Makalah
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Fiqh Jinayah Prodi
Hukum Keluarga Islam pada Fakultas Syariah dan Hukum Islam IAIN BONE
Hukum Keluarga Islam pada Fakultas Syariah dan Hukum Islam IAIN BONE
Oleh
KELOMPOK
3
KHAERUNNISA
01171214
ILHAM
MAULANA ARUNG SAPUTRA
01171217
JURUSAN SYARIAH FAKULTAS HUKUM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BONE
2020
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hukum pidana
adalah hukum yang mengatur tentang perbuatan yang dapat dipidana, siapa yang
dapat dipidana, dan apa macam sanksi yang dijatuhkan. Hukum pidana memiliki
efek jera bagi pelakunya. Hukum pidana ini termasuk kepada hukum publik, karena
dalam penyelesaiannya membutuhkan orang ketiga. Tidak bisa diselesaikan perkara
pidana ini tanpa bantuan Negara/pengadilan.
Agama Islam
adalah agama yang menggunakan hukum yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits,
karena keduanya merupakan pedoman hidup dan semua aspek hukum sudah terkandung
didalamnya, baik tindakan maupun hukumannya. Al-Qur’an yang masih bersifat
global perlu adanya penafsiran untuk menemukan segala bentuk hukum dan sanksi
yang terdapat didalamnya. Hal ini memberikan ruang kepada manusia untuk
berfikir dan melihat lebih jauh akan pentingnya hukum dan sanksi itu sendiri.
Suatu
tindakan dapat dikenakan sanksi apabila terpenuhi syaratnya yaitu, legalitas.
Asas legalitas bermaksud membatasi berlakunya hukum itu sendiri. Ketika
pelanggaran sudah terjadi, tetapi hukumnya belum ditetapkan, maka orang
tersebut tidak dapat dikenai sanksi atau pidana karena tidak termasuk kepada
pelanggaran hukum. Didalam hukum islam juga berlaku Asas Legalitas.
Pemberlakuan Asas Legalitas bertujuan untuk melindungi Hak Asasi Manusia,
karena Hak Asasi Manusia adalah hak yang paling hakiki, yang tidak boleh
dikurangi sedikitpun.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
pengertian Asas legalitas?
2.
Apa Saja Sumber Hukum Asas Legalitas ?
3.
Bagaimana penerapan Asas
Legalitas dalam Jarimah?
4.
Apa saja sumber Hukum Pidana islam ?
C.
Tujuan
penulisan
Dari rumusan
masalah diatas maka tujuan penulisannya, yaitu sebagai berikut
1.
Mengetahui
pengertian asas legalitas.
2.
Mengetahui sumber
hukum asas legalitas.
3.
Mengetahui
penerapan asas legalitas dalam jarimah.
4. Mengetahui sumber hukum pidna islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PengertianAsas Legalitas
Kata asas berasal dari bahasa Arab asasun yang berarti dasar atau
prinsip, sedangkan kata legalitas berasal dari bahasa latin yaitu lex
(kata benda) yang berarti undang-undang, atau dari kata jadian legalis
yang berarti sah atau sesuai dengan ketentuan undang-undang. Dengan demikian
legalitas adalah "keabsahan
sesuatu menurut undang undang"[1]
Secara historis asas legalitas pertama kali digagas oleh Anselm van Voirbacht dan penerapannya di
Indonesia dapat dilihat dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP) yang berbunyi “suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan
kekuatan perundang-undangan pidana.”
Kata legalitas berasal dari bahasa latin yaitu lex yang
berarti undang-undang atau dari kata jadian “legalis” yang berarti sah
atau sesuai dengan ketentuan undang-undang.Yang dimaksud dengan asas legalitas
adalah asas yang menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran dan tidak ada hukuman
sebelum ada undang-undang yang mengaturnya. Asas ini berdasarkan Alqur’an Surah
al-Isra’ ayat 15 dan Surah al-An’am ayat 19.Dalam kaitannya dengan hukum pidana
Islam, asas legalitas berarti keabsahan mengaplikasikan hukuman atas melampaui
batas (hudud) yang dapat merugikan orang lain, yang bersumber dari al-Qur’an
dan al-Hadits.
Istilah asas legalitas dalam syari’at Islam tidak ditentukan secara jelas
sebagaimana yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Positif.
Kendati demikian bukan berarti syari’at Islam (hukum pidana Islam) tidak
mengenal asas legalitas. Bagi pihak yang menyatakan bahwa hukum pidana Islam
tidak mengenal asas hukum legalitas, hanyalah mereka yang belum meneliti secara
detail berbagai ayat yang secara substansial menunjukkan adanya asas legalitas.
