Jumat, 13 Maret 2020

ASAS LEGALITAS


Asas Legalitas


Makalah Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Fiqh Jinayah Prodi 
Hukum Keluarga Islam pada Fakultas Syariah dan Hukum Islam IAIN BONE

Oleh

KELOMPOK 3

KHAERUNNISA
01171214
ILHAM MAULANA ARUNG SAPUTRA
01171217




JURUSAN SYARIAH FAKULTAS HUKUM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BONE
2020


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang perbuatan yang dapat dipidana, siapa yang dapat dipidana, dan apa macam sanksi yang dijatuhkan. Hukum pidana memiliki efek jera bagi pelakunya. Hukum pidana ini termasuk kepada hukum publik, karena dalam penyelesaiannya membutuhkan orang ketiga. Tidak bisa diselesaikan perkara pidana ini tanpa bantuan Negara/pengadilan.
Agama Islam adalah agama yang menggunakan hukum yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits, karena keduanya merupakan pedoman hidup dan semua aspek hukum sudah terkandung didalamnya, baik tindakan maupun hukumannya. Al-Qur’an yang masih bersifat global perlu adanya penafsiran untuk menemukan segala bentuk hukum dan sanksi yang terdapat didalamnya. Hal ini memberikan ruang kepada manusia untuk berfikir dan melihat lebih jauh akan pentingnya hukum dan sanksi itu sendiri.
Suatu tindakan dapat dikenakan sanksi apabila terpenuhi syaratnya yaitu, legalitas. Asas legalitas bermaksud membatasi berlakunya hukum itu sendiri. Ketika pelanggaran sudah terjadi, tetapi hukumnya belum ditetapkan, maka orang tersebut tidak dapat dikenai sanksi atau pidana karena tidak termasuk kepada pelanggaran hukum. Didalam hukum islam juga berlaku Asas Legalitas. Pemberlakuan Asas Legalitas bertujuan untuk melindungi Hak Asasi Manusia, karena Hak Asasi Manusia adalah hak yang paling hakiki, yang tidak boleh dikurangi sedikitpun.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Asas legalitas?
2.      Apa Saja Sumber Hukum Asas Legalitas ?
3.        Bagaimana penerapan Asas Legalitas dalam Jarimah?
4.      Apa saja sumber Hukum Pidana islam ?
C.    Tujuan penulisan
Dari rumusan masalah diatas maka tujuan penulisannya, yaitu sebagai berikut
1.      Mengetahui pengertian asas legalitas.
2.      Mengetahui sumber hukum asas legalitas.
3.      Mengetahui penerapan asas legalitas dalam jarimah.
4.      Mengetahui sumber hukum pidna islam.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    PengertianAsas Legalitas
Kata asas berasal dari bahasa Arab asasun yang berarti dasar atau prinsip, sedangkan kata legalitas berasal dari bahasa latin yaitu lex (kata benda) yang berarti undang-undang, atau dari kata jadian legalis yang berarti sah atau sesuai dengan ketentuan undang-undang. Dengan demikian legalitas adalah "keabsahan sesuatu menurut undang undang"[1]
Secara historis asas legalitas pertama kali digagas oleh Anselm van Voirbacht dan penerapannya di Indonesia dapat dilihat dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi “suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan kekuatan perundang-undangan pidana.”
Kata legalitas berasal dari bahasa latin yaitu lex yang berarti undang-undang atau dari kata jadian “legalis” yang berarti sah atau sesuai dengan ketentuan undang-undang.Yang dimaksud dengan asas legalitas adalah asas yang menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum ada undang-undang yang mengaturnya. Asas ini berdasarkan Alqur’an Surah al-Isra’ ayat 15 dan Surah al-An’am ayat 19.Dalam kaitannya dengan hukum pidana Islam, asas legalitas berarti keabsahan mengaplikasikan hukuman atas melampaui batas (hudud) yang dapat merugikan orang lain, yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits.
Istilah asas legalitas dalam syari’at Islam tidak ditentukan secara jelas sebagaimana yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Positif. Kendati demikian bukan berarti syari’at Islam (hukum pidana Islam) tidak mengenal asas legalitas. Bagi pihak yang menyatakan bahwa hukum pidana Islam tidak mengenal asas hukum legalitas, hanyalah mereka yang belum meneliti secara detail berbagai ayat yang secara substansial menunjukkan adanya asas legalitas.
Asas legalitas dengan semboyan yang tercermin dari ungkapan dalam bahasa latin: nullum delictum nulla poena sine preavia lege poenali, yang artinya tidak ada tindak pidana tidak ada hukuman, kecuali ada undang-undangnya lebih dahulu. Hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan:
Tiada suatu perbuatan yang dapat dihukum, melainkan atas kekuatan aturan pidana dalam undang-undang yang ditetapkan terlebih dahulu daripada perbuatan itu. (geen feit is strafbaar dan uit kracht van eene daaraan voorafgegane wettelijke strafbepaling). Terjemahan bebas “tidak ada perbuatan pidana, apabila tidak diatur lebih dahulu dalam undang-undang”.
Ketentuan di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP dikenal sebagai “asas legalitas” yang mempunyai dua makna, yakni:
1.      Untuk kepastian hukum, bahwa undang-undang hanya berlaku ke depan dan tidak berlaku surut (asas non retroactive).
2.      Untuk kepastian hukum, bahwa sumber hukum pidana tiada lain dari undang-undang (ketentuan hukum umum / lex generalis).

Ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP diatas dapat dikecualikan di dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP yang berbunyi:
Jika terjadi perubahan dalam peraturan hukum sesudah aktu dilakukan perubahan itu, maka dipakailah ketentuan yang lebih meringankan bagi tersangka.
Pasal 1 ayat (2) KUHP ini merupakan ketentuan khusus yang menyampingkan Pasal 1 ayat (1) KUHP sebagai ketentuan umum. Dikenal sebagai asas lex specialis derogat lex generalis.
Asas legalitas ini merupakan suatu jaminan dasar bagi kebebasan individu dengan memberi batas aktivitas apa yang dilarang secara tepat dan jelas. Asas ini melindungi dari penyalahgunaan kekuasaan atau kesewenang-wenangan hakim, menjamin keamanan individu dengan informasi yang boleh dan yang dilarang. Setiap orang harus diberi peringatan sebelumnya tentang perbuatan-perbuatan illegal dan hukumannya. Jadi, berdasarkan asas ini, tiada suatu perbuatan boleh dianggap melanggar hukum oleh hakim jika belum dinyatakan secara jelas oleh suatu hukum pidana dan selama perbuatan itu belum dilakukan. Hakim dapat menjatuhkan pidana hanya terhadap orang yang melakukan perbuatan setelah dinyatakan sebelumnya sebagai tindak pidana. Begitu pun dengan hukum Islam, berlaku asas legalitas ini, berdasarkan hukum yang sudah tercantum dalam al-Qur’an dan al-Hadits.
Adapun istilah legalias dalam syari'at Islam tidak ditentukan secara jelas sebagaimana yang terdapat dalam kitab undang-undang hukum positif. Kendati demikian, bukan berarti syari'at Islam tidak mengenal asas legalitas. Bagi pihak yang menyatakan hukum pidana Islam tidak mengenal asas legalitas, hanyalah mereka yang tidak meneliti secara detail berbagai ayat yang secara substansional menunjukkan adanya asas legalita.[2]
B. Sumber Hukum Asas Legalitas
Asas legalitas dalam Islam bukan berdasarkan pada akal manusia, tetapi dari ketentuan Tuhan. Sedangkan asas legalitas secara jelas dianut dalam hukum Islam. Terbukti adanya beberapa ayat yang menunjukkan asas legalitas tersebut. Allah tidak akan menjatuhkan hukuman pada manusia dan tidak akan meminta pertanggungjawaban manusia sebelum adanya penjelasan dan pemberitahuan dari Rasul-Nya. Demikian juga kewajiban yang harus diemban oleh umat manusia adalah kewajiban yang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, yaitu taklif yang sanggup di kerjakan. Dasar hukum asas legalitas dalam Islam antara lain:

Al-Qur'an surat Al-Isra’: 15

 Artinya:
“Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), Maka Sesungguhnya Dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang sesat Maka Sesungguhnya Dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang Rasul.”

Al-Qur'an surat Al-Qashash: 59

Artinya:
“Dan tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum Dia mengutus di ibukota itu seorang Rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka; dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan kota-kota; kecuali penduduknya dalam Keadaan melakukan kezaliman.”

Kedua ayat tersebut mengandung makna bahwa Al-Qur’an diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW supaya menjadi peringatan (dalam bentuk aturan dan ancaman hukuman) kepadamu.
Dari dua ayat di atas, dapat katagorikan pada tiga kaidah hukum asas legalitas dalam Islam yaitu:
1)      Tidak ada hukuman bagi perbuatan orang berakal sebelum adanya ketentuan nash.
2)      Tidak ada tindak pidana dan hukuman kecuali telah diatur dalam nash.
3)      Asalnya semua perkara dan perbuatan adalah diperbolehkan hingga ada ketentuan yang melarang perbuatan tersebut.[3]
C. Penerapan Asas Legalitas
Asas legalitas diterapkan oleh syara’ pada semua jarimah , akan tetapi corak da cara penerapannya tidak sama, melainkan berbeda-beda menurut perbedaan macamnya jarimah, seperti yang akan terlihat nanti.
1)      Asas Legalits pada Jarimah Hudud
a.       Untuk jarimah zina
a)      Dan janganlah kamu mendekati zina, Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk. (QS. Al-Isra’: 32).
b)      Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera. ( QS. An-Nur: 2).
b.      Untuk jarimah al-qodzaf
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya dan mereka itulah orang-orang yang fasik. (QS. An-Nur: 4).
c.       Untuk jarimah asy-syurbu
Hai orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapatkan keberuntungan. (QS. Al-Maidah: 90)
d.      Untuk jarimah as-sirqah
Pencuri lelaki dan pencuri perempuan hendaklah kamu potong tangannya. (QS. Al-Maidah: 38).
e.       Untuk jarimah al-hirabah
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar. (QS. Al-Maidah: 3).
f.       Untuk jarimah ar-riddah
a)      Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS. Ali Imran: 85).
b)      Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat. (QS. Al-Baqarah: 217).
g.      Untuk jarimah al-baghyu
Dan apabila ada dua golongan orang mukmin berperang, maka damaikalah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap (golongan) yang lain, maka perangilah (golongan) yang berbuat zalim itu, sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlakulah adil. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (QS. Al-Hujurat: 9)
2)      Asas Legalits pada Qiyas-Diyat
a.       Untuk jarimah al-qatl a-’amd
Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan. (QS. Al-Isra’: 33)
b.      Untuk jarimah al-qatl syibh al-‘amd
Rasulullah berkata: “Ingatlah, pada pembunuhan keliru-sengaja (semi-sengaja), yaitu pembunuhan dari pecut, tongkat, dan batu, ialah seratus unta. (Hadits)
c.       Untuk jarimah al-qatl al-khata’
Dan tidak patut bagi seorang yang beriman membunuh seorang yang beriman (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Barang siapa membunuh seorang yang beriman karena tersalah (hendaklah) dia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika dia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal dia orang beriman, maka hendaklah (si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Jika dia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barang siapa tidak memperolehnya, maka hendaklah dia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai tobat kepada Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. An-Nisa’: 92)
d.      Jarimah untuk al-jarh al-khata’
Dalam jarimah ini Rasulullah menentukan batas-batas hukum diyat, dengan dasar perhitungan apabila pada badan hanya terdapat satu macam anggota badan, seperti hidung, lidah, alat kelamin, maka dikenakan satu diyat lengkap seratus unta. Apabila yang dirusakkan adalah anggota badan yang rangkap seperti mata dan telinga, maka untuk masing-masingnya dikenakan setengah diyat, yaitu lima puluh unta. Menghilangkan satu gigi dikenakan lima unta.
Rasulullah juga mewajibkan diyat pada penganiayaan yang menghilangkan indera-indera, seperti pendengaran, penglihatan, dan perasaan (fikiran).
e.       Jarimah untuk al-jarh al-‘amd
Untuk tiap-tiap perusakan atau pelukaan yang tidak ditentukan diyatnya yang lengkap atau sebagian, maka hal itu diserahkan pada hakim, dengan mengambil pertimbangan orang-orang ahli. Aturan tersebut sudah menjadi kesepakatan. (Ijma’).
3)      Asas Legalitas pada Jarimah Ta’zir
Penerapan asas legalitas dalam jarimah ta’zir berbeda penerapan asas legalitas dalam jarimah huddud dan qishash. Abdul Qadir Audah membagi hukuman ta’zir kepada tiga bagian:
a.       Hukuman ta’zir atas perbuatan maksiat.
Para ulama’ sepakat bahwa hukuman ta’zir diterapkan atas setiap perbuatan maksiat, yang tidak dikenakan had dan tidak pula kifarat, baik perbuatan maksiat tersebut menyinggung hak Allah maupun hak adami.
b.      Hukuman ta’zir dalam rangka mewujudkan kemaslahatan umum.
Menurut kaidah umum yang berlaku selama ini dalam syari’at islam, hukuman ta’zir hanya dikenakan terhadap maksiat, yaitu perbuatan yang dilarang karena zat perbuatannya itu sendiri sebagai penyimpangan dari aturan pokok tersebut.
c.       Hukuman ta’zir atas perbuatan pelanggaran (mukhalafah).
Ta’zir karena Pelanggaran (mukholafah) adalah melakukan perbuatan yang diharamkan dan meninggalkan perbuatan yang diwajibkan. Jika meninggalkan kewajiban dan melakukan perbuatan yang diharamkan merupakan maksiat. Untuk menjatuhkan ta’zir atas perbuatan mukhalafah, disyaratkan berulang-ulangnya perbuatan yang dapat dikenakan hukuman, jadi. Sebenarnya penjatuhan itu bukan karena perbuatannya itu sendiri melainkan karena berulang-ulang, sehingga perbuatan itu menjadi adat kebiasaan.
Dengan berpegang kepada asas legalitas seperti yang dikemukakan di atas serta kaidah “tidak ada hukuman bagi mukallaf sebelum adanya ketentuan nash”, maka perbuatan tersebut tidak bisa dikenai tuntutan atau pertanggung-jawaban pidana. Ketentuan ini memberi pengertian bahwa hukum Islam baru berlaku setelah adanya nash yang mengundangkannya. Dengan kata lain, bahwa hukum pidana Islam tidak berlaku surut (atsarun raj’iyyun).
Sebagai gambaran riil mengenai penerapan hukum pidana Islam yang menunjukkan tidak berlaku surut (atsarun raj’iyyun), misalnya: sebelum Islam, riba merupakan perbuatan yang biasa dikerjakan. Kemudian dilarang oleh Islam, dengan firman Allah: Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barang siapa yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka dan mereka kekal di dalamnya.(QS. Al-Baqarah: 275). Dengan adanya larangan tersebut maka riba merupakan perbuatan jarimah, tetapi juga merupakan peristiwa perdata. Nas-nas tersebut berisi dua ketentuan juga, yaitu aturan pidana dan aturan perdata. Menurut aturan pidana, riba yang terjadi sebelum diturunkannya ayat tersebut tidak dikenakan hukuman dan hukuman hanya dikenakan terhadap riba yang terjadi sesudahnya. Menurut aturan perdata, kreditur hanya mempunyai tagihan atas uang pokok saja, tanpa bunga.
D. Sumber hukum pidana islam
Hukum pidana islam adalah bagian dari hukum islam ,jumurul fuqaha’ sudah sepakat sumber-sumber hukum islam pada umumnya ada 4,yakni al-Qur’an,Hadits,Ijmak,Qiyas dan hukum tersebut wajib diikuti.Apabila tidak terdapat hukum suatu peristiwa dala Al-Qur’an bari dicari dalam hadist dan seterusnya prosesnya seperti itu dalam mencari hukum ,adapun masih ada beberapa sumber yang lain tetapi masih banyak diperselisihkan tentang mengikat dan tidaknyaseperti Ikhtisan,ijtihad,maslahat mursalah,urf,sadduz zari’ah,maka hukum pidana islam pun bersumber dari sumer-sumber tersebut.
Tetapi pada umumnya,bagi hukum pidana islam formil,maka kesemua sumber diatas bisa dipakai ,sedangkan untuk hukumpidana islam materil hanya 4 sumber sudah disepakati,sedangkan Qiyas masih diperselisihkan.Dan disini akan dibahas 4 sumber yang telah disepakati. .Dengan demikian sumber hukum pidana islam yang pertama adalah Al-Qur’an,yang kedua adalah As-sunnah,yang ketiga ijma’dan yang keempat qiyas.Hal ini dijelaskan pula oleh hadist yang menceritakan Tanya jawab antara Nabu Muhammad SAW dengan Muaz bin Jabal ketika Muaz diangkat Nabi menjadi GurbernurYaman.
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لما أراد أن يبعث معاذا إلى اليمن قال كيف تقضي إذا عرض لك قضاء قال أقضي بكتاب الله قال فإن لم تجد في كتاب الله قال فبسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم قال فإن لم تجد في سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم ولا في كتاب الله قال أجتهد رأيي ولا آلو.....
Dari Mu’az bin Jabal,sesungguhnya Rasulullah SAW,ketika mengutus Muaz ke Yaman beliau bertanya, “Bagaimana kamu memutuskan sesuatu perkara?”,”:Kuhukumi dengan kitab Allah”,jawabnya. “jika kamu tidak mendapat dalam kitab Allah?” “Dengan sunnah Rasulullah”,jawab Muaz, “jika kamu tidak menemukan dalam kitab Rasulullah?’’ Muaz menjawab “Aku akan mengunakan Ijtihad pikiranku,dan aku tidak akan meninggalkannya”. Rasulullah lau menepuk dadanya seraya memuji sambil berkata,”Alhamdulilah.Allah telah memberi taufik kepada utusan Rasulullah sesuai dengan yang diridai Allah dan Rasul-Nya”. (H.R.Abu Dawud)
1.      Al-Qur’an
       Al-Qur’an adalah sumber hukum ajaran islam yang pertama yang memuat kumpulan beberapa wahyu yang telah diturukan kepada nabi Muhammad SAW.Diantara isi kandungannya adalah peraturan kehidupan manusia dalam hubungannya dengan Allah.Menurut Moenawar Cholil,Al-Qur’an adalah landasan amaliah manusia yang paling sempurna dengan penjelasan yang sempurna dari Rasulullah SAW,yang tidak pernah menjelaskannya dengan hawa nafsu ,kecuali atas dasar wahyu dari allah SAW.
       Dalam kaitannya dengan hukum pidana islam,ketentuan hukum dalam al-Qur’an,terutama yang menyangkut kemasyarakatan,seperti kepidanaan memiliki akibat ganda,yaitu di dunia dalam bentuk hukuman pidana dan di akhirat dalam bentuk siksa,hal tersebut dapat dilihat dalam firman Allah SWT.An-nisa’ ayat 93
 (٩٣)عَظِيمًا عَذَابًا لَهُ وَأَعَدَّ وَلَعَنَهُ عَلَيْهِ اللَّ وَغَضِبَ فِيهَا خَالِدً جَهَنَّمُ فَجَزَاؤُهُ مُتَعَمِّدًا مُؤْمِنًا يَقْتُلْ وَمَنْ
Yang artinya:Dan barang siapa membunuh seseorang yang beriman dengan sengaja,maka balasannya ialah neraka jahannam,dia kekal didalamnya.Allah murka kepadanya,dan melaknatnya serta menyediakan azab yang besar baginya.(Q.S.An-Nisa’93).
Adapun sumber-sumber Hukum pidana dalam al-Qur’an:
1.    Q.S. Al-Isra’: 32
وَلا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلا (٣٢)
Artinya :“Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.”
2.    Q.S. An-Nur: 4
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (٤)
Artinya :“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.”
Ayat di atas menjelaskan tentang larangan Qadahf (menuduh berzina).
3.    Q.S. Al-Baqarah: 219
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ (٢١٩)
Artinya :“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: yang lebih dari keperluan. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir.”
4.    Q.S. Al-Maidah: 38
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (٣٨)
Artinya :“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Dengan demikian,pelaku perbuatan jariamah akan mendapat hukuman di dunia sesuai dengan jenis jarimah dan akan mendapat siksa Allah SWT,diakhirat.Begitu pula dengan perbuatan yang dilakukan di dunia,(berbuat jarimah) yang telah dibalas dengan hukuman didunia,tidak menghilangkan hukuman diakhirat,Hal itu tergantung pada diterima tidaknya tobat yang bersangkutan oleh Allah SWT.
2.  As-Sunnah
         Al-sunnah / Hadits  merupakan sumber hukum ajran islam yang ke2, karena hal-hal yang di ungkapkan dalam Al-qur’an bersifat umum atau memerlukan penjelsan,maka nabi Muhammad Saw menjelaskan melalui Hadist. Adapun yang dimaksud dengan sunnah adalah segala sesuatu yang datang dari nabi. Selain al-Qur’an, baik berupa perkataan, perbuatan atau taqrir yang bisa dijadikan sebagai dasar penetapan hukum syarak. Fungsi dari As- sunnah sendiri adalah untuk menafsirkan menjelaskan ayat Al-Qur’an. Ayat-ayat Al-Qur’an yang hanya menjelaskan dasar-dasar permasalahan sesuatu, maka hadist berfungsi untuk menjelaskan.
a.       Hadits tentang larangan berzina. Hadits nabi saw :
وعن أنس بن ملكِ رَضِيَ اللهَ عَنْهُ قال: أوَّلُ لعانٍ كانَ فِي الإِسلاَمِ أنَّ شريكَ بنَ سحماءَ قذَفَهُ هلالُ بْنُ أميةً بأمرتهِفقاَلَ النَّبِيِّ صَلَّي اللهَ عَلَيهِ وَسَلَّمَ: اْلبَيَّنَةَ وإلاَّ فحدَّ فِي ظَهرِكَ (أخرجه أبو يعلى ورجال ثقات)
Artinya :“Dari anas ibn Malik r.a ia berkata : Li’an pertama yang terjadi dalam Islam ialah bahwa syarik ibn Sahman dituduh oleh Hilal bin Umayyah berzina dengan istrinya. Maka nabi berkata kepada Hilal: Ajukanlah saksi apabila tidak ada maka engkau akan kena hukuman had”. (Hadits diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan perawi yang dipercaya).”
b.      Hadits tentang khamar:
وَعَنْ ابْنِ عمرَ رضيَى الله عنهماَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهَ عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَلَ كُلُّ مُسْكِرِ خَمْرُ وَكُلُ خَمْرٍ حَرَامُ( رواه مسلم
Artinya :“Dari ibnu umar r.a bahwa nabi saw bersabda: setiap yang memabukkan adalah khamar dan setiap yang memabukkan adalah haram”. (H.R. Muslim).”
c.       Hadits Tentang pencurian:
لعنَاللهُ السَّرقَ يسرِقُ الْبَيضَةَ فتقطَعُ يدهُ ويسْرِقَ الْحبلَ فتقطَعُ يدهُ
Artinya :“Allah menguntuk pencuri telur tetap harus dipotong tangannya dan yang mencuri tali juga dipotong tangannya”.
سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ أتاَكُم وَأَمْرُكُم جَمِيعَّ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ يُرِيدُ أَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ أَوْيُفَرِّقَ جَماَعَتَكُمْ فَاقُتُلُوهُ
Artinya :“Saya mendengar Rasulullah saw, bersabda: Barang siapa yang datang kepada kamu sekalian, sedangkan kamu telah sepakat kepada seorang pemimpin, untuk memecah belah kelompok kalian maka bunuhlah dia.”
3.  Ijma’
Ijma’ diartikan kesepakatan,(al-itifaq) tehadap sesuatu.Secara terminologis ijma’ adalah kesepakatan semua mujtahid dari ijma’ umat Muhammad SAW.Terhadap huku syara’ dalam suatu masa setelah beliau wafat.Kata ‘’dari umat Muhammad SAW”,adalah ijma’ para mujtahid umat Muhammad,sekaligus mengecualikan kesepakatan para mujtahid yang buka dari umat Muhammad SAW,misalnya umat Nabi Isa Nabi Musa,dan lainnya.dapat didenifinisi bahwa ijma’ merupakan :
a)      Kesepakatan seluruh mujtahid dari ijma’  Muhammad SAW.
b)      Ijima’ dilakukan dalam suatu masa setelah Rasulullah  SAW.
c)      Ijima’ berkaitan dengan hukum syara’.
ada beberapa macam ijma’,yaitu:
Ijma’ qauli atau sharih,yaitu yang dikeluarkan oleh para mujtahid secara lisan ataupun tulisan yang mengeluarkan persetujuan atas pendapat mujtahid lain pada zamannya.
Ijma’ sukuti yaitu yang dikeluarkan oleh para mujtahid secara diam,yang diartikan setuju dengan pendapat para mujtahid lain.
Ijma’ sahabat yang dikeluarkan oleh para sahabat.
Kehujjahan Ijma’ berdasarkan pada dalil-dalil berikut :
-Surat An-Nisa’ 115
 مَصِيرًا. وَسَاءَتْ جَهَنَّمَ وَنُصْلِهِ تَوَلَّىٰ مَا نُوَلِّهِ  الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلِ غَيْرَ يَتَّبِعْ وَ لْهُدَىٰ لَهُ تَبَيَّنَ مَا بَعْدِ مِنْ الرَّسُولَ يُشَاقِقِ وَمَنْ
“Dan barangsiapa menentang Rasul(Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya,dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin,Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan kami masukkan dia kedalam neraka jahannam,dan itu seburuk-buruk tempat kembali (Q.S.An-Nisa’ :115)
        Ayat tersebut menjelaskan prang yang menentang rasul setelah jelas kebenaran baginya .Kebenaran yang dibawa rasul telah disepakati oleh umat islam,artinya sudah ijma’.ayat itupun menjelaskan bahwa orang yang menentang “jalan orang mukmin” sama dengan menentang Rasul,artinya sama dengan menetang ijma’.Berdasarkan ayat tersebut para ulama berkesimpulan tentang adanya Ijma’ dala islam .karena dalam ayat inin Allah SWT menyebutkan”Barang siap yang menentang Rasul”setelah hidayah dating kepadanya dan dia tidak mengikutu jalan kaum mukminin.Allah SWT tidak hanya mengatakan barangsiapa yang menentang Rasulullah setelah hidayah datang kepadanya,disamping dia menetang Rsulullah SAW dia juga tidakmengikuti kaum mukninin,dan “sabilamukminin”  menunjukkan ijma’.Sebagaimana telah dijelaskan oleh imam asy-syafi’I dan para imam lainnya bahwa maksud kata “al-mukminin” dalam ayat diatas adalah sahabat.oleh karena itu ijma’ secra keseluruhan yang mungkin terjadi menurut pendapat para ulama adalah  ijma’ sahabat.
       Adapun contoh lain dari Ijma’ misalnya:Pengumpulan dan pembukuan Al-Qur’an sejak pemerintahan abu bakar tetapi ide Umar Bin Khattab,penetapan awal ramadhan dan syawal berdasarkan ru’yatul hilal,nenek mendapat harta 1/6 dari cucunya.
      Ijma’ yang dilakukan umat Muhammad SAW.harus dijadiakn sumber hukum dan hujjah syar’iyah karena umat Muhammad adalah umat yang paling benar,sebagai umatan wasathan,yaitu umat yang memiliki sikap keseimbangan dalam segala hal.Tujuannya agar menjadi saksi terhadap seluruh manusia.Salah satu syarat adalah bersikap adil.
4.  Qiyas
       Qiyas berasal dari kata qasa,yaqifu,qaisan,arinya mengukur dan ukuran.Kata qiyas diartikan ukuran sukatan,timbangan,dan lain-lain searti dengan ituatau pengukuran sesuatu dengan yang lai,atau penyamaan sesuatu dengan sejenis,miasalnya kalimat  (ia telah mengukur sesuatu dengan lainnya atas lainnya)
Qiyas diartikan pula dengan at-taqdir wa al-taswiyah,artinya menduga dan mempersamakan
 Adapun arti-arti qiyas lain yaitu :
·         Mengeluarkan hukum yang disebutkan pada tidak disebutkan dengan menghimpun keduanya.
·         Qiyas adalah membandingkan yang didiamkan (tidak ada ketentuan hukumnya) pada yang diterangkan (sudah ada ketentuan hukumnya) pada illat hukum.
·         Menetapkan hukum yang diketahui pada yang hukum lain yang diketahui,karena persekutuan (persamaan)illat hukum.
·         Menghasilkan hukum pokok pada cabang karena bersamaan padanya illat hukum disis mujtahid.
·         Menghubungkan perkara yang didiamkan oleh  syara’ (tidak ada ketetapan hukumnya) dengan yang diterangkan (ditetapkan hukumnya) karena illat yang sama pada keduanya.
·         Membawa yang diketahu pada sesuatu lain yang diketahui pula untuk menetapkan hukum atau melarang keduanya karena ada sesuatu yang sama diantara keduanya,baik hukum maupun sifatnya.
       Dari beberapa definisi tersebut dapat dikemukakan secara tegas bahwa yang dimaksud dengan qiyas adalah menetapkan hukum perbuatan yang belum ada ketentuannya,berdasarkan sesuatu yang sudah ada ketentuan hukumnya.akan tetapi Kehujjahan melalui metode analogis meneurut jumhurul ulama’ adalah tidak sah,oleh karena itu dapat diterima sebagai hujjah syar’iyyah.Artinya perbuatan-perbuatan yang diqiyaskan itu dapat mempunyai kekuatan-kekuatan hukum asalkan pesyaratan kumulatif dari masalah tersebut dipenuhi.Syarat utama pendekatan analogis atau qiyas adalah adanya persamaan illat hukum.Dengan demikian,pendekatan analogis akan lebih mengutamakan logika induktif,karena dari kasus khusus ditarik pada kasus yang sifatnya umum.Dala qiyas ada proses generalisasi sehinnga memerlukan penalaran yang serius dan proses analisis ke berbagai sudut pandang,mulai pemaknaan bahasa,pemahaman peristiwa asal,dan sifat-sifat hukum yang dikatagorikan memiliki indikasi yang serupa.Dengan permikiran tersebut,ulama usululfiqh mengatakan bahwa rukun qiyas tediri atas:
·         Ashl atau pokok,yaitu peristiwa yang sudah ada nashnya dijadikan tempat menganalogikan.
·         Far’u (cabang),yaitu peristiwa yang tidak ada nashnya,yang akan dipersamakan hukumnya dengan ashl yang disebut maqis dan musyabah (yang dianalogikakan dan diserupakan).
Hukum ashl,yaitu hukum syara’ yang telah ditentukan oleh nash.
Qiyas dibagi 2 macam, yaitu al-qiyas al-aqliy dan al-qiyas asy-syari’.Kedua qiyas itu dapat digunakan untuk beragumentasi.Qiyas ‘aqli banyak digunakan oleh mutakalimin dalam menyelesaikan berbagai persoalan akidah pada zamanya.Dalam qiya ‘aqli,illat yang diperoleh hanya ada satu dan pasti,tidak mungkin diperolrh dari dua illat yang berbeda atau lebih.[4]






















DAFTAR PUSTAKA
SubektidanTjitrosudibyo, kamusHukum, (Jakarta: pradnyaParamita, 1969), hlm, 63.
Abd al-QodirAwdah, At-Tasyri al-Jinai al-Islami,(Beirut: Dar al-Fikr,t.t.),1:118.
Mustofa Hasan, M.Ag.dan Drs.Beni Ahmad Saebani,M.Si.Hukum Pidana Islam fiqh jinayah.Bandung; Pustaka setia bandung.2013,cet1



















[1].SubektidanTjitrosudibyo, kamusHukum, (Jakarta: pradnyaParamita, 1969), hlm, 63.
[2]Abd al-QodirAwdah, At-Tasyri al-Jinai al-Islami,(Beirut: Dar al-Fikr,t.t.),1:118.
[3] http://faiqtobroni.files.wordpress.com/2011/10/perkembangan-asas-hp-dan-perbandingan-dg-Islam.pdf

[4]Mustofa Hasan, M.Ag.dan Drs.Beni Ahmad Saebani,M.Si.Hukum Pidana Islam fiqh jinayah.Bandung; Pustaka setia bandung.2013,cet1.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PERMASALAHAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA

PERMASALAHAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas p...