UNSUR-UNSUR JARIMAH DAN
PEMBAGIAN JARIMAH DAN SANKSINYA
Makalah ini Diajukan untuk Memenuhi Salah
Satu Tugas
Mata Kuliah fiqh Jinayah Program Studi Hukum
Keluarga Islam Fakultas
Syariah dan Hukum Islam IAIN BONE
Oleh:
KELOMPOK
II
ILA
SASMITA
NIM: 01.17.1221
ASWANTO
NIM: 01.17.1238
FAKULTAS
SYARIAH DAN HUKUM ISLAM
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
BONE
2019
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Hukum pidana
Islam mengatur segala permasalahan kejahatan yang dilakukan oleh seseorang,
karena sudah pasti perbuatan atau kejahatan tersebut melanggar syari’at yang
ada. Seseorang yang melakukan kejahatan akan menerima akibatnya seperti
dikenakan salah satu jenis jarimah. Dalam hukum pidana Islam,
ketentuan-ketentuan tentang jarimah telah diatur sedemikian rupa. Jadi, apabila
seseorang berani melakukan sebuah kejahatan, maka dia juga telah siap menerima
jarimah sesuai kejahatan yang dia lakukan.
Akan tetapi,
pemberian jarimah tidak serta merta diberikan begitu saja. Harus diketahui
unsur-unsur yang terkandung dalam tindak pidana agar pemberian jarimah
diberikan secara tepat sehingga keadilan dapat tercapai. Karena, suatu
perbuatan akan mendapat jarimah apabila unsur-unsur yang terkandung dalam
tindak pidana itu sendiri terpenuhi.
Umat Islam,
perlu mengetahui unsur-unsur yang terkandung dalam tindak pidana, agar sikap
yang dipilihnya adalah sikap yang bijak. Karena hal ini menyangkut pula
syari’at, dimana Al-Qur’an dan As-Sunnah selamanya akan dipegang teguh. Oleh
sebab itu, dalam makalah ini penulis mengangkat tema yang didasarkan pada
pentingnya wawasan umat akan unsur-unsur dalam tindak pidana Islam, sehingga
penulis akan memaparkan masalah tersebut dalam makalah dengan judul “unsur-unsur
Jarimah dan Pembagian Jarimah dan sanksinya.”[1]
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan
uraian diatas maka penulis merumuskan sub pokok masalah sebagai berikut :
1. Apa saja unsur-unsur jarimah?
2. Apa Pembagian Jarimah dan sanksinya?
3.
C.
Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah di atas maka
tujuan penulisannya, yaitu sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui unsur-unsur jarimah!
2. Untuk mengetahui pembagian jarimah dan
sanksinya!
BAB II
PEMBAHASAN
A. Unsur-Unsur Jarimah
Tiap-tiap
jarimah harus mempunyai unsur-unsur umum yang harus dipenuhi yaitu:
1. Nas yang melarang perbuatan dan
mengancamkan hukuman terhadapnya, dan unsur ini biasa disebut “unsur formil”
(rukun syar’i).
2. Adanya tingkah laku yang membentuk
jarimah, baik berupa perbuatan-perbuatan nyataataupun sikap tidak berbuat, dan
unsur ini biasa disebut “unsur materiel” (rukun maddi).
3. Pembuat adalah orang mukallaf, yaitu
orang yang dapat dimintai pertanggungan jawab terhadap jarimah yang
diperbuatnya, dan unsur ini biasa disebut “unsur moril” (rukun adabi).
Ketiga
unsur tersebut harus terdapat pada sesuatu perbuatan untuk digolongkan kepada
jarimah. Disamping unsur umum pada tiap-tiap jarimah juga terdapat unsur-unsur
khusus untuk dapat dikenakan hukuman, seperti unsur “pengambilan dengan
diam-diam” bagi jarimah pencurian.
Perbedaan
antara unsur-unsur umum dengan unsur-unsur khusus ialah kalau unsur-unsur umum
satu macamnya dengan jarimah, maka unsur-unsur khusus dapat berbeda-beda
bilangan dan macamnya menurut perbedaan jarimah.
