PERMASALAHAN SUAP/GRATIFIKASI
Makalah Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata
Kuliah Fiqh Jinayah Prodi Hukum Keluarga Islam pada Jurusan Syariah dan Hukum
Islam IAIN BONE
Oleh
KELOMPOK
13
ANANDA
FATIN BESTARI
NIM.01.17.1218
A.
SYAFRUDDIN
NIM.01.16.1116
JURUSAN
SYARIAH DAN HUKUM ISLAM
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)BONE
2020
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena
dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan
makalah tentang “Permasalahan
Suap/Gratifikasi". Disamping itu, kami mengucapkan banyak terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu kami selama pembuatan makalah ini
berlangsung sehingga terselesaikanlah makalah ini.
Kami
sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita mengenai Permasalahan Suap/Gratifikasi. Oleh sebab itu, kami berharap
adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di
masa yang akan datang.
Semoga
makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya
makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang
yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan
kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun
dari anda demi perbaikan makalah ini di waktu yang akan datang.
Bone, 20 Maret
2020
Penyusun
DAFTAR
ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i
KATA PENGANTAR.......................................................................................... ii
DAFTAR ISI........................................................................................................ iii
BAB I PENDDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah..................................................................... 1
B. Rumusan
Masalah............................................................................... 2
C. Tujuan
Penulisan................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian
Suap/Gratifikasi......................................................... .... 3
B. Dasar Hukum
Tentang Suap/Gratifikasi..................................... .... 4
C. Sanksi Bagi Pelaku
Suap/Gratifikasi................................................ 9
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................. .. 11
B. Saran ........................................................................................... .. 11
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang Masalah
Masalah suap adalah salah satu masalah yang sudah sangat
lama terjadi dalam masyarakat. Pada umumnya suap diberikan kepada orang yang
berpengaruh atau pejabat agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang
berhubungan dengan jabatannya. Orang yang memberi suap biasanya memberikan suap
agar keinginannya tercapai baik berupa keuntungan tertentu ataupun agar
terbebas dari suatu hukuman atau proses hukum.
Maka tidaklah mengherankan yang paling banyak di suap adalah
pejabat di lingkungan birokrasi pemerintah yang mempunyai peranan penting untuk
memutuskan sesuatu umpamanya dalam pemberian izin ataupun pemberian proyek
pemerintah. Suap sering diberikan kepada para penegak hukum umpamnya polisi,
jaksa, hakim. Demikian juga kepada para pejabat bea cukai, pajak dan pejabat - pejabat
yang berhubungan denga pemberian izin baik beruap izin berusaha, izin mendirikan
bangunan dan lain-lain.
Suap juga ditemukan dalam penerimaan pegawai, promosi
maupun mutasi, bahkan saat ini suap disinyalir telah merambah ke dunia pendidikan
baik dalam tahap peneriman mahasiswa/siswi baru, kenaikan kelas, kelulusan
bahkan untuk mendapatkan nilai tertentu dalam ujian mata pelajaran atau mata
kuliah. Untuk mendapatkan anggaran tertentu dari pemerintah pun saat ini
ditengarai diwarnai suap agar mendapatkan jumlah anggaran yang diinginkan. Saat
ini pejabat yang berwenang untuk mengeluarkan surat keterangan ataupun
identitas juga rawan denga suap umpamanya surat keterangan mengenai umur,
status perkawinan untuk calon TKI, pembuatan paspor, KTP, SIM dan lain-lain..
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka penulis merumuskan sub pokok masalah
sebagai berikut :
1.
Apa Pengertian Suap/Gratifikasi
?
2.
Apa Saja Dasar Hukum Tentang Suap/Gratifikasi ?
3.
Bagaimana Sanksi
Bagi Pelaku Suap/Gratifikasi ?
C. Tujuan
penulisan
Dari rumusan masalah di atas maka tujuan penulisannya yaitu sebagai berikut
:
1. Untuk Mengetahui Pengertian
Suap/Gratifikasi
2. Untuk Mengetahui Dasar
Hukum Tentang Suap/Gratifikasi
3. Untuk Mengetahui Sanksi Bagi Pelaku Suap/Gratifikasi
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Suap/Gratifikasi
Dalam bahasa Arab, gratifikasi disebut dengan risywah. Secara etimologis, kata risywah berasal dari kata rasya-yarsyu yang bentuk masdarnya
adalah risywah, rasywah, atau rusywah yang berarti al-ja’lu (upah, hadiah, komisi, atau
suap). Ibnu Manzhur juga memaparkan uraian Abu al-Abbas bahwa kata risywah dibentuk dari kalimat rasya al-farkh yang artinya anak burung
merengek – rengek ketika mengangkat kepala kepada induknya untuk disuapi.
Adapun secara terminologis, risywah adalah 1) sesuatu yang diberikan dalam rangka mewujudkan
kemaslahatan; atau 2) sesuatu yang diberikan dalam rangka membenarkan yang
salah dan menyalahkan yang benar.
Dalam sebuah kasus, risywah setidaknya pasti akan melibatkan tiga unsur utama, yaitu
pihak pemberi (al-rasyi), pihak
penerima (al-murtasyi), dan barang
pemberian (al-musrya lah). Akan
tetapi dalam kasus risywah tertentu
boleh jadi tidak hanya melibatkan pihak pemberi, pihak penerima, ban barang
pemberian, tetapi bisa juga melibatkan pihak keempat sebagai perantara antara
pihak pemberi dan pihak penerima, bahkan bisa juga melibatkan pihak kelima,
seperti pihak pencatat kesepakatan.[1]
B. Dasar Hukum Tentang Suap/Gratifikasi
Adapun beberapa hadits tentang risywah yang dibahas oleh para ulama adalah
:
a. Larangan Sogokan
حَدَّثَنَاعَفَّانُحَدَّثَنَاأَبُوعَوَانَةَقَالَحَدَّثَنَاعُمَرُبْنُأَبِيسَلَمَةَعَنْأَبِيهِعَنْأَبِيهُرَيْرَةَقَالَقَالَرَسُولُاللَّهِbلَعَنَاللَّهُالرَّاشِيَوَالْمُرْتَشِيَفِيالْحُكْمِ. رواه أحمد
Artinya: (Ahmad
berkata bahwa) 'Affan telah menyampaikan Hadis kepada kami; (ia berkata bahwa)
Abu 'Awanah berkata, ‘Umar bin Abi salamah telah menyampaikan Hadis kepada kami
(yang diterima) dari bapaknya (yang diterima pula) dari Abu Hurairah; ia berkata,
Rasulullah saw. bersabda: Allah melaknat orang yang menyuap dan yang disuap dalam
hukum.
حَدَّثَنَااْلأَسْوَدُبْنُعَامِرٍحَدَّثَنَاأَبُوبَكْرٍيَعْنِيابْنَعَيَّاشٍعَنْلَيْثٍعَنْأَبِيالْخَطَّابِعَنْأَبِيزُرْعَةَعَنْثَوْبَانَقَالَلَعَنَرَ
سُولُاللَّهِbالرَّاشِيَوَالْمُرْتَشِيَوَالرَّائِشَيَعْنِيالَّذِييَمْشِيبَيْنَهُمَا. رواه أحمد
Artinya: (Ahmad
berkata bahwa) al-Aswad bin ‘Amir telah menyampaikan Hadis kepada kami; (ia berkata)
Abu Bakar, yakni Ibn 'Ayyasy telah menyampaikan Hadis kepada kami (yang
diterima) dari Laits (yang diterima) dari Abu al-Khaththab (yang diterima) dari
Abu Zur'ah (yang diterima) dari Tsauban.
Ia berkata, Rasulullah saw. melaknat orang yang menyuap, yang disuap dan
perantaranya (broker, makelar).
حَدَّثَنِيمَالِكعَنِابْنِشِهَابٍعَنْسُلَيْمَانَبْنِيَسَارٍأَنَّرَسُولَاللَّهِbكَانَيَبْعَثُعَبْدَاللَّهِبْنَرَوَاحَةَإِلَىخَيْبَرَفَيَخْرُ
صُبَيْنَهُوَبَيْنَيَهُودِخَيْبَرَقَالَفَجَمَعُوالَهُحَلْيًامِنْحَلْيِنِسَائِهِمْفَقَالُوالَهُهَذَالَكَوَخَفِّفْعَنَّاوَتَجَاوَزْفِيالْقَ
سْمِفَقَالَعَبْدُاللَّهِبْنُرَوَاحَةَيَامَعْشَرَالْيَهُودِوَاللَّهِإِنَّكُمْلَمِنْأَبْغَضِخَلْقِاللَّهِإِلَيَّوَمَاذَاكَبِحَامِلِيعَلَىأَنْأَحِيفَعَلَيْكُمْفَأَمَّامَاعَرَضْتُمْمِنَالرَّشْوَةِفَإِنَّهَاسُحْتٌوَإِنَّالاَنَأْكُلُهَافَقَالُوابِهَذَاقَامَتِالسَّمَوَاتُوَاْلأَرْضُ. رواه مالك
Artinya: Malik
menyampaikan Hadis kepada saya (yang diterima) dari Ibnu Syihab (yang diterima)
dari Sulaiman bin Yasar. Sesungguhnya Rasulullah
saw. mengutus Abdullah bin Rawahah ke Khaibar. Dia menentukan pembagian antara beliau
dengan kaum Yahudi Khaibar. Sulaiman bin Yasar berkata; "Mereka mengumpulkan
perhiasan isteri - isteri mereka, kemudian mengatakan kepada Abdullah bin
Rawahah; "Semua perhiasan ini untuk kamu, tapi berilah keringanan kepada
kami dan berilah tambahan pada bagian kami. "Abdullah bin Rawahah pun
menjawab; "Wahai kaum Yahudi! Demi Allah, kalian adalah makhluk ciptaan
Allah yang paling saya benci, meski demikian itu bukan alasan bagiku untuk berbuat
dzalim kepada kalian. Adapun semua perhiasan yang kalian berikan kepadaku sebagai
suap, itu semua adalah haram, kami tidak akan pernah memakannya. "Mereka
pun berkata; "Dengan kebenaran ini, tegaklah langit dan
bumi."
b.
Kebolehan Menerima Hadiah dan Larangan
Menerimanya
حَدَّثَنَايَحْيَىبْنُأَكْثَمَوَعَلِيُّبْنُخَشْرَمٍقَالاَحَدَّثَنَاعِيسَىبْنُيُونُسَعَنْهِشَامِبْنِعُرْوَةَعَنْأَبِيهِعَنْعَائِشَةَأَنَّالنَّبِيَّbكَانَيَقْبَلُالْهَدِيَّةَوَيُثِيبُعَلَيْهَا. رواه الترمذي
Artinya:
(Al-Turmudzi berkata bahwa) Yahya bin Aktsam dan Ali bin Khasyram telah menyampaikan
Hadis kepada kami; keduanya berkata, Isa bin Yunus telah menyampaikan Hadis kepada
kami (yang diterima) dari Hisyam bin Urwah (yang diterima) dari bapaknya (yang
diterima) dari Aisyah. Bahwasanya Nabi saw. menerima hadiah dan membalasnya.
حَدَّثَنَاأَزْهَرُبْنُمَرْوَانَالْبَصْرِيُّحَدَّثَنَامُحَمَّدُبْنُسَوَاءٍحَدَّثَنَاأَبُومَعْشَرٍعَنْسَعِيدٍعَنْأَبِيهُرَيْرَةَعَنِالنَّبِيِّbقَالَتَهَادَوْافَإِنَّالْهَدِيَّةَتُذْهِبُوَحَرَالصَّدْرِوَلاَتَحْقِرَنَّجَارَةٌلِجَارَتِهَاوَلَوْشِقَّفِرْسِنِشَاةٍ. رواه الترمذي
Artinya:
(Al-Turmudzi berkata bahwa) Azhar bin Marwan al-Bashri telah menyampaikan Hadis
kepada kami; (ia berkata) Muhammad bin Sawa' telah menyampaikan Hadis kepada
kami; (iaberkata) Abu Ma'syar telah menyampaikan Hadis kepada kami (yang
diterima) dari Sa'id (yang diterima) dari Abu Hurairah (yang diterima pula)
dari Nabi saw. Beliau bersabda: "Hendaknya
kalian saling memberikan hadiah, karena hadiah dapat menghilangkan sifat benci dalam
dada, dan janganlah seseorang meremehkan pemberian tetangganya walaupun hanya secuil
kaki kambing.
حَدَّثَنَاعَبْدُاللَّهِبْنُمُحَمَّدٍحَدَّثَنَاسُفْيَانُعَنِالزُّهْرِيِّعَنْعُرْوَةَبْنِالزُّبَيْرِعَنْأَبِيحُمَيْدٍالسَّاعِدِيِّرَضِياللَّهُعَنْهُقَالَاسْتَعْمَلَالنَّبِيُّbرَجُلاًمِنَالأَزْدِييُقَالُلَهُابْنُالأَتْبِيَّةِعَلَىالصَّدَقَةِفَلَمَّاقَدِمَقَالَهَذَالَكُمْوَهَذَاأُهْدِيَلِيقَالَفَهَلاَّجَلَسَفِيبَيْتِأَبِيهِأَوْبَيْتِأُمِّهِفَيَنْظُرَيُهْدَىلَهُأَمْلاَوَالَّذِينَفْسِيبِيَدِهِلاَيَأْخُذُأَحَدٌمِنْهُشَيْئًاإِلاَّجَاءَبِهِيَوْمَالْقِيَامَةِيَحْمِلُهُعَلَىرَقَبَتِهِإِنْكَانَبَعِيرًالَهُرُغَاءٌأَوْبَقَرَةًلَهَاخُوَارٌأَوْشَاةًتَيْعَرُثُمَّرَفَعَبِيَدِهِحَتَّىرَأَيْنَاعُفْرَةَإِبْطَيْهِاللَّهُمَّهَلْبَلَّغْتُاللَّهُمَّهَلْبَلَّغْتُثَلاَثًا. رواه البخاري
Artinya: (Al-Bukhari
berkata) 'Abdullah bin Muhammad telah menyampaikan Hadis kepada kami; (ia berkata)
Sufyan telah menyampaikan Hadis kepada kami (yang diterima) dari al-Zuhriy
(yang diterima) dari 'Urwah bin al-Zubair (yang diterima pula) dari Abu Humaid
al-Sa'idiy r.a. Ia berkata, Nabi saw. memperkerjakan seorang laki – laki dari
suku al-Azdiy sebagai pemungut zakat. Ketika datang dari tugasnya, dia berkata:
"Ini untuk kalian sebagai zakat dan ini di hadiahkan untukku". Beliau
berkata: Biarkanlah dia tinggal di rumah ayahnya atau ibunya lalu dia lihat apakah
benar itu dihadiahkan untuknya atau tidak. Dan demi Dzat yang jiwaku di
tangan-Nya, tidak seorang pun yang mengambil sesuatu dari zakat kecuali dia akan
datang pada hari qiyamat dengan dipikulkan di atas lehernya berupa unta yang
berteriak, atau sapi yang melembuh atau kambing yang mengembik. Kemudian,
beliau mengangkatt angannya sehingga terlihat oleh kami ketiak beliau yang
putih dan (berkata,): Ya Allah bukankah aku sudah sampaikan, bukankah aku sudah
sampaikan, sebanyak tiga kali".[2]
Lebih lanjut Al-Syaukani mengemukakan bahwa di antara dalil yang menunjukan
keharaman risywah adalah penafsiran Hasan Al-Basri dan Sa'id bin Jubair
sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Ruslan. Menurut keduanya kalimat akkalun
li al-suht yang terdapat dalam ayat berikut dipahami oleh keduanya
dengan risywah.
سَمَّٰعُونَ
لِلْكَذِبِ أَكَّٰلُونَ لِلسُّحْتِ ۚ فَإِن جَآءُوكَ فَٱحْكُم بَيْنَهُمْ أَوْ
أَعْرِضْ عَنْهُمْ ۖ
وَإِن
تُعْرِضْ عَنْهُمْ فَلَن يَضُرُّوكَ شَيْـًٔا ۖ وَإِنْ حَكَمْتَ فَٱحْكُم
بَيْنَهُم بِٱلْقِسْطِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُقْسِطِينَ
Mereka sangat suka mendengar berita bohong, banyak memakan (makanan) yang
haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (Muhammad untuk meminta
putusan), maka berilah putusan diantara mereka atau berpalinglah dari mereka,
dan jika engkau berpaling dari mereka maka mereka tidak akan membahayakanmu
sedikit pun. Tetapi jika engkau memutuskan (perkara mereka), maka putuskanlah
dengan adil. Sedungguhnya Allah menyukai orang – orang yang adil. (Q.S
Al-Maidah/5:42)[3]
Memang menurut riwayat Masruq bin Mas'ud ketika ditanya tentang makna al-suht
apakah berarti risywah, ia tidak menjawab ya. Akan tetapi, siapapun yang
tidak menentukan hukum dengan hukum yang diturunkan oleh Allah, ia termasuk
orang kafir, dzalim, dan fasik.
