Jumat, 06 Maret 2020

UNSUR-UNSUR JARIMAH DAN PEMBAGIAN JARIMAHDAN SANKSINYA


UNSUR-UNSUR JARIMAH DAN
PEMBAGIAN JARIMAH DAN SANKSINYA

Makalah ini Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah fiqh Jinayah Program Studi Hukum Keluarga Islam Fakultas
Syariah dan Hukum Islam IAIN BONE
Oleh:
KELOMPOK II

ILA SASMITA
NIM: 01.17.1221

ASWANTO
NIM: 01.17.1238




FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
BONE 2019

BAB 1
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Hukum pidana Islam mengatur segala permasalahan kejahatan yang dilakukan oleh seseorang, karena sudah pasti perbuatan atau kejahatan tersebut melanggar syari’at yang ada. Seseorang yang melakukan kejahatan akan menerima akibatnya seperti dikenakan salah satu jenis jarimah. Dalam hukum pidana Islam, ketentuan-ketentuan tentang jarimah telah diatur sedemikian rupa. Jadi, apabila seseorang berani melakukan sebuah kejahatan, maka dia juga telah siap menerima jarimah sesuai kejahatan yang dia lakukan.
Akan tetapi, pemberian jarimah tidak serta merta diberikan begitu saja. Harus diketahui unsur-unsur yang terkandung dalam tindak pidana agar pemberian jarimah diberikan secara tepat sehingga keadilan dapat tercapai. Karena, suatu perbuatan akan mendapat jarimah apabila unsur-unsur yang terkandung dalam tindak pidana itu sendiri terpenuhi.
Umat Islam, perlu mengetahui unsur-unsur yang terkandung dalam tindak pidana, agar sikap yang dipilihnya adalah sikap yang bijak. Karena hal ini menyangkut pula syari’at, dimana Al-Qur’an dan As-Sunnah selamanya akan dipegang teguh. Oleh sebab itu, dalam makalah ini penulis mengangkat tema yang didasarkan pada pentingnya wawasan umat akan unsur-unsur dalam tindak pidana Islam, sehingga penulis akan memaparkan masalah tersebut dalam makalah dengan judul “unsur-unsur Jarimah dan Pembagian Jarimah dan sanksinya.”[1]

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka penulis merumuskan sub pokok masalah sebagai berikut :
1.      Apa saja unsur-unsur jarimah?
2.      Apa Pembagian Jarimah dan sanksinya?
3.       
C.    Tujuan Penulisan
            Dari rumusan masalah di atas maka tujuan penulisannya, yaitu sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui unsur-unsur jarimah!
2.      Untuk mengetahui pembagian jarimah dan sanksinya!




BAB II
PEMBAHASAN

A.  Unsur-Unsur Jarimah
Tiap-tiap jarimah harus mempunyai unsur-unsur umum yang harus dipenuhi yaitu:
1.    Nas yang melarang perbuatan dan mengancamkan hukuman terhadapnya, dan unsur ini biasa disebut “unsur formil” (rukun syar’i).
2.    Adanya tingkah laku yang membentuk jarimah, baik berupa perbuatan-perbuatan nyataataupun sikap tidak berbuat, dan unsur ini biasa disebut “unsur materiel” (rukun maddi).
3.    Pembuat adalah orang mukallaf, yaitu orang yang dapat dimintai pertanggungan jawab terhadap jarimah yang diperbuatnya, dan unsur ini biasa disebut “unsur moril” (rukun adabi).
Ketiga unsur tersebut harus terdapat pada sesuatu perbuatan untuk digolongkan kepada jarimah. Disamping unsur umum pada tiap-tiap jarimah juga terdapat unsur-unsur khusus untuk dapat dikenakan hukuman, seperti unsur “pengambilan dengan diam-diam” bagi jarimah pencurian.
Perbedaan antara unsur-unsur umum dengan unsur-unsur khusus ialah kalau unsur-unsur umum satu macamnya dengan jarimah, maka unsur-unsur khusus dapat berbeda-beda bilangan dan macamnya menurut perbedaan jarimah.