B. Pembagian Jarimah dan sanksinya
Jarimah
itu sebenarnya sangat banyak macam dan ragamnya, akan tetapi secara garis besar
kita dapat membaginya dengan meninjaunya dari beberapa segi.
1. Ditinjau dari segi berat ringannya
hukuman
Dari
segi berat ringannya hukuman, jarimah dapat dibagi kepada tiga bagian antara
lain:
a. Jarimah Hudud
Jarimah
hudud adalah jarimah yang diancam dengan hukuman had. Pengertian hukuman had
adalah hukuman yang telah ditentukan oleh syara’ dan menjadi hak Allah (hak
masyarakat).
Dengan
demikian ciri khas jarimah hudud itu adalah sebagai berikut:
1) Hukumannya tertentu dan terbatas., dalam
arti bahwa hukumannya telah ditentukan oleh syara’ dan tidak ada batas minimal
dan maksimal.
2) Hukuman tersebut merupakan hak Allah
semata-mata, atau kalau ada hak manusia di samping hak Allah maka Allah yang
lebih Menonjol. Pengertian hak Allah sebagaimana dikemukakan oleh Mahmud
Syaltut yaitu suatu hak yang manfaatnya kembali kepada masyarakat dan tidak
tertentu bagi seseorang.
Dalam
hubungannya dengan hukuman had maka pengertian hak Allah disini bahwa hukuman
tersebut tidak bisa dihapuskan oleh perseorangan (orang yang menjadi korban
atau keluarganya) atau oleh masyarakat diwakili oleh negara.
Jarimah
hudud ini ada tujuh macam antara lain sebagai berikut:
1) Jarimah zina
2) Jarimah qazdaf
3) Jarimah syurbul khamr
4) Jarimah pencurian
5) Jarimah hirabah
6) Jarimah riddah
7) Jarimah al-Bagyu (pemberontakan).
Dalam
jarimah zina, syurbul khamr, hirabah, riddah, dan pemberontakan yang dilanggar
adalah hak Allah semata-mata. Sedangkan dalam jarimah pencurian dan qadzaf
(penuduhan zina) yang disinggung di samping hak Allah, juga terdapat hak manusia
(individu), akan tetapi hak Allah lebih menonjol.[2]
b. Jarimah qishash dan diat
Jarimah
qishash dan diat adalah jarimah yang diancam dengan hukuman qishash dan diat.
Baik qishash maupun diat keduanya adalah hukuman yang sudah ditentukan oleh
syara’. Perbedaannya dengan hukuman had adalah bahwa had merupakan hak Allah
(hak masyarakat), sedangkan qishash dan diat adalah hak manusia (individu).
Adapun yang dimaksud hak manusia sebagaimana dikemukakan oleh Mahmud Syaltut
adalah suatu hak yang manfaatnya kembali kepada orang tertentu.
Dalam
hubungannya dengan hukuman qishash dan diat maka pengertian hak manusia disisni
adalah bahwa hukuman tersebut bisa dihapuskan atau dimanfaatkan oleh korban
atau keluarganya.
Dengan
demikian maka ciri khas jarimah qishash dan diat adalah sebagai berikut:
1) Hukumannya sudah tertentu dan terbatas,
dalam arti sudah ditentukan oleh syara’ dan tidak ada batas minimal dan
maksimal.
2) Hukuman tersebut merupakan hak
perseorangan (individu), dalam arti bahwa korban atau keluarganya berhak memberikan
pengampunan terhadap pelaku.
Jarimah
qishash dan diat ini hanya ada dua macam, yaitu pembunuhan dan penganiayaan.
Namun apabila diperluas maka ada lima macam, yaitu:
1) Pembunuhan sengaja
2) Pembunuhan menyerupai sengaja
3) Pembunuhan karena kesalahan
4) Penganiayaan sengaja
5) Penganiayaan tidak sengaja.[3]
c. Jarimah Ta’zir
Jarimah
ta’zir adalah jarimah yang diancam dengan hukuman ta’zir. Pengertian ta’zir
menurut bahasa ialah ta’dib atau memberi pelajaran. Ta’zir juga diartikan ar-Rad wa al-Man’u,artinya menolak dan
mencegah. Akan tetapi menurut istilah, sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam
al-Mawardi, ta’zir itu adalah hukuman pendidikan atas dosa (tindak pidana) yang
belum ditentukan hukumannya oleh syara’.