Sementara itu, Ibnu Mas'ud berkata, "Makna kata al-suht adalah
seseorang yang meminta tolong dalam rangka kezaliman kemudian ia memberikan
hadiah; dan hadiah itu janganlah diterima.
Dengan redaksi yang sedikit berbeda, Al-Qurthubi mengemukakan riwayat Ibnu
Mas'ud tentang penafisran kata al-suht. Al-Suht adalah seseorang
yang membantu meluluskan keperluan kawannanya kemudian orang yang ditolong itu
memberikan hadiah dan diterima oleh pihak yang telah membantunya. Dalam
defenisi ini memang tidak dibatasi apakah hadiah diberikan kepada hakim dalam proses
pengadilan atau semua jenis hadiah kepada siapa pun. Namun, Al-Syaukani
membatasi pada hadiah yang diberikan kepada hakimatau pihak yang berkedudukan
seperti hakim.
Al-Syaukani mengaggap pendapat seperti ini sebagai pendapat yang bobrok.
Bertolak dari prinsip Al-Syaukani ini, Syamsul Anwar mengontekstualisasikan
pemahaman ini untuk kasus di Indonesia. Menurutnya, pada zaman sekarang,
pemahaman seperti ini akan ikut mendorong lajunya korupsi. Lebih lanjut ia
menjelaskan bahwa pemberian semacam ini, meskipun untuk mendapatkan hak yang
sah, dapat merusak kualitas sistem pelayanan publik.
Muhammad bin Ismail Al-Kahlani Al-Shan'ani berpendapat bahwa secara ijma'
suap yang diberikan kepada hakim, petugas, atau pihak lainnya haram hukumnya,
baik atas nama sedekah maupun bukan. Sementara itu, pendapatan yang diperoleh
hakim terdiri atas empat macam, yaitu suap, hadiah, gaji, dan rezeki.
Pertama, suap. Jika tujuannya agar hakim memutuskan perkara secara tidak benar,
status hukumnya haram, baik bagi pemberi maupun penerima suap. Akan tetapi
kalau tujuannya agar hakim memutuskan perkara secara benar untuk menyelesaikan
piutang pihak pemberi suap, suap tersebut haram bagi hakim, tetapi halal bagi
penyuap sebab untuk memperjuangkan hak yang sah. Suap dengan motif ini sama
dengan upah bagi pemenang sayembara yang bisa menemukan budak yang kabur atau
upah untuk orang terpercaya yang mampu memenangi persengketaan. Meskipun
demikian, konon hal ini tetap diharamkan karena bisa menjerumuskan hakim
kedalam dosa.
Kedua, hadiah. Jika hadiah diberikan dari seseorang sebelum hakim ditentukan
untuk menangani suatu perkara, hukumnya tidak haram. Akan tetapi, jika hadiah
diberikan setelah hakim ditentukan, hukumnya haram. Sementara itu, jika hadiah
berasal dari seseorang yang tidak bersengketa dengan pihak lain, atau tidak
sedang berurusan dengan hukum dengan pihak lain, pemberian hadiah itu tetap
halal. Namun, jika hadiah berasal dari seseorang yang mempunyai persengketaan
uang dengan pihak lawan, hadiah itu hukumnya haram, baik bagi hakim (sebagai
penerima) maupun pemberi hadiah.
Ketiga, gaji. Gaji merupakan jatah rutin yang berasal dari kas negara. Ulama
sepakat bahwa gaji diluar itu hukumnya haram. Pleh sebab itu, hakim tidak patut
diberi upah. Lain halnya kalau hakim belum mendapatkan jatah rutin, daam
kondisi seperti ini, ia tetap diperbolehkan menerima gaji karena pekerjaannya,
bukan karena jabatannya sebagai hakim. Oleh sebab itu, jika ia masih menuntut
lebih dari semestinya, berarti ia menuntut status dan jabatannya sebagai hakim.
Ulama sepakat bahwa harta rakyat tidak boleh diambil untuk menggaji hakim
karena jabatannya. Dengan kata lain, ia digaji karena pekerjannya. Tambahan
atas gaji yang telah ditentukan hukumnya haram.
Selanjutnya, gaji dibedakan menjadi dua, yaitu jirayah (gaji tetap)
dan ujrah (upah). Menurut Al-Shan'ani, hakim yang telah mendapatkan gaji
tetap tidak boleh mendapatkan upah lagi. Gaji tetap berasal dari kas negara,
sedangkan upah merupakan uang jasa yang berasal dari pihak yang berperkara.
Keempat, Rezeki. Maksud rezeki disini adalah segala bentuk penghasilan sampingan
yang tidak tetap dan termasuk kedalam kategori min haitsu la yuhtasib (tidak
diduga dan disangka – sangka)
C.
Sanksi Hukum Bagi Pelaku Gratifikasi
Mengenai sanksi terhadap tindakan gratifikasi, pada dasarnya pemberi dan
penerima sama kedudukannya. Jika gratifikasi mengarah pada risywah positif,
maka penerima bisa dikenakan sanksi takzir, sedang pemberi terbebas karena ia
memperjuangkan hak yang semestinya ia dapatkan. Selanjutnya untuk gratifikasi
positif jelas tidak ada sanksinya karena hukumnya mubah. Sedangkan gratifikasi
negatif, baik pemberi maupun penerima bisa dikenakan sanksi hukum takzir yang
jenis, bentuk, dan kadar hukumannya bisa diserahkan kepada kebijakan pemerintah
setempat yang sah atau hakim yang mewakili atas nama pemerintah.
Adapun berkaitan
dengan sanksi hukum bagi pelaku gratifikasi dalam pengertian risywah, tampaknya
tidak jauh berbeda dengan sanksi hukum bagi pelaku ghulûl atau penggelapan
yaitu hukuman takzir, sebab keduanya memang tidak termasuk dalam ranah qishas
dan hudud. Dalam hal ini, Abdullah Muhsin al-Tariqi mengemukakan bahwa sanksi
hukum pelaku tindak pidana gratifikasi tidak disebutkan secara jelas oleh
Syariat (Allah dan Rasul/Alquran dan hadis) mengingat sanksi tindak pidana
risywah masuk dalam kategori sanksi-sanksi takzir yang kompetensinya ada di
tangan hakim. Untuk menentukan jenis sanksi, tentu harus sesuai dengan
kaidah-kaidah hukum Islam yang sejalan dengan prinsip untuk memelihara
stabilitas hidup bermasyarakat, sehingga berat dan ringannya sanksi hukum harus
disesuaikan dengan jenis tindak pidana yang dilakukan, disesuaikan dengan
lingkungan di mana pelanggaran itu terjadi, dikaitkan dengan motivasi-motivasi
yang mendorong sebuah tindak pidana dilakukan. Intinya bahwa risywah masuk
dalam kategori tindak pidana takzir” .
Dalam beberapa hadis
tentang risywah, memang disebutkan dengan pernyataan (Allah melaknat penyuap
dan penerima suap atau dengan pernyataan lain laknat Allah atas penyuap dan
penerimanya). Meskipun para pihak yang terlibat dalam jarimah risywah
dinyatakan terlaknat atau terkutuk, yang akibatnya risywah dikategorikan ke
dalam daftar dosa-dosa besar. Namun, karena tidak ada ketentuan tegas tentang jenis
dan tata cara menjatuhkan sanksi, maka risywah dimasukkan dalam kelompok tindak
pidana takzir. Abdul Aziz Amir mengatakan bahwa oleh karena dalam teks-teks
dalil tentang tindak pidana risywah ini tidak disebutkan jenis sanksi yang
telah ditentukan, maka sanksi yang diberlakukan adalah hukuman takzir.
Sanksi takzir bagi
pelaku tindak pidana risywah ini lebih lanjut dijelaskan oleh al-Tariqi bahwa
sanksi takzir bagi pelaku jarimah/tindak pidana risywah merupakan konsekwensi
dari sikap melawan hukum Islam dan sebagai konsekwensi dari sikap menentang/bermaksiat
kepada Allah. Oleh sebab itu, harus diberi sanksi tegas yang sesuai dan
mengandung (unsur yang bertujuan) untuk menyelamatkan orang banyak dari
kejahatan para pelaku tindak pidana, untuk membersihkan masyarakat dari para
penjahat, lebih-lebih budaya suap menyuap termasuk salah satu dari jenis-jenis
kemungkaran yang harus diberantas dari sebuah komunitas masyarakat, sebagaimana
sabda Rasulullah saw, “siapa salah seorang dari kalian melihat kemungkaran,
maka ubahlah kemungkaran itu dengan tangannya…” (HR. Muslim, al-Tirmizî,
al-Nasai dan Ahmad). Mengubah kemungkaran dengan tangan sebagaimana perintah
dalam hadis ini pada dasarnya merupakan tugas yang terletak di pundak
pemerintah dan instansi yang berwenang untuk mengubah kemungkaran ini”
Sanksi hukum bagi pelaku gratifikasi tidak jauh berbeda dengan sanksi hukum
bagi pelaku ghulul atau penggelapan, yaitu takzir sebab keduanya memang
tidak termasuk ke dalam ranah qisas dan hudud.
Abdullah Muhsin Al-Thariqi menjelaskan bahwa sanksi takzir bagi pelaku
jarimah risywah merupakan konsekuensi dari sikap melawan Allah dan hukum Islam
sehingga harus diberi sanksi tegas yang serta bertujuan menyelamatkan
masyarakat daripada penjahat dan perbuatan mereka.[4]
Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
berbunyi :
(1) Setiap Gratifikasi kepada Pegawai Negeri atau penyelenggara negara
dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang
berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Yang nilainya Rp. 10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa Gratifikasi tersebut bukan
merupakan suap dilakukan oleh penerima Gratifikasi;
b. Yang nilainya kurang dari Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah,
pembuktian bahwa Gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum;
(2) Pidana bagi Pegawai Negeri atau
penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama
20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Masalah suap adalah salah satu masalah yang sudah
sangat lama terjadi dalam masyarakat. Pada umumnya suap diberikan kepada orang yang
berpengaruh atau pejabat agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang
berhubungan dengan jabatannya. Orang yang memberi suap biasanya memberikan suap
agar keinginannya tercapai baik berupa keuntungan tertentu ataupun agar
terbebas dari suatu hukuman atau proses hukum.
Mengenai sanksi terhadap tindakan gratifikasi, pada dasarnya pemberi dan
penerima sama kedudukannya. Jika gratifikasi mengarah pada risywah positif,
maka penerima bisa dikenakan sanksi takzir, sedang pemberi terbebas karena ia
memperjuangkan hak yang semestinya ia dapatkan. Selanjutnya untuk gratifikasi
positif jelas tidak ada sanksinya karena hukumnya mubah. Sedangkan gratifikasi
negatif, baik pemberi maupun penerima bisa dikenakan sanksi hukum takzir yang
jenis, bentuk, dan kadar hukumannya bisa diserahkan kepada kebijakan pemerintah
setempat yang sah atau hakim yang mewakili atas nama pemerintah.
Gratifikasi disebut juga suap atau sogok. Jarimah
itu merupakan salah satu bentuk korupsi yang tidak hanya disebutkan dalam
sebuah pasal Undang – Undang Korupsi, tetapi
telah ada sejak zaman Nabi. Sanksinya berbeda dengan berbagai bentuk
sanksi yang ditetapkan dalam Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang –
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
B.
Saran
Penulis menyadari
bahwa makalah diatas banyak sekali kesalahan dan jauh dari kesempurnaan.
Penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan berpedoman pada banyak sumber
yang dapat dipertanggung jawabkan. Maka dari itu penulis mengharapkan kritik
dan saran mengenai pembahasan makalah dalam kesimpulan di atas.
DAFTAR PUSTAKA
M. Nurul
Irfan, Hukum Pidana Islam (Jakarta : Amzah, 2016)
Hadits – Hadits
Peradilan
Al – Qur'an dan Terjemahannya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar