Kamis, 09 April 2020

HUKUMAN (‘UQUBAH) DALAM FIQH JINAYAH


HUKUMAN (‘UQUBAH) DALAM FIQH JINAYAH



Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas pada Mata Kuliah  Fiqh Jinayah,
Program Studi Hukum Keluarga Islam,
Fakultas Syariah dan Hukum Islam,
IAIN BONE

Oleh :
KELOMPOK VI
NURWILDA
NIM.01.17.1223
MUSTAANA
NIM.01.17.1229

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
BONE
2020


A.     Pengertian Hukuman
Hukuman secara etimologi berarti sanksi atau dapat pula dikatakan balasan atas suatu kejahatan/pelanggaran, yang dalam bahasa Arab disebut ‘uqubah. Lafadz ‘uqubah menurut bahasa berasal dari kata ‘aqoba, yang memiliki sinonim; ‘aqobahu bidzanbihi au ‘ala dzanbihi, yang mengandung arti menghukum, atau dalam sinonim lain ; akhodzahu bidzanbihi, yang artinya menghukum atas kesalahannya.[1]
Sementara dalam bahasa Indonesia hukuman berarti siksaan atau pembalasan kejahatan (kesalahan dosa). Yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa hukuman adalah siksa dan sebagainya yang dikenakan kepada orang yang melanggar undang-undang dan lain sebagainya (yang bersifat mengikat dan memaksa). [2]
Secara istilah, dalam hukum pidana Islam disebutkan, hukuman adalah seperti didefinisikan oleh Abdul Qodir Audah  sebagai berikut:
أَلْعُقُوْبَةُ هِيَ الْجَزَاءُالْمَقَرَّرُ لِمَصْلَحَةِ الْجَمَاعَةِ عَلى عِصْيَانِ أَمْرِ الشَّارِعِ.
Terjemahnya:
“Hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk memlihara kepentingan masyarakat, karena adanya pelanggaran atas ketentuan-ketentuan syara’.”
Selanjutnya dalam ensiklopedi Indonesia disebutkan bahwa hukuman adalah sanksi yang diatur dengan undang-undang atau reglemen terhadap pelanggaran-pelanggaran norma hukum tertentu. Dalam KUHP  termuat berbagai macam hukuman yang bersifat pidana. Yang hukuman-hukuman itu terbagi atas hukuman pokok dan hukuman tambahan.[3]
Sementara dalam hukum positif di Indonesia, istilah hukuman hampir sama dengan pidana. Yang dalam istilah Inggris sentencing yang disalin oleh Oemar Seno Adji dan Karim Nasution menjadi “penghukuman”. Sementara menurut Andi Hamzah dalam bukunya yang berjudul Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia disebutkan bahwa, hukuman adalah suatu pengertian umum, sebagai suatu sanksi yang menderitakan atau nestapa yang sengaja ditimpakan kepada seseorang.[4]
Sedangkan menurut Sudarto, sebagaimana dikutip oleh Mustafa Abdullah dan Ruben Ahmad, istilah pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Sedangkan menurut Roeslan Saleh yang juga dikutip oleh Mustafa Abdullah, pidana adalah reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu.[5]
Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan di atas dapat diambil intisari bahwa hukuman atau pidana adalah suatu penderitaan atau nestapa, atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan yang diberikan dengan sengaja oleh badan yang berwenang kepada seseorang yang cakap menurut hukum yang telah melakukan perbuatan atau peristiwa pidana. dengan tujuan untuk memelihara ketertiban dan kepentingan masryarakat, sekaligus juga untuk melindungi kepentingan individu.
B.     Tujuan Hukuman
Esensi dari pemberian hukuman bagi pelaku suatu jarimah menurut Islam adalah pertama, pencegahan serta balasan (ar-rad-u wazzajru) dan kedua, adalah perbaikan serta pengajaran (al-islah wat-tajdzib). Dengan tujuan tersebut tersebut, pelaku jarimah (terpidana) tidak mengulangi perbuatan jeleknya. Di samping itu, juga merupakan tindakan preventif bagi orang lain untuk tidak melakukan hal yang sama.[6]
Selain mencegah dan menakut-nakuti, syari’at Islam tidak lupa memberikan perhatian terhadap pelaku jarimah (terpidana). Karena hukuman (sanksi) juga bertujuan mengusahakan kebaikan dan pengajaran bagi pelaku jarimah. Selain itu diharapkan juga dengan adanya hukuman ini dapat membentuk masyarakat yang baik dan yang dikuasai oleh rasa saling menghormati dan mencintai antara sesama anggotanya dengan mengetahui batas-batas hak dan kewajiban masing-masing. Dalam aplikasinya, hukuman dapat dijabarkan menjadi beberapa tujuan, sebagai berikut:[7]
1. Untuk memelihara masyarakat (prevensi umum). Menyelamatkan masyarakat dari perbuatannya. Pelaku sendiri sebenarnya bagian dari masyarakat, tetapi demi kebaikan masyarakat yang banyak, maka kepentingan perseorangan dapat dikorbankan. Sebagaimana ketentuan umum (kaidah), kepentingan yang lebih banyak harus didahulukan daripada kepentingan perseorangan. 
Oleh karena itulah, hukum mengorbankan kesenangan  perseorangan untuk menciptakan kesenangan orang banyak. Tujuan ini dimaksudkan agar pelaku menjadi jera dan takut. Oleh karena itu, pelaksanaannya dilakukan di hadapan umum agar berdampak sugestif bagi orang lain.
2.  Sebagai upaya pencegahan atau preventif khusus bagi pelaku. Apabila seseorang melakukan tindak pidana, dia akan menerima balasan yang sesuai dengan perbuatannya. Yang harapannya pelaku  menjadi jera karena rasa sakit dan penderitaan lainnya, sehingga ia tidak akan mengulangi perbuatan yang sama di masa datang. Dan juga orang lain tidak meniru perbuatan si pelaku sebab akibat yang sama juga akan dikenakan kepada peniru. 
3.    Sebagai upaya pendidikan dan pengajaran (ta’dib dan tahdzib). Hukuman bagi pelaku pada dasarnya juga sebagai upaya mendidiknya agar menjadi orang baik dan anggota masyarakat yang baik pula. Dia diajarkan bahwa perbuatan yang dilakukannya telah mengganggu hak orang lain, baik materil ataupun moril dan merupakan perkosaan terhadap hak orang lain. 
4.    Hukuman sebagai balasan atas perbuatan. Pelaku jarimah (terpidana) akan mendapatkan balasan atas perbuatan yang dilakukannya. Karena pada intinya menjadi kepantasan jika suatu perbuatan dibalas dengan perbuatan lain yang sepadan, baik dibalas dengan dengan perbuatan baik dan jahat dengan kejahatan pula dan itu sesuatu yang adil.
Al-Qur’an memberikan keterangan :

وَجَزَٰٓؤُاْ سَيِّئَةٖ سَيِّئَةٞ مِّثۡلُهَاۖ….

                        Terjemahnya:
Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa,...”[8](QS. Syuraa/42 : 40)
مَّنۡ عَمِلَ صَٰلِحٗا فَلِنَفۡسِهِۦۖ وَمَنۡ أَسَآءَ فَعَلَيۡهَاۗ
Terjemahnya:
“Barangsiapa yang berbuat kebaikan maka untuk dirinya dan barangsiapa yang berbuat kejahatan maka akibatnya atas dirinya...”[9](QS. Fushshilat/41 : 46)
Yang dalam hukum Islam tujuan dari adanya hukuman adalah untuk menjaga jiwa setiap manusia, seperti hukuman qishas lahir sebagai upaya menjaga kehidupan, dengan adanya hukuman pembalasan yang simbang diharapkan agar menjadi alat pencegahan (preventif) terhadap orang yang akan melakukan kejahatan. Yang dalam bukunya Prof. Islamil Muhammad Syah mengatakan, dalam upaya memelihara jiwa, Islam melarang pembunuhan dan pelaku pembunuhan diancam dengan hukuman qishas (pembalasan yang seimbang), sehingga dengan demikian diharapkan agar orang sebelum melakukan pembunuhan, berpikir sepuluh kali, karena apabila orang yang dibunuh itu mati, maka si pembunuh juga akan mati atau jika yang dibunuh itu tidak mati tetapi hanya cedera, maka si pelaku juga akan cedera pula.[10]
Kalau tujuan-tujuan hukuman di atas tidak dapat tercapai, upaya terakhir dalam hukum positif adalah menyingkirkan penjahat. Artinya pelaku kejahatan tertentu yang sudah sangat sulit diperbaiki, dia harus disingkirkan dengan pidana seumur hidup atau hukuman mati. Dalam hal ini hukum Islam juga berpendirian sama, yaitu kalau dengan cara ta’dib (pendidikan) tidak menjerakan si pelaku jarimah dan malah menjadi sangat membahayakan masyarakat, hukuman ta’zir bisa diberikan dalam bentuk hukuman mati atau penjara tidak terbatas.
Hukuman ta’zir berlaku atas semua orang yang melaukan kejahatan. Syaratnya adalah berakal sehat. Tidak ada perbedaan, baik laki-laki maupun perempuan, dewasa maupun anak-anak, atau kafir maupun muslim. Setiap oarang yang melakukan kemunkaran atau mengganggu pihak lain dengan alasan yang tidak dibenarkan, baik itu dengan perbuatan, ucapan atau isyarat, perlu diberikan sanksi ta’zir agar tidak mengulangi perbuatannya.
Oleh karena tujuan hukuman adalah pencegahan, maka besarnya hukuman harus sedemikian rupa yang cukup mewujudkan tujuan tersebut, tidak boleh kurang atau lebih dari batas yang diperlukannya, dan dengan demikian maka terdapat prinsip keadilan dalam menjatuhkan hukuman. Selain mencegah dan menakut-nakuti, syariat Islam tidak lalai untuk memberikan perhatiannya terhadap diri pembuat. Bahkan memberi pelajaran dan mengusahakan kebaikan terhadap diri pembuat merupakan tujuan utama. Dengan hukuman itu dimaksudkan untuk alat penyuci dirinya, dan demikian maka terwujud rasa keadilan.[11]
Dari aplikasi tujuan-tujuan hukum, tujuan akhirnya atau tujuan pokoknya adalah meyadarkan semua anggota masyarakat untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan buruk, mengetahui kewajiban dirinya, dan menghargai hak orang lain dan sehingga apa yang diperbuatnya dikemudian hari berdasarkan kesadaran tadi, tidak selalu dikaitkan dengan ancaman hukuman. Dalam ungkapan lain, perbuatan baiknya semata-mata karena kesadaran hukumnya yang meningkat, bukan karena takut hukum.[12]
Sementara dalam hukum positif tujuan hukuman atau lebih dikenal dengan tujuan pidana, diantaranya adalah pembalasan (revenge) atau untuk tujuan memuaskan pihak yang dendam baik masyarakat sendiri maupun pihak yang dirugikan atau menjadi korban kejahatan. Lalu dibedakan antara prevensi umum dan prevensi khusus. Prevensi umum menghendaki agar orang-orang pada umumnya tidak melakukan delik.
C.     Syarat Pelaksanaan Hukuman
Berkaitan dengan pemberian hukuman, hukuman itu sendiri harus memiliki syarat-syarat sebagai bentuk adanya hukum itu sendiri. Dengan kata lain agar hukum itu dapat diakui keberadaanya. Adapun diantara beberapa syarat tersebut diantaranya :[13]
1.      Hukuman harus ada dasarnya dari syara’
Hukuman dianggap mempunyai dasar (syari’iyah) apabila ia didasarkan kepada sumber-sumber syara’, seperti al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’, atau undang-undang yang ditetapkan oleh lembaga yang berwenang (ulil amri) seperti dalam hukuman ta’zir. Yang hukuman tersebut disyaratkan tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan syara’, karena apabila bertentangan maka ketentuan hukuman tersebut batal.
Dengan adanya persyaratan tersebut maka seorang hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman atas dasar pemikirannya sendiri walaupun ia berkeyakinan bahwa hukuman tersebut lebih baik dan lebih utama daripada hukuman yang telah ditetapkan.
2.      Hukuman harus bersifat pribadi (perorangan)
Hukuman disyaratkan harus bersifat pribadi atau perorangan. Ini mengandung arti bahwa hukuman harus dijatuhkan kepada orang yang melakukan tindak pidana dan tidak mengenai orang lain yang tidak bersalah. Dengan kata lain dapat dikatakan sebagai pertanggung jawaban pidana. 
3.      Hukuman harus berlaku umum
Selain kedua syarat yang telah disebutkan diatas, hukuman juga disyaratkan harus berlaku umum. Ini berarti hukuman harus berlaku untuk semua orang tanpa adanya diskriminasi, apapun pangkat, jabatan, status dan kedudukannya. Secara singkat dapat dikatakan bahwa di dalam hukum semua orang statusnya sama.
Di dalam hukum pidana Islam, persamaan yang sempurna itu hanya terdapat dalam jarimah dan hukuman had atau qishash, karena keduanya merupakan hukuman yang telah ditentukan oleh syara’. Setiap orang yang melakukan jarimah hudud, maka akan dihukum dengan hukuman sesuai dengan jarimah yang dilakukannya. Adapun dalam hukuman ta’zir persamaan yang dituntut ialah aspek dampak hukuman    terhadap pelaku, yaitu mencegah, mendidik dan memperbaikinya.


DAFTAR RUJUKAN
Departemen Agama Republik Indonesia. Al-Hikmah Al-Qur’an dan Terjemahannya. Bandung: Diponegoro, 2011.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2002.
Hakim, Rahmat.  Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah). Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Hamzah, Andi. Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 1993.
Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir; Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.
Muslich, Ahmad Wardi. Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam; Fikih Jinayah. Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
Shadily, Hassan. Ensiklopedi Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve,  1992.
Syah, Ismail Muhammad. Filsafat Hukum Islam.  Jakarta: Bumi Aksara, 1992.





[1]Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir; Kamus Arab-Indonesia  (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997). h. 952.
[2]Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 411.
[3]Hassan Shadily, Ensiklopedi Indonesia  (Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve,  1992), h. 1345.
[4]Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia (Jakarta: Pradnya Paramita, 1993), h. 1. 
[5]Mustafa Abdullah dan Ruben Ahmad, Intisari Hukum Pidana (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), h. 47. dikutip oleh Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam; Fikih Jinayah, cet ke- 2, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 137. 
[6]Rahmat Hakim,  Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah) (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 63.
[7]Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), h. 64.
[8]Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Hikmah Al-Qur’an dan Terjemahannya (Bandung: Diponegoro, 2011), h. 487.
[9]Departemen Agama Republik Indonesia,  Al-Hikmah Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 481.
[10]Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam  (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h.70.
[11]Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam,  h. 256-257.
[12]Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), h. 66.
[13]Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam,  h. 141.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PERMASALAHAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA

PERMASALAHAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas p...