Jumat, 08 Mei 2020

PERMASALAHAN SUAP/GRATIFIKASI



PERMASALAHAN SUAP/GRATIFIKASI


Makalah Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Fiqh Jinayah Prodi Hukum Keluarga Islam pada Jurusan Syariah dan Hukum Islam IAIN BONE
Oleh
KELOMPOK 13
ANANDA FATIN BESTARI
NIM.01.17.1218
A.    SYAFRUDDIN
NIM.01.16.1116

JURUSAN SYARIAH DAN HUKUM ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)BONE
2020

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Permasalahan Suap/Gratifikasi". Disamping itu, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami selama pembuatan makalah ini berlangsung sehingga terselesaikanlah makalah ini.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai Permasalahan Suap/Gratifikasi. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun dari anda demi perbaikan makalah ini di waktu yang akan datang.
Bone, 20 Maret 2020
Penyusun




DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i
KATA PENGANTAR.......................................................................................... ii
DAFTAR ISI........................................................................................................ iii
BAB I PENDDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah..................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah............................................................................... 2
C.     Tujuan Penulisan................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
A.     Pengertian Suap/Gratifikasi......................................................... .... 3
B.      Dasar Hukum Tentang Suap/Gratifikasi..................................... .... 4
C.      Sanksi Bagi Pelaku Suap/Gratifikasi................................................ 9
BAB III PENUTUP
A.      Kesimpulan.................................................................................. .. 11 
B.       Saran ........................................................................................... .. 11 
DAFTAR PUSTAKA






BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang Masalah
Masalah suap adalah salah satu masalah yang sudah sangat lama terjadi dalam masyarakat. Pada umumnya suap diberikan kepada orang yang berpengaruh atau pejabat agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang berhubungan dengan jabatannya. Orang yang memberi suap biasanya memberikan suap agar keinginannya tercapai baik berupa keuntungan tertentu ataupun agar terbebas dari suatu hukuman atau proses hukum.
Maka tidaklah mengherankan yang paling banyak di suap adalah pejabat di lingkungan birokrasi pemerintah yang mempunyai peranan penting untuk memutuskan sesuatu umpamanya dalam pemberian izin ataupun pemberian proyek pemerintah. Suap sering diberikan kepada para penegak hukum umpamnya polisi, jaksa, hakim. Demikian juga kepada para pejabat bea cukai, pajak dan pejabat - pejabat yang berhubungan denga pemberian izin baik beruap izin berusaha, izin mendirikan bangunan dan lain-lain.
Suap juga ditemukan dalam penerimaan pegawai, promosi maupun mutasi, bahkan saat ini suap disinyalir telah merambah ke dunia pendidikan baik dalam tahap peneriman mahasiswa/siswi baru, kenaikan kelas, kelulusan bahkan untuk mendapatkan nilai tertentu dalam ujian mata pelajaran atau mata kuliah. Untuk mendapatkan anggaran tertentu dari pemerintah pun saat ini ditengarai diwarnai suap agar mendapatkan jumlah anggaran yang diinginkan. Saat ini pejabat yang berwenang untuk mengeluarkan surat keterangan ataupun identitas juga rawan denga suap umpamanya surat keterangan mengenai umur, status perkawinan untuk calon TKI, pembuatan paspor, KTP, SIM dan lain-lain..
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka penulis merumuskan sub pokok masalah sebagai berikut :
1.      Apa Pengertian Suap/Gratifikasi ?
2.      Apa Saja Dasar Hukum Tentang Suap/Gratifikasi ?
3.      Bagaimana Sanksi Bagi Pelaku Suap/Gratifikasi ?
C.     Tujuan penulisan
Dari rumusan masalah di atas maka tujuan penulisannya yaitu sebagai berikut :
1.      Untuk Mengetahui Pengertian Suap/Gratifikasi
2.      Untuk Mengetahui Dasar Hukum Tentang Suap/Gratifikasi
3.      Untuk Mengetahui Sanksi Bagi Pelaku Suap/Gratifikasi



