HUKUMAN (‘UQUBAH) DALAM FIQH JINAYAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu
tugas pada Mata Kuliah Fiqh Jinayah,
Program Studi Hukum Keluarga Islam,
Fakultas Syariah dan Hukum Islam,
IAIN BONE
Oleh :
KELOMPOK
VI
NURWILDA
NIM.01.17.1223
MUSTAANA
NIM.01.17.1229
FAKULTAS SYARIAH
DAN HUKUM ISLAM
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI (IAIN)
BONE
2020
A. Pengertian Hukuman
Hukuman secara etimologi berarti sanksi atau dapat pula
dikatakan balasan atas suatu kejahatan/pelanggaran, yang dalam bahasa Arab
disebut ‘uqubah. Lafadz ‘uqubah menurut bahasa berasal dari kata ‘aqoba, yang
memiliki sinonim; ‘aqobahu bidzanbihi au
‘ala dzanbihi, yang mengandung arti menghukum, atau dalam sinonim lain ; akhodzahu bidzanbihi, yang artinya
menghukum atas kesalahannya.[1]
Sementara dalam bahasa Indonesia hukuman berarti siksaan
atau pembalasan kejahatan (kesalahan dosa). Yang dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia disebutkan bahwa hukuman adalah siksa dan sebagainya yang dikenakan
kepada orang yang melanggar undang-undang dan lain sebagainya (yang bersifat
mengikat dan memaksa). [2]
Secara istilah, dalam hukum pidana Islam disebutkan,
hukuman adalah seperti didefinisikan oleh Abdul Qodir Audah sebagai berikut:
أَلْعُقُوْبَةُ
هِيَ الْجَزَاءُالْمَقَرَّرُ لِمَصْلَحَةِ الْجَمَاعَةِ عَلى عِصْيَانِ أَمْرِ
الشَّارِعِ.
Terjemahnya:
“Hukuman adalah pembalasan yang
ditetapkan untuk memlihara kepentingan masyarakat, karena adanya pelanggaran
atas ketentuan-ketentuan syara’.”
Selanjutnya dalam ensiklopedi Indonesia disebutkan bahwa
hukuman adalah sanksi yang diatur dengan undang-undang atau reglemen terhadap
pelanggaran-pelanggaran norma hukum tertentu. Dalam KUHP termuat berbagai macam hukuman yang bersifat
pidana. Yang hukuman-hukuman itu terbagi atas hukuman pokok dan hukuman
tambahan.[3]
Sementara dalam hukum positif di Indonesia, istilah
hukuman hampir sama dengan pidana. Yang dalam istilah Inggris sentencing yang disalin oleh Oemar Seno
Adji dan Karim Nasution menjadi “penghukuman”. Sementara menurut Andi Hamzah
dalam bukunya yang berjudul Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia
disebutkan bahwa, hukuman adalah suatu pengertian umum, sebagai suatu sanksi
yang menderitakan atau nestapa yang sengaja ditimpakan kepada seseorang.[4]
Sedangkan menurut Sudarto, sebagaimana dikutip oleh
Mustafa Abdullah dan Ruben Ahmad, istilah pidana adalah penderitaan yang
sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi
syarat-syarat tertentu. Sedangkan menurut Roeslan Saleh yang juga dikutip oleh
Mustafa Abdullah, pidana adalah reaksi atas delik dan ini berwujud suatu
nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu.[5]
Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan di atas
dapat diambil intisari bahwa hukuman atau pidana adalah suatu penderitaan atau nestapa,
atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan yang diberikan dengan sengaja
oleh badan yang berwenang kepada seseorang yang cakap menurut hukum yang telah
melakukan perbuatan atau peristiwa pidana. dengan tujuan untuk memelihara
ketertiban dan kepentingan masryarakat, sekaligus juga untuk melindungi
kepentingan individu.
B. Tujuan Hukuman
Esensi dari pemberian hukuman bagi pelaku suatu jarimah menurut Islam adalah pertama, pencegahan serta balasan (ar-rad-u wazzajru) dan kedua, adalah perbaikan serta pengajaran
(al-islah wat-tajdzib). Dengan tujuan
tersebut tersebut, pelaku jarimah (terpidana) tidak mengulangi perbuatan
jeleknya. Di samping itu, juga merupakan tindakan preventif bagi orang lain
untuk tidak melakukan hal yang sama.[6]
Selain mencegah dan menakut-nakuti, syari’at Islam tidak
lupa memberikan perhatian terhadap pelaku jarimah (terpidana). Karena hukuman (sanksi) juga bertujuan
mengusahakan kebaikan dan pengajaran bagi pelaku jarimah. Selain itu diharapkan juga dengan adanya hukuman ini
dapat membentuk masyarakat yang baik dan yang dikuasai oleh rasa saling
menghormati dan mencintai antara sesama anggotanya dengan mengetahui
batas-batas hak dan kewajiban masing-masing. Dalam aplikasinya, hukuman dapat
dijabarkan menjadi beberapa tujuan, sebagai berikut:[7]
1. Untuk memelihara masyarakat (prevensi umum). Menyelamatkan masyarakat dari perbuatannya. Pelaku sendiri
sebenarnya bagian dari masyarakat, tetapi demi kebaikan masyarakat yang banyak,
maka kepentingan perseorangan dapat dikorbankan. Sebagaimana ketentuan umum
(kaidah), kepentingan yang lebih banyak harus didahulukan daripada kepentingan
perseorangan.
Oleh karena itulah, hukum
mengorbankan kesenangan perseorangan
untuk menciptakan kesenangan orang banyak. Tujuan ini dimaksudkan agar pelaku
menjadi jera dan takut. Oleh karena itu, pelaksanaannya dilakukan di hadapan
umum agar berdampak sugestif bagi
orang lain.
2. Sebagai upaya pencegahan atau preventif khusus bagi pelaku. Apabila seseorang melakukan tindak pidana, dia
akan menerima balasan yang sesuai dengan perbuatannya. Yang harapannya
pelaku menjadi jera karena rasa sakit
dan penderitaan lainnya, sehingga ia tidak akan mengulangi perbuatan yang sama
di masa datang. Dan juga orang lain tidak meniru perbuatan si pelaku sebab
akibat yang sama juga akan dikenakan kepada peniru.
3. Sebagai upaya pendidikan dan pengajaran (ta’dib dan tahdzib). Hukuman bagi pelaku pada dasarnya juga sebagai upaya
mendidiknya agar menjadi orang baik dan anggota masyarakat yang baik pula. Dia
diajarkan bahwa perbuatan yang dilakukannya telah mengganggu hak orang lain,
baik materil ataupun moril dan merupakan perkosaan terhadap hak orang
lain.
4. Hukuman sebagai balasan atas
perbuatan. Pelaku jarimah
(terpidana) akan mendapatkan balasan atas perbuatan yang dilakukannya. Karena
pada intinya menjadi kepantasan jika suatu perbuatan dibalas dengan perbuatan
lain yang sepadan, baik dibalas dengan dengan perbuatan baik dan jahat dengan
kejahatan pula dan itu sesuatu yang adil.
Al-Qur’an memberikan keterangan :
وَجَزَٰٓؤُاْ سَيِّئَةٖ سَيِّئَةٞ مِّثۡلُهَاۖ….
Terjemahnya:
مَّنۡ عَمِلَ صَٰلِحٗا فَلِنَفۡسِهِۦۖ وَمَنۡ أَسَآءَ فَعَلَيۡهَاۗ
Terjemahnya:
“Barangsiapa yang berbuat kebaikan
maka untuk dirinya dan barangsiapa yang berbuat kejahatan maka akibatnya atas
dirinya...”[9](QS.
Fushshilat/41 : 46)
Yang dalam hukum Islam tujuan dari
adanya hukuman adalah untuk menjaga jiwa setiap manusia, seperti hukuman qishas lahir sebagai upaya menjaga
kehidupan, dengan adanya hukuman pembalasan yang simbang diharapkan agar
menjadi alat pencegahan (preventif)
terhadap orang yang akan melakukan kejahatan. Yang dalam bukunya Prof. Islamil
Muhammad Syah mengatakan, dalam upaya memelihara jiwa, Islam melarang
pembunuhan dan pelaku pembunuhan diancam dengan hukuman qishas (pembalasan yang seimbang), sehingga dengan demikian
diharapkan agar orang sebelum melakukan pembunuhan, berpikir sepuluh kali,
karena apabila orang yang dibunuh itu mati, maka si pembunuh juga akan mati
atau jika yang dibunuh itu tidak mati tetapi hanya cedera, maka si pelaku juga
akan cedera pula.[10]
Kalau tujuan-tujuan hukuman di
atas tidak dapat tercapai, upaya terakhir dalam hukum positif adalah menyingkirkan penjahat. Artinya pelaku kejahatan tertentu yang
sudah sangat sulit diperbaiki, dia harus disingkirkan dengan pidana seumur
hidup atau hukuman mati. Dalam hal ini hukum Islam juga berpendirian sama,
yaitu kalau dengan cara ta’dib
(pendidikan) tidak menjerakan si pelaku jarimah
dan malah menjadi sangat membahayakan masyarakat, hukuman ta’zir bisa diberikan dalam bentuk
hukuman mati atau penjara tidak terbatas.
Hukuman ta’zir berlaku atas semua orang yang melaukan kejahatan. Syaratnya
adalah berakal sehat. Tidak ada perbedaan, baik laki-laki maupun perempuan,
dewasa maupun anak-anak, atau kafir maupun muslim. Setiap oarang yang melakukan
kemunkaran atau mengganggu pihak lain dengan alasan yang tidak dibenarkan, baik
itu dengan perbuatan, ucapan atau isyarat, perlu diberikan sanksi ta’zir agar tidak mengulangi
perbuatannya.
Oleh karena tujuan hukuman adalah
pencegahan, maka besarnya hukuman harus sedemikian rupa yang cukup mewujudkan
tujuan tersebut, tidak boleh kurang atau lebih dari batas yang diperlukannya,
dan dengan demikian maka terdapat prinsip keadilan dalam menjatuhkan hukuman.
Selain mencegah dan menakut-nakuti, syariat Islam tidak lalai untuk memberikan
perhatiannya terhadap diri pembuat. Bahkan memberi pelajaran dan mengusahakan
kebaikan terhadap diri pembuat merupakan tujuan utama. Dengan hukuman itu
dimaksudkan untuk alat penyuci dirinya, dan demikian maka terwujud rasa
keadilan.[11]
Dari aplikasi tujuan-tujuan hukum,
tujuan akhirnya atau tujuan pokoknya adalah meyadarkan semua anggota masyarakat
untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan buruk, mengetahui kewajiban dirinya,
dan menghargai hak orang lain dan sehingga apa yang diperbuatnya dikemudian
hari berdasarkan kesadaran tadi, tidak selalu dikaitkan dengan ancaman hukuman.
Dalam ungkapan lain, perbuatan baiknya semata-mata karena kesadaran hukumnya
yang meningkat, bukan karena takut hukum.[12]
Sementara dalam hukum positif
tujuan hukuman atau lebih dikenal dengan tujuan pidana, diantaranya adalah
pembalasan (revenge) atau untuk
tujuan memuaskan pihak yang dendam baik masyarakat sendiri maupun pihak yang
dirugikan atau menjadi korban kejahatan. Lalu dibedakan antara prevensi umum
dan prevensi khusus. Prevensi umum menghendaki agar orang-orang pada umumnya
tidak melakukan delik.
C. Syarat Pelaksanaan Hukuman
Berkaitan dengan pemberian hukuman, hukuman itu sendiri
harus memiliki syarat-syarat sebagai bentuk adanya hukum itu sendiri. Dengan
kata lain agar hukum itu dapat diakui keberadaanya. Adapun diantara beberapa
syarat tersebut diantaranya :[13]
1. Hukuman harus ada dasarnya dari
syara’
Hukuman dianggap mempunyai dasar (syari’iyah) apabila ia didasarkan kepada sumber-sumber syara’, seperti al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’, atau undang-undang yang
ditetapkan oleh lembaga yang berwenang (ulil
amri) seperti dalam hukuman ta’zir.
Yang hukuman tersebut disyaratkan tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan
syara’, karena apabila bertentangan maka ketentuan hukuman tersebut batal.
Dengan adanya persyaratan tersebut maka seorang hakim
tidak boleh menjatuhkan hukuman atas dasar pemikirannya sendiri walaupun ia
berkeyakinan bahwa hukuman tersebut lebih baik dan lebih utama daripada hukuman
yang telah ditetapkan.
2. Hukuman harus bersifat pribadi
(perorangan)
Hukuman disyaratkan harus bersifat pribadi atau
perorangan. Ini mengandung arti bahwa hukuman harus dijatuhkan kepada orang
yang melakukan tindak pidana dan tidak mengenai orang lain yang tidak bersalah.
Dengan kata lain dapat dikatakan sebagai pertanggung jawaban pidana.
3. Hukuman harus berlaku umum
Selain kedua syarat yang telah disebutkan diatas, hukuman
juga disyaratkan harus berlaku umum. Ini berarti hukuman harus berlaku untuk
semua orang tanpa adanya diskriminasi, apapun pangkat, jabatan, status dan
kedudukannya. Secara singkat dapat dikatakan bahwa di dalam hukum semua orang
statusnya sama.
Di dalam hukum pidana Islam, persamaan yang sempurna itu
hanya terdapat dalam jarimah dan hukuman had atau qishash, karena keduanya
merupakan hukuman yang telah ditentukan oleh syara’. Setiap orang yang
melakukan jarimah hudud, maka akan dihukum dengan hukuman sesuai dengan jarimah
yang dilakukannya. Adapun dalam hukuman ta’zir persamaan yang dituntut ialah
aspek dampak hukuman terhadap pelaku,
yaitu mencegah, mendidik dan memperbaikinya.
DAFTAR
RUJUKAN
Departemen
Agama Republik Indonesia. Al-Hikmah Al-Qur’an dan Terjemahannya. Bandung:
Diponegoro, 2011.
Departemen
Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2002.
Hakim,
Rahmat. Hukum Pidana Islam (Fiqh
Jinayah). Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Hamzah,
Andi. Sistem Pidana dan Pemidanaan di
Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 1993.
Munawwir,
Ahmad Warson. Al-Munawwir; Kamus
Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.
Muslich,
Ahmad Wardi. Pengantar dan Asas Hukum
Pidana Islam; Fikih Jinayah. Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
Shadily,
Hassan. Ensiklopedi Indonesia. Jakarta:
Ichtiar Baru-Van Hoeve, 1992.
Syah,
Ismail Muhammad. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1992.
[1]Ahmad
Warson Munawwir, Al-Munawwir; Kamus Arab-Indonesia (Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997). h. 952.
[2]Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 411.
[4]Andi
Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan di
Indonesia (Jakarta: Pradnya Paramita, 1993), h. 1.
[5]Mustafa
Abdullah dan Ruben Ahmad, Intisari Hukum
Pidana (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), h. 47. dikutip oleh Ahmad Wardi
Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana
Islam; Fikih Jinayah, cet ke- 2, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h.
137.
[6]Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah)
(Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 63.
[7]Rahmat Hakim, Hukum
Pidana Islam (Fiqh Jinayah), h. 64.
[8]Departemen
Agama Republik Indonesia, Al-Hikmah Al-Qur’an dan Terjemahannya (Bandung: Diponegoro,
2011), h. 487.
[9]Departemen
Agama Republik Indonesia, Al-Hikmah
Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 481.
[12]Rahmat Hakim, Hukum
Pidana Islam (Fiqh Jinayah), h. 66.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar