dan yang masuk ke dalam perut atau anggota dada.
5.      Pelukaan yang tidak termasuk ke dalam salah satu dari empat jenis pelukaan di atas.
Jenis-jenis hukam ta’zir ini adalah sebagai berikut :
1.      Hukumann Ta’zir yang Berkaitan dengan Badan
  a.   Hukuman mati
Dalam makalah-makalh sebelumnya telah dijelaskan bahwa hukuman mati ditetapkan sebagai hukuman qishash utnuk pembunuhan sengaja dan sebagai hukuman had untuk jarimah hirabah, zina muhson, riddah, dan jarimah pemberontakan. Untuk jarimah ta’zir, hukuman mati ini di terapkan oleh para fuqoha secara beragam. Hanafiyah membolehkan kepada ulil amri untuk menerapakan hukuman mati sebagai ta’zir dalam jarimah-jarimah yang jenisnya diancam dengan hukuman mati apabila jarimah tersebut dilakukan berulang-ulang. Contohnya pencurian yang berulang-ulang dan menghina nabi beberapa kali yang dilakukan oleh kafir dzimmi, meskipun setelah itu ia masuk islam.
    b.      Hukuman jilid (Dera)
Alat yang digunakan untuk hukuman jilid ini adalah cambuk yang pertengahan (sedang, tidak terlalu besar dan tidak terlalau kecil) atau tongkat. Pendapat ini juga dikemukakan oleh imam Ibn Taimiyah, dengan alasan karena sebaik-baiknya perkara adalah pertengahan.
Apabila orang yang dihukum ta’zir itu laki-laki maka baju yang menghalanginya sampainya cambuk ke kulit harus dibuka. Akan tetapi, apabila orang terhukum itu seorang perempuan maka bajunya tidak boleh dibuka, karena jika demikian akan terbukalah auratnya.
2.      Hukuman yang Berkaitan dengan Kemerdekaan
  a)   Hukuman penjara
Maksud hukuman penjara disini bukanlah menahan pelaku di tempat yang sempit, melainkan menahan sseorang yang mencegahnya agar ia tidak melakukan perbuatan hukum, baik penahanan tersebut di dalam rumah, atau masjid, maupun ditempat lainnya. Penahan itulah yang dilakukan pada masa nabi dan Abu bakar. Artinya, pada masa Nabi dan Abu bakar tidak ada tempat yang khusus disediakan untuk menahan seseorang pelaku.
  b)   Hukuman pengasingan
Hukuman pengasingan termasuk hukuman had yang diterapkan  untuk pelaku tindak pidana hirabah (perampokan) berdasarkan Qs. Al- Maidah ayat 33 :
إنما جزاء الذين يحاربون الله ورسوله ويسعون في الأرض فسادا أن يقتلوا أو يصلبوا أو تقطع أيديهم
وأرجلهم من خلاف أو ينفوا من الأرض ذلك لهم خزي في الدنيا ولهم في الآخرة عذاب عظيم
Yang artinya :
“sesungguhnya  pembalsan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasulnya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau di potong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya) (QS. Al-Maidah:33)
3.      Hukuman Ta’zir yang Berkaitan dengan Harta
  a.   Status hukumannya
Para ulama berpendapat tentang dibolehkannya hukuman ta’zir dengan cara mengambil harta. Pendapat ini di bolehkan apabila dipandang membawa maslahat. Pengambilan harta ini bukan semata untuk diri hakim atau untuk kas umum (Negara), melainkan hanya menahannya untuk sementara waktu. Adapun apabila pelaku tidak bias di harapkan untuk bertobat maka hakim dapat men-tasarufkan harya tersebut untuk kepentingan yang mengandung maslahat.
Hukuman-Hukuman Ta’zir yang Lain
Selain hukuman-hukuman yang telah di sebutkan di atas, terdapat hukuman ta’zir yang lain hukuman adalah  sebagai berikut:
1.      Peringatan keras
2.      Dihadirkan di hadapan sidang
3.      Di beri nasehat
4.      Celaan
5.      Pengucilan
6.      Pemecatan
7.      Pengumuman kesalahan secara terbuka.
4.      Pengecualian/orang yang tidak dapat di hukum ta’zir
 Pengecualian dalam tanggung jawab hukuman, Ali bin Abi thalib berkata kepada Umar bin Khattab : “apakah engkau tahu bahwa tidaklah di catat perbuatan baik atau buruk, dan tidak pula dituntut tanggung jawab atas apa yang dilakukan, karena hal berikut:
1.      Orang yang gila sampai dia sadar
2.      Anak-anak sampai dia mencapai usia dewasa/baligh
3.      Orang yang tidur sampai dia bangun”. (Riwayat Imam bukhari.)
Berdasarkan riwayat diatas, kita dapat mengetahui tanggung jawab hukum atau tindak pidana dalam syariat.Tanggung jawab atau tindak pidana yang dilakukan dibenarkan kepada pelaku kejahatan itu sendiri. Ayah, Ibu, saudara atau kerabatnya yang lain tak dapat mengambil alih/menjalankan hukuman karena kejahatan yang dilakukan sebagaimana yang telah terjadi pada masa jahiliyah, sebelum islam. Al-Qur’anul karim menjelaskan bahwa tak seorang pun yang akan memikul beban orang lain.
Q.S Al-An’am :124
وإذا جاءتهم آية قالوا لن نؤمن حتى نؤتى مثل ما أوتي رسل الله الله أعلم حيث يجعل رسالته سيصيب الذين أجرموا صغار عند الله وعذاب شديد بما كانوا يمكرون
 "Apabila datang sesuatu ayat kepada mereka, mereka berkata: "Kami tidak akan beriman sehingga diberikan kepada kami yang serupa dengan apa yang telah diberikan kepada utusan-utusan Allah." Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan. Orang-orang yang berdosa, nanti akan ditimpa kehinaan di sisi Allah dan siksa yang keras disebabkan mereka selalu membuat tipu daya.” (Q.S Al-An’am: 124)
Tanggung jawab bersama itu hanya akan dipikul oleh keluarga tersebut dalam hal pembayaran hutang darah (Diyat) atau kerusakan karena suatu kejahatan. Dalam hal ini, si pelaku, demikian pula kerabatnya dari pihak ayah, secara bersama akan bertanggung jawab untuk membayar “Diyat” (hutang darah) atau kerusakan fisik yang diakibatkan oleh kejahatannya.
   


DAFTAR PUSTAKA
Muslich, Ahmad wardi, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika,2005.
Syahrur, Muhammad, Limitasi Hukum Pidana Islam, Semarang: Walisongo Press. 2008.
Rokhmadi, Reformasi Hukum Pidana Islam, Semarang: Rasail Media Group
Santoso, topo, Membumikan Hukum Pidana Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2003.
Rahman, abdur, Tindak Pidana Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1992.
Munajat, Makhrus. 2004. Dekonstruksi Hukum Pidana Islam. Yogyakarta: Logung pustaka.
Muslich, Ahmad Wardi. 2005. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PERMASALAHAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA

PERMASALAHAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas p...