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Suap/Gratifikasi
Dalam bahasa Arab, gratifikasi disebut dengan risywah. Secara etimologis, kata risywah berasal dari kata rasya-yarsyu yang bentuk masdarnya adalah risywah, rasywah, atau rusywah yang berarti al-ja’lu (upah, hadiah, komisi, atau suap). Ibnu Manzhur juga memaparkan uraian Abu al-Abbas bahwa kata risywah dibentuk dari kalimat rasya al-farkh yang artinya anak burung merengek – rengek ketika mengangkat kepala kepada induknya untuk disuapi.
Adapun secara terminologis, risywah adalah 1) sesuatu yang diberikan dalam rangka mewujudkan kemaslahatan; atau 2) sesuatu yang diberikan dalam rangka membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar.
Dalam sebuah kasus, risywah setidaknya pasti akan melibatkan tiga unsur utama, yaitu pihak pemberi (al-rasyi), pihak penerima (al-murtasyi), dan barang pemberian (al-musrya lah). Akan tetapi dalam kasus risywah tertentu boleh jadi tidak hanya melibatkan pihak pemberi, pihak penerima, ban barang pemberian, tetapi bisa juga melibatkan pihak keempat sebagai perantara antara pihak pemberi dan pihak penerima, bahkan bisa juga melibatkan pihak kelima, seperti pihak pencatat kesepakatan.[1]
B.     Dasar Hukum Tentang Suap/Gratifikasi
Adapun beberapa hadits tentang risywah yang dibahas oleh para ulama adalah :
a.       Larangan Sogokan
حَدَّثَنَاعَفَّانُحَدَّثَنَاأَبُوعَوَانَةَقَالَحَدَّثَنَاعُمَرُبْنُأَبِيسَلَمَةَعَنْأَبِيهِعَنْأَبِيهُرَيْرَةَقَالَقَالَرَسُولُاللَّهِbلَعَنَاللَّهُالرَّاشِيَوَالْمُرْتَشِيَفِيالْحُكْمِ.   رواه أحمد
Artinya: (Ahmad berkata bahwa) 'Affan telah menyampaikan Hadis kepada kami; (ia berkata bahwa) Abu 'Awanah berkata, ‘Umar bin Abi salamah telah menyampaikan Hadis kepada kami (yang diterima) dari bapaknya (yang diterima pula) dari Abu Hurairah; ia berkata, Rasulullah saw. bersabda: Allah melaknat orang yang menyuap dan yang disuap dalam hukum.
حَدَّثَنَااْلأَسْوَدُبْنُعَامِرٍحَدَّثَنَاأَبُوبَكْرٍيَعْنِيابْنَعَيَّاشٍعَنْلَيْثٍعَنْأَبِيالْخَطَّابِعَنْأَبِيزُرْعَةَعَنْثَوْبَانَقَالَلَعَنَرَ
سُولُاللَّهِbالرَّاشِيَوَالْمُرْتَشِيَوَالرَّائِشَيَعْنِيالَّذِييَمْشِيبَيْنَهُمَا.   رواه أحمد
Artinya: (Ahmad berkata bahwa) al-Aswad bin ‘Amir telah menyampaikan Hadis kepada kami; (ia berkata) Abu Bakar, yakni Ibn 'Ayyasy telah menyampaikan Hadis kepada kami (yang diterima) dari Laits (yang diterima) dari Abu al-Khaththab (yang diterima) dari Abu Zur'ah (yang diterima) dari Tsauban.  Ia berkata, Rasulullah saw. melaknat orang yang menyuap, yang disuap dan perantaranya (broker, makelar).
حَدَّثَنِيمَالِكعَنِابْنِشِهَابٍعَنْسُلَيْمَانَبْنِيَسَارٍأَنَّرَسُولَاللَّهِbكَانَيَبْعَثُعَبْدَاللَّهِبْنَرَوَاحَةَإِلَىخَيْبَرَفَيَخْرُ
صُبَيْنَهُوَبَيْنَيَهُودِخَيْبَرَقَالَفَجَمَعُوالَهُحَلْيًامِنْحَلْيِنِسَائِهِمْفَقَالُوالَهُهَذَالَكَوَخَفِّفْعَنَّاوَتَجَاوَزْفِيالْقَ
سْمِفَقَالَعَبْدُاللَّهِبْنُرَوَاحَةَيَامَعْشَرَالْيَهُودِوَاللَّهِإِنَّكُمْلَمِنْأَبْغَضِخَلْقِاللَّهِإِلَيَّوَمَاذَاكَبِحَامِلِيعَلَىأَنْأَحِيفَعَلَيْكُمْفَأَمَّامَاعَرَضْتُمْمِنَالرَّشْوَةِفَإِنَّهَاسُحْتٌوَإِنَّالاَنَأْكُلُهَافَقَالُوابِهَذَاقَامَتِالسَّمَوَاتُوَاْلأَرْضُ.  رواه مالك
Artinya: Malik menyampaikan Hadis kepada saya (yang diterima) dari Ibnu Syihab (yang diterima) dari Sulaiman bin Yasar.  Sesungguhnya Rasulullah saw. mengutus Abdullah bin Rawahah ke Khaibar. Dia menentukan pembagian antara beliau dengan kaum Yahudi Khaibar. Sulaiman bin Yasar berkata; "Mereka mengumpulkan perhiasan isteri - isteri mereka, kemudian mengatakan kepada Abdullah bin Rawahah; "Semua perhiasan ini untuk kamu, tapi berilah keringanan kepada kami dan berilah tambahan pada bagian kami. "Abdullah bin Rawahah pun menjawab; "Wahai kaum Yahudi! Demi Allah, kalian adalah makhluk ciptaan Allah yang paling saya benci, meski demikian itu bukan alasan bagiku untuk berbuat dzalim kepada kalian. Adapun semua perhiasan yang kalian berikan kepadaku sebagai suap, itu semua adalah haram, kami tidak akan pernah memakannya. "Mereka pun berkata; "Dengan kebenaran ini, tegaklah langit dan bumi."
b.  Kebolehan Menerima Hadiah dan Larangan Menerimanya

حَدَّثَنَايَحْيَىبْنُأَكْثَمَوَعَلِيُّبْنُخَشْرَمٍقَالاَحَدَّثَنَاعِيسَىبْنُيُونُسَعَنْهِشَامِبْنِعُرْوَةَعَنْأَبِيهِعَنْعَائِشَةَأَنَّالنَّبِيَّbكَانَيَقْبَلُالْهَدِيَّةَوَيُثِيبُعَلَيْهَا.   رواه الترمذي
Artinya: (Al-Turmudzi berkata bahwa) Yahya bin Aktsam dan Ali bin Khasyram telah menyampaikan Hadis kepada kami; keduanya berkata, Isa bin Yunus telah menyampaikan Hadis kepada kami (yang diterima) dari Hisyam bin Urwah (yang diterima) dari bapaknya (yang diterima) dari Aisyah. Bahwasanya Nabi saw. menerima hadiah dan membalasnya.
حَدَّثَنَاأَزْهَرُبْنُمَرْوَانَالْبَصْرِيُّحَدَّثَنَامُحَمَّدُبْنُسَوَاءٍحَدَّثَنَاأَبُومَعْشَرٍعَنْسَعِيدٍعَنْأَبِيهُرَيْرَةَعَنِالنَّبِيِّbقَالَتَهَادَوْافَإِنَّالْهَدِيَّةَتُذْهِبُوَحَرَالصَّدْرِوَلاَتَحْقِرَنَّجَارَةٌلِجَارَتِهَاوَلَوْشِقَّفِرْسِنِشَاةٍ.  رواه الترمذي
Artinya: (Al-Turmudzi berkata bahwa) Azhar bin Marwan al-Bashri telah menyampaikan Hadis kepada kami; (ia berkata) Muhammad bin Sawa' telah menyampaikan Hadis kepada kami; (iaberkata) Abu Ma'syar telah menyampaikan Hadis kepada kami (yang diterima) dari Sa'id (yang diterima) dari Abu Hurairah (yang diterima pula) dari Nabi saw.  Beliau bersabda: "Hendaknya kalian saling memberikan hadiah, karena hadiah dapat menghilangkan sifat benci dalam dada, dan janganlah seseorang meremehkan pemberian tetangganya walaupun hanya secuil kaki kambing.
حَدَّثَنَاعَبْدُاللَّهِبْنُمُحَمَّدٍحَدَّثَنَاسُفْيَانُعَنِالزُّهْرِيِّعَنْعُرْوَةَبْنِالزُّبَيْرِعَنْأَبِيحُمَيْدٍالسَّاعِدِيِّرَضِياللَّهُعَنْهُقَالَاسْتَعْمَلَالنَّبِيُّbرَجُلاًمِنَالأَزْدِييُقَالُلَهُابْنُالأَتْبِيَّةِعَلَىالصَّدَقَةِفَلَمَّاقَدِمَقَالَهَذَالَكُمْوَهَذَاأُهْدِيَلِيقَالَفَهَلاَّجَلَسَفِيبَيْتِأَبِيهِأَوْبَيْتِأُمِّهِفَيَنْظُرَيُهْدَىلَهُأَمْلاَوَالَّذِينَفْسِيبِيَدِهِلاَيَأْخُذُأَحَدٌمِنْهُشَيْئًاإِلاَّجَاءَبِهِيَوْمَالْقِيَامَةِيَحْمِلُهُعَلَىرَقَبَتِهِإِنْكَانَبَعِيرًالَهُرُغَاءٌأَوْبَقَرَةًلَهَاخُوَارٌأَوْشَاةًتَيْعَرُثُمَّرَفَعَبِيَدِهِحَتَّىرَأَيْنَاعُفْرَةَإِبْطَيْهِاللَّهُمَّهَلْبَلَّغْتُاللَّهُمَّهَلْبَلَّغْتُثَلاَثًا.  رواه البخاري
Artinya: (Al-Bukhari berkata) 'Abdullah bin Muhammad telah menyampaikan Hadis kepada kami; (ia berkata) Sufyan telah menyampaikan Hadis kepada kami (yang diterima) dari al-Zuhriy (yang diterima) dari 'Urwah bin al-Zubair (yang diterima pula) dari Abu Humaid al-Sa'idiy r.a. Ia berkata, Nabi saw. memperkerjakan seorang laki – laki dari suku al-Azdiy sebagai pemungut zakat. Ketika datang dari tugasnya, dia berkata: "Ini untuk kalian sebagai zakat dan ini di hadiahkan untukku". Beliau berkata: Biarkanlah dia tinggal di rumah ayahnya atau ibunya lalu dia lihat apakah benar itu dihadiahkan untuknya atau tidak. Dan demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, tidak seorang pun yang mengambil sesuatu dari zakat kecuali dia akan datang pada hari qiyamat dengan dipikulkan di atas lehernya berupa unta yang berteriak, atau sapi yang melembuh atau kambing yang mengembik. Kemudian, beliau mengangkatt angannya sehingga terlihat oleh kami ketiak beliau yang putih dan (berkata,): Ya Allah bukankah aku sudah sampaikan, bukankah aku sudah sampaikan, sebanyak tiga kali".[2]

Lebih lanjut Al-Syaukani mengemukakan bahwa di antara dalil yang menunjukan keharaman risywah adalah penafsiran Hasan Al-Basri dan Sa'id bin Jubair sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Ruslan. Menurut keduanya kalimat akkalun li al-suht yang terdapat dalam ayat berikut dipahami oleh keduanya dengan risywah.
سَمَّٰعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّٰلُونَ لِلسُّحْتِ ۚ فَإِن جَآءُوكَ فَٱحْكُم بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْ ۖ
وَإِن تُعْرِضْ عَنْهُمْ فَلَن يَضُرُّوكَ شَيْـًٔا ۖ وَإِنْ حَكَمْتَ فَٱحْكُم بَيْنَهُم بِٱلْقِسْطِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُقْسِطِينَ

Mereka sangat suka mendengar berita bohong, banyak memakan (makanan) yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (Muhammad untuk meminta putusan), maka berilah putusan diantara mereka atau berpalinglah dari mereka, dan jika engkau berpaling dari mereka maka mereka tidak akan membahayakanmu sedikit pun. Tetapi jika engkau memutuskan (perkara mereka), maka putuskanlah dengan adil. Sedungguhnya Allah menyukai orang – orang yang adil. (Q.S Al-Maidah/5:42)[3]
Memang menurut riwayat Masruq bin Mas'ud ketika ditanya tentang makna al-suht apakah berarti risywah, ia tidak menjawab ya. Akan tetapi, siapapun yang tidak menentukan hukum dengan hukum yang diturunkan oleh Allah, ia termasuk orang kafir, dzalim, dan fasik.
Sementara itu, Ibnu Mas'ud berkata, "Makna kata al-suht adalah seseorang yang meminta tolong dalam rangka kezaliman kemudian ia memberikan hadiah; dan hadiah itu janganlah diterima.
Dengan redaksi yang sedikit berbeda, Al-Qurthubi mengemukakan riwayat Ibnu Mas'ud tentang penafisran kata al-suht. Al-Suht adalah seseorang yang membantu meluluskan keperluan kawannanya kemudian orang yang ditolong itu memberikan hadiah dan diterima oleh pihak yang telah membantunya. Dalam defenisi ini memang tidak dibatasi apakah hadiah diberikan kepada hakim dalam proses pengadilan atau semua jenis hadiah kepada siapa pun. Namun, Al-Syaukani membatasi pada hadiah yang diberikan kepada hakimatau pihak yang berkedudukan seperti hakim.
Al-Syaukani mengaggap pendapat seperti ini sebagai pendapat yang bobrok. Bertolak dari prinsip Al-Syaukani ini, Syamsul Anwar mengontekstualisasikan pemahaman ini untuk kasus di Indonesia. Menurutnya, pada zaman sekarang, pemahaman seperti ini akan ikut mendorong lajunya korupsi. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa pemberian semacam ini, meskipun untuk mendapatkan hak yang sah, dapat merusak kualitas sistem pelayanan publik.
Muhammad bin Ismail Al-Kahlani Al-Shan'ani berpendapat bahwa secara ijma' suap yang diberikan kepada hakim, petugas, atau pihak lainnya haram hukumnya, baik atas nama sedekah maupun bukan. Sementara itu, pendapatan yang diperoleh hakim terdiri atas empat macam, yaitu suap, hadiah, gaji, dan rezeki.
Pertama, suap. Jika tujuannya agar hakim memutuskan perkara secara tidak benar, status hukumnya haram, baik bagi pemberi maupun penerima suap. Akan tetapi kalau tujuannya agar hakim memutuskan perkara secara benar untuk menyelesaikan piutang pihak pemberi suap, suap tersebut haram bagi hakim, tetapi halal bagi penyuap sebab untuk memperjuangkan hak yang sah. Suap dengan motif ini sama dengan upah bagi pemenang sayembara yang bisa menemukan budak yang kabur atau upah untuk orang terpercaya yang mampu memenangi persengketaan. Meskipun demikian, konon hal ini tetap diharamkan karena bisa menjerumuskan hakim kedalam dosa.
Kedua, hadiah. Jika hadiah diberikan dari seseorang sebelum hakim ditentukan untuk menangani suatu perkara, hukumnya tidak haram. Akan tetapi, jika hadiah diberikan setelah hakim ditentukan, hukumnya haram. Sementara itu, jika hadiah berasal dari seseorang yang tidak bersengketa dengan pihak lain, atau tidak sedang berurusan dengan hukum dengan pihak lain, pemberian hadiah itu tetap halal. Namun, jika hadiah berasal dari seseorang yang mempunyai persengketaan uang dengan pihak lawan, hadiah itu hukumnya haram, baik bagi hakim (sebagai penerima) maupun pemberi hadiah.
Ketiga, gaji. Gaji merupakan jatah rutin yang berasal dari kas negara. Ulama sepakat bahwa gaji diluar itu hukumnya haram. Pleh sebab itu, hakim tidak patut diberi upah. Lain halnya kalau hakim belum mendapatkan jatah rutin, daam kondisi seperti ini, ia tetap diperbolehkan menerima gaji karena pekerjaannya, bukan karena jabatannya sebagai hakim. Oleh sebab itu, jika ia masih menuntut lebih dari semestinya, berarti ia menuntut status dan jabatannya sebagai hakim. Ulama sepakat bahwa harta rakyat tidak boleh diambil untuk menggaji hakim karena jabatannya. Dengan kata lain, ia digaji karena pekerjannya. Tambahan atas gaji yang telah ditentukan hukumnya haram.
Selanjutnya, gaji dibedakan menjadi dua, yaitu jirayah (gaji tetap) dan ujrah (upah). Menurut Al-Shan'ani, hakim yang telah mendapatkan gaji tetap tidak boleh mendapatkan upah lagi. Gaji tetap berasal dari kas negara, sedangkan upah merupakan uang jasa yang berasal dari pihak yang berperkara.
Keempat, Rezeki. Maksud rezeki disini adalah segala bentuk penghasilan sampingan yang tidak tetap dan termasuk kedalam kategori min haitsu la yuhtasib (tidak diduga dan disangka – sangka)
C.     Sanksi Hukum Bagi Pelaku Gratifikasi
Mengenai sanksi terhadap tindakan gratifikasi, pada dasarnya pemberi dan penerima sama kedudukannya. Jika gratifikasi mengarah pada risywah positif, maka penerima bisa dikenakan sanksi takzir, sedang pemberi terbebas karena ia memperjuangkan hak yang semestinya ia dapatkan. Selanjutnya untuk gratifikasi positif jelas tidak ada sanksinya karena hukumnya mubah. Sedangkan gratifikasi negatif, baik pemberi maupun penerima bisa dikenakan sanksi hukum takzir yang jenis, bentuk, dan kadar hukumannya bisa diserahkan kepada kebijakan pemerintah setempat yang sah atau hakim yang mewakili atas nama pemerintah.
Adapun berkaitan dengan sanksi hukum bagi pelaku gratifikasi dalam pengertian risywah, tampaknya tidak jauh berbeda dengan sanksi hukum bagi pelaku ghulûl atau penggelapan yaitu hukuman takzir, sebab keduanya memang tidak termasuk dalam ranah qishas dan hudud. Dalam hal ini, Abdullah Muhsin al-Tariqi mengemukakan bahwa sanksi hukum pelaku tindak pidana gratifikasi tidak disebutkan secara jelas oleh Syariat (Allah dan Rasul/Alquran dan hadis) mengingat sanksi tindak pidana risywah masuk dalam kategori sanksi-sanksi takzir yang kompetensinya ada di tangan hakim. Untuk menentukan jenis sanksi, tentu harus sesuai dengan kaidah-kaidah hukum Islam yang sejalan dengan prinsip untuk memelihara stabilitas hidup bermasyarakat, sehingga berat dan ringannya sanksi hukum harus disesuaikan dengan jenis tindak pidana yang dilakukan, disesuaikan dengan lingkungan di mana pelanggaran itu terjadi, dikaitkan dengan motivasi-motivasi yang mendorong sebuah tindak pidana dilakukan. Intinya bahwa risywah masuk dalam kategori tindak pidana takzir” .
Dalam beberapa hadis tentang risywah, memang disebutkan dengan pernyataan (Allah melaknat penyuap dan penerima suap atau dengan pernyataan lain laknat Allah atas penyuap dan penerimanya). Meskipun para pihak yang terlibat dalam jarimah risywah dinyatakan terlaknat atau terkutuk, yang akibatnya risywah dikategorikan ke dalam daftar dosa-dosa besar. Namun, karena tidak ada ketentuan tegas tentang jenis dan tata cara menjatuhkan sanksi, maka risywah dimasukkan dalam kelompok tindak pidana takzir. Abdul Aziz Amir mengatakan bahwa oleh karena dalam teks-teks dalil tentang tindak pidana risywah ini tidak disebutkan jenis sanksi yang telah ditentukan, maka sanksi yang diberlakukan adalah hukuman takzir.
Sanksi takzir bagi pelaku tindak pidana risywah ini lebih lanjut dijelaskan oleh al-Tariqi bahwa sanksi takzir bagi pelaku jarimah/tindak pidana risywah merupakan konsekwensi dari sikap melawan hukum Islam dan sebagai konsekwensi dari sikap menentang/bermaksiat kepada Allah. Oleh sebab itu, harus diberi sanksi tegas yang sesuai dan mengandung (unsur yang bertujuan) untuk menyelamatkan orang banyak dari kejahatan para pelaku tindak pidana, untuk membersihkan masyarakat dari para penjahat, lebih-lebih budaya suap menyuap termasuk salah satu dari jenis-jenis kemungkaran yang harus diberantas dari sebuah komunitas masyarakat, sebagaimana sabda Rasulullah saw, “siapa salah seorang dari kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah kemungkaran itu dengan tangannya…” (HR. Muslim, al-Tirmizî, al-Nasai dan Ahmad). Mengubah kemungkaran dengan tangan sebagaimana perintah dalam hadis ini pada dasarnya merupakan tugas yang terletak di pundak pemerintah dan instansi yang berwenang untuk mengubah kemungkaran ini”
Sanksi hukum bagi pelaku gratifikasi tidak jauh berbeda dengan sanksi hukum bagi pelaku ghulul atau penggelapan, yaitu takzir sebab keduanya memang tidak termasuk ke dalam ranah qisas dan hudud.
Abdullah Muhsin Al-Thariqi menjelaskan bahwa sanksi takzir bagi pelaku jarimah risywah merupakan konsekuensi dari sikap melawan Allah dan hukum Islam sehingga harus diberi sanksi tegas yang serta bertujuan menyelamatkan masyarakat daripada penjahat dan perbuatan mereka.[4]
Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berbunyi :
(1) Setiap Gratifikasi kepada Pegawai Negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut :
 a. Yang nilainya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa Gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima Gratifikasi;
b. Yang nilainya kurang dari Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah, pembuktian bahwa Gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum;
 (2) Pidana bagi Pegawai Negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).







BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
Masalah suap adalah salah satu masalah yang sudah sangat lama terjadi dalam masyarakat. Pada umumnya suap diberikan kepada orang yang berpengaruh atau pejabat agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang berhubungan dengan jabatannya. Orang yang memberi suap biasanya memberikan suap agar keinginannya tercapai baik berupa keuntungan tertentu ataupun agar terbebas dari suatu hukuman atau proses hukum.
Mengenai sanksi terhadap tindakan gratifikasi, pada dasarnya pemberi dan penerima sama kedudukannya. Jika gratifikasi mengarah pada risywah positif, maka penerima bisa dikenakan sanksi takzir, sedang pemberi terbebas karena ia memperjuangkan hak yang semestinya ia dapatkan. Selanjutnya untuk gratifikasi positif jelas tidak ada sanksinya karena hukumnya mubah. Sedangkan gratifikasi negatif, baik pemberi maupun penerima bisa dikenakan sanksi hukum takzir yang jenis, bentuk, dan kadar hukumannya bisa diserahkan kepada kebijakan pemerintah setempat yang sah atau hakim yang mewakili atas nama pemerintah.
Gratifikasi disebut juga suap atau sogok. Jarimah itu merupakan salah satu bentuk korupsi yang tidak hanya disebutkan dalam sebuah pasal Undang – Undang Korupsi, tetapi  telah ada sejak zaman Nabi. Sanksinya berbeda dengan berbagai bentuk sanksi yang ditetapkan dalam Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
B.     Saran
Penulis menyadari bahwa makalah diatas banyak sekali kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan berpedoman pada banyak sumber yang dapat dipertanggung jawabkan. Maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran mengenai pembahasan makalah dalam kesimpulan di atas.











DAFTAR PUSTAKA
M. Nurul Irfan,  Hukum Pidana Islam (Jakarta : Amzah, 2016)
Hadits – Hadits Peradilan
Al – Qur'an dan Terjemahannya



[1] M. Nurul Irfan,  Hukum Pidana Islam (Jakarta : Amzah, 2016), h. 209
[2] Hadits – Hadits Peradilan
[3] Departemen Agama RI Al – Qur'an dan Terjemahannya, h. 115
[4] M. Nurul Irfan,  Hukum Pidana Islam (Jakarta : Amzah, 2016), h. 215

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PERMASALAHAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA

PERMASALAHAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas p...