Secara
ringkas dapat dikatakan bahwa hukuman ta’zir itu adalah hukuman yang belum
ditetapkan oleh syara’, melainkan diserahkan oleh ulil amri, baik penentuannya
maupun pelaksanaannya. Dalam menentukan hukuman tersebut, penguasa hanya
menetapkan hukuman secara global saja. Artinya pembuat undang-undang tidak
menetapkan hukuman untuk masing-masing jarimah ta’zir, melainkan hanya
menetapkan sekumpulan hukuman, dari yang seringan-ringannya sampai yang
seberat-beratnya.
Dengan
demikian ciri khas dari jarimah ta’zir itu adalah sebagai berikut:
1) Hukumannya tidak tertentu dan tidak
terbatas . artinya hukuman tersebut belum ditentukan oleh syara’ dan ada batas
minimal dan ada batas maksimal.
2) Penentuan hukuman tersebut adalah hak
penguasa.
Berbeda
denga jarimah hudud dan qishash maka jarimah ta’zir tidak ditentukan banyaknya.
Hal ini oleh karena yang termasuk jarimah ta’zir ini adalah setiap perbuatan
maksiat yang tidak dikenakan hukuman had dan qishash, yang jumlahnya sangat
banyak.
Tentang
diberikannya hak penentuan jarimah ta’zir dan hukumannya kepada penguasa adalah
agar mereka dapat mengatur masyarakat dan memelihara
kepentingan-kepentingannya, serta bisa menghadapi dengan sebaik-baiknya setiap
keadaan yang bersifat mendadak.
Jarimah
ta’zir di samping ada yang diserahkan penentuannya sepenuhnya kepada ulil amri,
juga ada memang yang sudah ditetapkan oleh syara’, seperti riba dan suap. Di
samping itu juga termasuk kedalam kelompok ini, jarimah-jarimah yang sebenarnya
sudah ditetapkan hukumannya oleh syara’ (hudud) akan tetapi syarat-syarat untuk
dilaksanakannya hukuman tersebut belum terpenuhi. Misalnya pencurian yang tidak
sampai selesai atau barang yang dicuri kurang dari nishab pencurian, yaitu
seperempat dinar.[4]
2. Ditinjau dari segi niat
a. Jarimah sengaja
Masalah
sengaja dan tidak sengaja berkaitan erarat dengan niat pelaku. Menurut muhammad
Abu Zahrah, yang dimaksud dengan jarimah sengaja adalah suatu jarimah yang
dilakukan oleh seseorang dengan kesengajaan dan atas atas kehendaknya serta ia
mengetahui bahwa perbuatan tersebut dilarang dan diancam dengan hukuman.
Dari
defenisi tersebut dapatlah diketahui bahwa untuk jarimah sengaja harus dipenuhi
tiga unsur:
1) Unsur kesengajaan
2) Unsur kehendak yang bebas dalam
melakukannya
3) Unsur pengetahuan tentang dilarangnya
perbuatan.
Apabila
salah satu unsur tersebut tidak ada maka perbuatan tersebut termasuk jarimah
yang tidak sengaja.
b. Jarimah tidak sengaja
Abdul
Qadir audah mengemukakan pengertian jarimah tidak sengaja yaitu jarimah diamana
pelaku tidak sengaja (berniat) untuk melakukan perbuatan yang dilarang dan
perbuatan tersebut terjadi sebagai akibat kelalaiannya (kesalahannya).
Dari
defenisi tersebut kita melihat bahwa kelalaian (kesalahan) dari pelaku
merupakan faktor penting untuk jarimah tidak sengaja. Kesalahan atau kekeliruan
ini ada dua macam:
1) Pelaku sengaja melakukan perbuatan yang
akhirnya menjadi jarimah, tetapi jarimah ini sama sekali tidak diniatkannya.
Kekeliruan macam yang pertama ini ada dua macam:
· Keliru dalam perbuatan. Contohnya
seperti seseorang yang menembak binatang buruan, tetapi pelurunya menyimpang
mengenai manusia.
· Keliru dalam dugaan. Contohnya seperti
seseorang yang menembak orang lain yang disangkanya penjahat yang sedang
dikejarnya, tetapi kemudian ternyata ia penduduk biasa.
2) Pelaku tidak sengaja berbuat dan jarimah
yang terjadi tidak diniatkannya sama sekali. Dalam hal ini jarimah tersebut
terjadi sebagai akibat kelalaiannya atau ketidak hati-hatiannya. Dalam istilah
para fukaha kekeliruan semacam ini disebut jariyah
majral khatha. Seperti seseorang yang tidur disamping seorang bayi dalam
barak pengungsian dan ia menindih bayi itu sampai mati.[5]
Pentingnya
pembagian ini dapat dilihat dari dua segi yaitu:
· Dalam jarimah sengaja jelas menunjukkan
adanya kesengajaan berbuat jarimah, sedangkan dalam jarimah tidak sengaja
kecenderungan untuk berbuat salah tidak ada. Oleh karenanya, hukuman utuk
jarimah sengaja lebih berat daripada jarimah tidak sengaja.
· Dalam jarimah sengaja hukuman tidak bisa
dijatuhkan apabila unsur kesengajaan tidak terbukti. Sedangkan pada jarimah
tidak sengaja hukuman dijatuhkan karena kelalaian pelaku atau ketidak hati-hatiannya semata-mata.
3. Ditinjau dari segi waktu tertangkapnya
a. Jarimah tertangkap basah
Jarimah
tertangkap basah menurut Abdul Qadir adalah jarimah dimana pelakunya tertangkap
pada waktu melakukan perbuatan tersebut atau sesudahnya tetapi dalam masa yang
dekat.
b. Jarimah yang tidak tertangkap basah
Jarimah
yang tidak tertangkap basah adalah jarimah dimana pelakunya tidak tertangkap
pada waktu melakukan perbuatan tersebut, melainkan sesudahnya dengan lewatnya
waktu yang tidak sedikit.
Pentingnya
pembagian ini dapat dilihat dari segi yaitu:
· Dari segi pembuktian
Apabila
jarimah yang dilakukan berupa jarimah hudud dan pembuktiannya dengan saksi maka
dalam jarimah yang tertangkap basah, para saksi harus menyaksikan dengan mata kepalanya
sendiri pada saat terjadinya jarimah tersebut.
· Dari segi amar ma’ruf nahi mungkar
Dalam jarimah yang
tertangkap basah, orang yang kedapatan sedang melakukan tindak pidana dapat
dicegah dengan kekerasan, agar ia tidak meneruskan tindakannya.
4. Ditinjau dari segi cara melakukannya
a. Jarimah positif
Jarimah
positif adalah jarimah yang terjadi karena melakukan perbuatan yang dilarang,
seperti pencurian, zina dan pemukulan.
b. Jarimah negatif
Jarimah
negatif adalah jarimah yang terjadi karena meninggalkan perbuatan yang
diperintahkan, seperti tidak mau menjadi saksi, enggan melakukan shalat dan
puasa.[6]
5. Ditinjau dari segi objeknya
a. Jarimah perseorangan
Jarimah
perseorangan adalah suatu jarimah dimana hukuman terhadap pelakunya dijatuhkan
untuk melindungi hak perseorangan (individu), walaupun sebenarnya apa yang
menyinggung individu, juga berarti berarti menyinggung masyarakat.Dengan
demikian dalam jarimah perseorangan, segi perseorangan lebih menonjol. Jarimah
qishash dan diat termasuk kedalam kelompok jarimah perseorangan. Oleh karenanya
korban atau walinya dapat memaafkan pelaku dari hukuman qishash atau diat.
Jarimah ta’zir sebagian ada yang termasuk jarimah perseorangan apabila yang
dirugikan adalah hak perseorangan seperti penghinaan, penipuan dan semacamnya.
b. Jarimah masyarakat
Jarimah
masyarakat adalah suatu jarimah dimana hukuman terhadap pelakunya dijatuhkan
untuk melindungi kepentingan masyarakat, walaupun sebenarnya kadan-kadang apa
yang menyinggung masyarakat, juga menyinggung perseorangan. Dengan demikian
dalam jarimah masyarakat, segi masyarakat yang terkena jarimah itu lebih
menonjol.
Jarimah
hudud termasuk kedalam kelompok jarimah masyarakat. Meskipun sebagian
daripadanya ada yang mengenai perseorangan, seperti pencurian dan qadzaf
(penuduhan zina). Jarimah ta’ir sebagian ada yang termasuk harimah masyarakat,
kalau yang disinggung itu hak masyarakat, seprti penimbunan bahan-bahan pokok,
korupsi dan semacamnya.
Berbeda
dengan jarimah perseorangan, dalam jarimah masyarakat tidak ada pengaruh maaf, karena
hukumannya merupakan hak Allah (hak masyarakat).
6. Ditinjau dari segi tabiatnya
a. Jarimah biasa
Jarimah
biasa adalah jarimah yang dilakukan oleh seseorang tanpa mengaitkannya dengan
tujuan-tujuan politik.
b. Jarimah politik
Jarimah
politik menurut Muhammad Abu Zahrah adalah jarimah yang merupakan pelanggaran
terhadap peraturan pemerintah atau pejabat-pejabat pemerintah atau terhadap
garis-garis politik yang telah ditentukan oleh pemerintah.[7]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Tiap-tiap
jarimah harus mempunyai unsur-unsur umum yang harus dipenuhi yaitu:
1. Nas yang melarang perbuatan dan
mengancamkan hukuman terhadapnya, dan unsur ini biasa disebut “unsur formil”
(rukun syar’i).
2. Adanya tingkah laku yang membentuk
jarimah, baik berupa perbuatan-perbuatan nyataataupun sikap tidak berbuat, dan
unsur ini biasa disebut “unsur materiel” (rukun maddi).
3. Pembuat adalah orang mukallaf, yaitu
orang yang dapat dimintai pertanggungan jawab terhadap jarimah yang
diperbuatnya, dan unsur ini biasa disebut “unsur moril” (rukun adabi).
Jarimah
itu sebenarnya sangat banyak macam dan ragamnya, akan tetapi secara garis besar
kita dapat membaginya dengan meninjaunya dari beberapa segi.
1. Ditinjau dari segi berat ringannya
hukuman
2. Ditinjau dari segi niat
3. Ditinjau dari segi waktu tertangkapnya
4. Ditinjau dari segi cara melakukannya
5. Ditinjau dari segi objeknya
6. Ditinjau dari segi tabiatnya
B.
Saran
Demikianlah
makalh ini kami buat, kami sangat megharap kritik dan saran yang membangun agar
dapat menjadi sumber rujukan, sehingga dalam penulisan makalah kami lebih baik
di masa mendatang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR
RUJUKAN
Apriliani,
Detty. Unsur-Unsur Jinayah. dalam http://makalahtugaskuliahku.
blogspot.com/2014/10/fikih-jinayah-unsur-unsur-jinayah.html
Wardi Muslich, Ahmad. Pengantar
dan Asas hukum Pidana Islam Fikih jinayah. Jakarta: Sinar Grafika, 2004
[1]Detty Apriliani, Unsur-Unsur Jinayah, dalam http://makalahtugaskuliahku.blogspot.com/2014/10/fikih-jinayah-unsur-unsur-jinayah.html, diakses pada 06/03/20
[2] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas hukum Pidana Islam Fikih
jinayah (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h. 17-18
[3] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas hukum Pidana Islam Fikih
jinayah, h. 18-19
[4] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas hukum Pidana Islam Fikih
jinayah, h. 19-20
[5] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas hukum Pidana Islam Fikih
jinayah, h. 22-23
[6] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas hukum Pidana Islam Fikih
jinayah, h. 23-25
[7] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas hukum Pidana Islam Fikih
jinayah, h. 26-27
Tidak ada komentar:
Posting Komentar