B.  Pembagian Jarimah dan sanksinya
Jarimah itu sebenarnya sangat banyak macam dan ragamnya, akan tetapi secara garis besar kita dapat membaginya dengan meninjaunya dari beberapa segi.
1.    Ditinjau dari segi berat ringannya hukuman
Dari segi berat ringannya hukuman, jarimah dapat dibagi kepada tiga bagian antara lain:
a.    Jarimah Hudud
Jarimah hudud adalah jarimah yang diancam dengan hukuman had. Pengertian hukuman had adalah hukuman yang telah ditentukan oleh syara’ dan menjadi hak Allah (hak masyarakat).
Dengan demikian ciri khas jarimah hudud itu adalah sebagai berikut:
1)   Hukumannya tertentu dan terbatas., dalam arti bahwa hukumannya telah ditentukan oleh syara’ dan tidak ada batas minimal dan maksimal.
2)   Hukuman tersebut merupakan hak Allah semata-mata, atau kalau ada hak manusia di samping hak Allah maka Allah yang lebih Menonjol. Pengertian hak Allah sebagaimana dikemukakan oleh Mahmud Syaltut yaitu suatu hak yang manfaatnya kembali kepada masyarakat dan tidak tertentu bagi seseorang.
Dalam hubungannya dengan hukuman had maka pengertian hak Allah disini bahwa hukuman tersebut tidak bisa dihapuskan oleh perseorangan (orang yang menjadi korban atau keluarganya) atau oleh masyarakat diwakili oleh negara.
Jarimah hudud ini ada tujuh macam antara lain sebagai berikut:
1)   Jarimah zina
2)   Jarimah qazdaf
3)   Jarimah syurbul khamr
4)   Jarimah pencurian
5)   Jarimah hirabah
6)   Jarimah riddah
7)   Jarimah al-Bagyu (pemberontakan).
Dalam jarimah zina, syurbul khamr, hirabah, riddah, dan pemberontakan yang dilanggar adalah hak Allah semata-mata. Sedangkan dalam jarimah pencurian dan qadzaf (penuduhan zina) yang disinggung di samping hak Allah, juga terdapat hak manusia (individu), akan tetapi hak Allah lebih menonjol.[2]
b.    Jarimah qishash dan diat
Jarimah qishash dan diat adalah jarimah yang diancam dengan hukuman qishash dan diat. Baik qishash maupun diat keduanya adalah hukuman yang sudah ditentukan oleh syara’. Perbedaannya dengan hukuman had adalah bahwa had merupakan hak Allah (hak masyarakat), sedangkan qishash dan diat adalah hak manusia (individu). Adapun yang dimaksud hak manusia sebagaimana dikemukakan oleh Mahmud Syaltut adalah suatu hak yang manfaatnya kembali kepada orang tertentu.
Dalam hubungannya dengan hukuman qishash dan diat maka pengertian hak manusia disisni adalah bahwa hukuman tersebut bisa dihapuskan atau dimanfaatkan oleh korban atau keluarganya.
Dengan demikian maka ciri khas jarimah qishash dan diat adalah sebagai berikut:
1)   Hukumannya sudah tertentu dan terbatas, dalam arti sudah ditentukan oleh syara’ dan tidak ada batas minimal dan maksimal.
2)   Hukuman tersebut merupakan hak perseorangan (individu), dalam arti bahwa korban atau keluarganya berhak memberikan pengampunan terhadap pelaku.
Jarimah qishash dan diat ini hanya ada dua macam, yaitu pembunuhan dan penganiayaan. Namun apabila diperluas maka ada lima macam, yaitu:
1)   Pembunuhan sengaja
2)   Pembunuhan menyerupai sengaja
3)   Pembunuhan karena kesalahan
4)   Penganiayaan sengaja
5)   Penganiayaan tidak sengaja.[3]
c.    Jarimah Ta’zir
Jarimah ta’zir adalah jarimah yang diancam dengan hukuman ta’zir. Pengertian ta’zir menurut bahasa ialah ta’dib atau memberi pelajaran. Ta’zir juga diartikan ar-Rad wa al-Man’u,artinya menolak dan mencegah. Akan tetapi menurut istilah, sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam al-Mawardi, ta’zir itu adalah hukuman pendidikan atas dosa (tindak pidana) yang belum ditentukan hukumannya oleh syara’.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa hukuman ta’zir itu adalah hukuman yang belum ditetapkan oleh syara’, melainkan diserahkan oleh ulil amri, baik penentuannya maupun pelaksanaannya. Dalam menentukan hukuman tersebut, penguasa hanya menetapkan hukuman secara global saja. Artinya pembuat undang-undang tidak menetapkan hukuman untuk masing-masing jarimah ta’zir, melainkan hanya menetapkan sekumpulan hukuman, dari yang seringan-ringannya sampai yang seberat-beratnya.
Dengan demikian ciri khas dari jarimah ta’zir itu adalah sebagai berikut:
1)   Hukumannya tidak tertentu dan tidak terbatas . artinya hukuman tersebut belum ditentukan oleh syara’ dan ada batas minimal dan ada batas maksimal.
2)   Penentuan hukuman tersebut adalah hak penguasa.
Berbeda denga jarimah hudud dan qishash maka jarimah ta’zir tidak ditentukan banyaknya. Hal ini oleh karena yang termasuk jarimah ta’zir ini adalah setiap perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had dan qishash, yang jumlahnya sangat banyak.
Tentang diberikannya hak penentuan jarimah ta’zir dan hukumannya kepada penguasa adalah agar mereka dapat mengatur masyarakat dan memelihara kepentingan-kepentingannya, serta bisa menghadapi dengan sebaik-baiknya setiap keadaan yang bersifat mendadak.
Jarimah ta’zir di samping ada yang diserahkan penentuannya sepenuhnya kepada ulil amri, juga ada memang yang sudah ditetapkan oleh syara’, seperti riba dan suap. Di samping itu juga termasuk kedalam kelompok ini, jarimah-jarimah yang sebenarnya sudah ditetapkan hukumannya oleh syara’ (hudud) akan tetapi syarat-syarat untuk dilaksanakannya hukuman tersebut belum terpenuhi. Misalnya pencurian yang tidak sampai selesai atau barang yang dicuri kurang dari nishab pencurian, yaitu seperempat dinar.[4]
2.    Ditinjau dari segi niat
a.    Jarimah sengaja
Masalah sengaja dan tidak sengaja berkaitan erarat dengan niat pelaku. Menurut muhammad Abu Zahrah, yang dimaksud dengan jarimah sengaja adalah suatu jarimah yang dilakukan oleh seseorang dengan kesengajaan dan atas atas kehendaknya serta ia mengetahui bahwa perbuatan tersebut dilarang dan diancam dengan hukuman.
Dari defenisi tersebut dapatlah diketahui bahwa untuk jarimah sengaja harus dipenuhi tiga unsur:
1)   Unsur kesengajaan
2)   Unsur kehendak yang bebas dalam melakukannya
3)   Unsur pengetahuan tentang dilarangnya perbuatan.
Apabila salah satu unsur tersebut tidak ada maka perbuatan tersebut termasuk jarimah yang tidak sengaja.
b.    Jarimah tidak sengaja
Abdul Qadir audah mengemukakan pengertian jarimah tidak sengaja yaitu jarimah diamana pelaku tidak sengaja (berniat) untuk melakukan perbuatan yang dilarang dan perbuatan tersebut terjadi sebagai akibat kelalaiannya (kesalahannya).
Dari defenisi tersebut kita melihat bahwa kelalaian (kesalahan) dari pelaku merupakan faktor penting untuk jarimah tidak sengaja. Kesalahan atau kekeliruan ini ada dua macam:
1)   Pelaku sengaja melakukan perbuatan yang akhirnya menjadi jarimah, tetapi jarimah ini sama sekali tidak diniatkannya. Kekeliruan macam yang pertama ini ada dua macam:
·      Keliru dalam perbuatan. Contohnya seperti seseorang yang menembak binatang buruan, tetapi pelurunya menyimpang mengenai manusia.
·      Keliru dalam dugaan. Contohnya seperti seseorang yang menembak orang lain yang disangkanya penjahat yang sedang dikejarnya, tetapi kemudian ternyata ia penduduk biasa.
2)   Pelaku tidak sengaja berbuat dan jarimah yang terjadi tidak diniatkannya sama sekali. Dalam hal ini jarimah tersebut terjadi sebagai akibat kelalaiannya atau ketidak hati-hatiannya. Dalam istilah para fukaha kekeliruan semacam ini disebut jariyah majral khatha. Seperti seseorang yang tidur disamping seorang bayi dalam barak pengungsian dan ia menindih bayi itu sampai mati.[5]
Pentingnya pembagian ini dapat dilihat dari dua segi yaitu:
·      Dalam jarimah sengaja jelas menunjukkan adanya kesengajaan berbuat jarimah, sedangkan dalam jarimah tidak sengaja kecenderungan untuk berbuat salah tidak ada. Oleh karenanya, hukuman utuk jarimah sengaja lebih berat daripada jarimah tidak sengaja.
·      Dalam jarimah sengaja hukuman tidak bisa dijatuhkan apabila unsur kesengajaan tidak terbukti. Sedangkan pada jarimah tidak sengaja hukuman dijatuhkan karena kelalaian pelaku atau ketidak  hati-hatiannya semata-mata.
3.    Ditinjau dari segi waktu tertangkapnya
a.    Jarimah tertangkap basah
Jarimah tertangkap basah menurut Abdul Qadir adalah jarimah dimana pelakunya tertangkap pada waktu melakukan perbuatan tersebut atau sesudahnya tetapi dalam masa yang dekat.
b.    Jarimah yang tidak tertangkap basah
Jarimah yang tidak tertangkap basah adalah jarimah dimana pelakunya tidak tertangkap pada waktu melakukan perbuatan tersebut, melainkan sesudahnya dengan lewatnya waktu yang tidak sedikit.
Pentingnya pembagian ini dapat dilihat dari segi yaitu:
·      Dari segi pembuktian
Apabila jarimah yang dilakukan berupa jarimah hudud dan pembuktiannya dengan saksi maka dalam jarimah yang tertangkap basah, para saksi harus menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri pada saat terjadinya jarimah tersebut.
·      Dari segi amar ma’ruf nahi mungkar
Dalam jarimah yang tertangkap basah, orang yang kedapatan sedang melakukan tindak pidana dapat dicegah dengan kekerasan, agar ia tidak meneruskan tindakannya.
4.    Ditinjau dari segi cara melakukannya
a.    Jarimah positif
Jarimah positif adalah jarimah yang terjadi karena melakukan perbuatan yang dilarang, seperti pencurian, zina dan pemukulan.
b.    Jarimah negatif
Jarimah negatif adalah jarimah yang terjadi karena meninggalkan perbuatan yang diperintahkan, seperti tidak mau menjadi saksi, enggan melakukan shalat dan puasa.[6]
5.    Ditinjau dari segi objeknya
a.    Jarimah perseorangan
Jarimah perseorangan adalah suatu jarimah dimana hukuman terhadap pelakunya dijatuhkan untuk melindungi hak perseorangan (individu), walaupun sebenarnya apa yang menyinggung individu, juga berarti berarti menyinggung masyarakat.Dengan demikian dalam jarimah perseorangan, segi perseorangan lebih menonjol. Jarimah qishash dan diat termasuk kedalam kelompok jarimah perseorangan. Oleh karenanya korban atau walinya dapat memaafkan pelaku dari hukuman qishash atau diat. Jarimah ta’zir sebagian ada yang termasuk jarimah perseorangan apabila yang dirugikan adalah hak perseorangan seperti penghinaan, penipuan dan semacamnya.
b.      Jarimah masyarakat
Jarimah masyarakat adalah suatu jarimah dimana hukuman terhadap pelakunya dijatuhkan untuk melindungi kepentingan masyarakat, walaupun sebenarnya kadan-kadang apa yang menyinggung masyarakat, juga menyinggung perseorangan. Dengan demikian dalam jarimah masyarakat, segi masyarakat yang terkena jarimah itu lebih menonjol.
Jarimah hudud termasuk kedalam kelompok jarimah masyarakat. Meskipun sebagian daripadanya ada yang mengenai perseorangan, seperti pencurian dan qadzaf (penuduhan zina). Jarimah ta’ir sebagian ada yang termasuk harimah masyarakat, kalau yang disinggung itu hak masyarakat, seprti penimbunan bahan-bahan pokok, korupsi dan semacamnya.
Berbeda dengan jarimah perseorangan, dalam jarimah masyarakat tidak ada pengaruh maaf, karena hukumannya merupakan hak Allah (hak masyarakat).
6.    Ditinjau dari segi tabiatnya
a.    Jarimah biasa
Jarimah biasa adalah jarimah yang dilakukan oleh seseorang tanpa mengaitkannya dengan tujuan-tujuan politik.
b.    Jarimah politik
Jarimah politik menurut Muhammad Abu Zahrah adalah jarimah yang merupakan pelanggaran terhadap peraturan pemerintah atau pejabat-pejabat pemerintah atau terhadap garis-garis politik yang telah ditentukan oleh pemerintah.[7]



BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Tiap-tiap jarimah harus mempunyai unsur-unsur umum yang harus dipenuhi yaitu:
1.    Nas yang melarang perbuatan dan mengancamkan hukuman terhadapnya, dan unsur ini biasa disebut “unsur formil” (rukun syar’i).
2.    Adanya tingkah laku yang membentuk jarimah, baik berupa perbuatan-perbuatan nyataataupun sikap tidak berbuat, dan unsur ini biasa disebut “unsur materiel” (rukun maddi).
3.    Pembuat adalah orang mukallaf, yaitu orang yang dapat dimintai pertanggungan jawab terhadap jarimah yang diperbuatnya, dan unsur ini biasa disebut “unsur moril” (rukun adabi).
Jarimah itu sebenarnya sangat banyak macam dan ragamnya, akan tetapi secara garis besar kita dapat membaginya dengan meninjaunya dari beberapa segi.
1.    Ditinjau dari segi berat ringannya hukuman
2.    Ditinjau dari segi niat
3.    Ditinjau dari segi waktu tertangkapnya
4.    Ditinjau dari segi cara melakukannya
5.    Ditinjau dari segi objeknya
6.    Ditinjau dari segi tabiatnya

B.  Saran
Demikianlah makalh ini kami buat, kami sangat megharap kritik dan saran yang membangun agar dapat menjadi sumber rujukan, sehingga dalam penulisan makalah kami lebih baik di masa mendatang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.



DAFTAR RUJUKAN
Apriliani, Detty. Unsur-Unsur Jinayah. dalam http://makalahtugaskuliahku. blogspot.com/2014/10/fikih-jinayah-unsur-unsur-jinayah.html

Wardi Muslich, Ahmad.  Pengantar dan Asas hukum Pidana Islam Fikih jinayah. Jakarta: Sinar Grafika, 2004




[1]Detty Apriliani, Unsur-Unsur Jinayah, dalam http://makalahtugaskuliahku.blogspot.com/2014/10/fikih-jinayah-unsur-unsur-jinayah.html, diakses pada 06/03/20
[2] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas hukum Pidana Islam Fikih jinayah (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h. 17-18
[3] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas hukum Pidana Islam Fikih jinayah, h. 18-19
[4] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas hukum Pidana Islam Fikih jinayah, h. 19-20

[5] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas hukum Pidana Islam Fikih jinayah, h. 22-23

[6] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas hukum Pidana Islam Fikih jinayah, h. 23-25

[7] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas hukum Pidana Islam Fikih jinayah, h. 26-27


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PERMASALAHAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA

PERMASALAHAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas p...