Asas legalitas dengan semboyan yang tercermin dari ungkapan dalam bahasa
latin: nullum delictum nulla poena sine preavia lege poenali, yang
artinya tidak ada tindak pidana tidak ada hukuman, kecuali ada undang-undangnya
lebih dahulu. Hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan:
Tiada suatu perbuatan yang dapat dihukum, melainkan atas kekuatan aturan
pidana dalam undang-undang yang ditetapkan terlebih dahulu daripada perbuatan
itu. (geen feit is strafbaar dan uit kracht van eene daaraan voorafgegane
wettelijke strafbepaling). Terjemahan bebas “tidak ada perbuatan pidana,
apabila tidak diatur lebih dahulu dalam undang-undang”.
Ketentuan di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP dikenal sebagai “asas legalitas”
yang mempunyai dua makna, yakni:
1. Untuk kepastian hukum,
bahwa undang-undang hanya berlaku ke depan dan tidak berlaku surut (asas non
retroactive).
2. Untuk kepastian hukum,
bahwa sumber hukum pidana tiada lain dari undang-undang (ketentuan hukum umum /
lex generalis).
Ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP diatas dapat dikecualikan di dalam
Pasal 1 ayat (2) KUHP yang berbunyi:
Jika terjadi perubahan dalam peraturan hukum sesudah aktu dilakukan
perubahan itu, maka dipakailah ketentuan yang lebih meringankan bagi tersangka.
Pasal 1 ayat (2) KUHP ini merupakan ketentuan khusus yang menyampingkan
Pasal 1 ayat (1) KUHP sebagai ketentuan umum. Dikenal sebagai asas lex specialis
derogat lex generalis.
Asas legalitas ini merupakan suatu jaminan dasar bagi kebebasan
individu dengan memberi batas aktivitas apa yang dilarang secara tepat dan
jelas. Asas ini melindungi dari penyalahgunaan kekuasaan atau
kesewenang-wenangan hakim, menjamin keamanan individu dengan informasi yang
boleh dan yang dilarang. Setiap orang harus diberi peringatan sebelumnya tentang
perbuatan-perbuatan illegal dan hukumannya. Jadi, berdasarkan asas ini, tiada
suatu perbuatan boleh dianggap melanggar hukum oleh hakim jika belum dinyatakan
secara jelas oleh suatu hukum pidana dan selama perbuatan itu belum dilakukan.
Hakim dapat menjatuhkan pidana hanya terhadap orang yang melakukan perbuatan
setelah dinyatakan sebelumnya sebagai tindak pidana. Begitu pun dengan
hukum Islam, berlaku asas legalitas ini, berdasarkan hukum yang sudah tercantum
dalam al-Qur’an dan al-Hadits.
Adapun istilah legalias dalam syari'at Islam tidak ditentukan secara jelas
sebagaimana yang terdapat dalam kitab undang-undang hukum positif. Kendati
demikian, bukan berarti syari'at Islam tidak mengenal asas legalitas. Bagi
pihak yang menyatakan hukum pidana Islam tidak mengenal asas legalitas,
hanyalah mereka yang tidak meneliti secara detail berbagai ayat yang secara
substansional menunjukkan adanya asas legalita.[2]
B. Sumber Hukum Asas Legalitas
Asas legalitas dalam Islam bukan berdasarkan pada akal manusia, tetapi dari
ketentuan Tuhan. Sedangkan asas legalitas secara jelas dianut dalam hukum
Islam. Terbukti adanya beberapa ayat yang menunjukkan asas legalitas tersebut.
Allah tidak akan menjatuhkan hukuman pada manusia dan tidak akan meminta
pertanggungjawaban manusia sebelum adanya penjelasan dan pemberitahuan dari
Rasul-Nya. Demikian juga kewajiban yang harus diemban oleh umat manusia adalah
kewajiban yang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, yaitu taklif yang sanggup
di kerjakan. Dasar hukum asas legalitas dalam Islam antara lain:
Al-Qur'an surat Al-Isra’: 15
Artinya:
“Barangsiapa
yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), Maka Sesungguhnya Dia berbuat itu
untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang sesat Maka
Sesungguhnya Dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. dan seorang yang
berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan meng'azab
sebelum Kami mengutus seorang Rasul.”
Al-Qur'an surat
Al-Qashash: 59
Artinya:
“Dan tidak
adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum Dia mengutus di ibukota itu
seorang Rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka; dan tidak pernah
(pula) Kami membinasakan kota-kota; kecuali penduduknya dalam Keadaan melakukan
kezaliman.”
Kedua ayat tersebut mengandung
makna bahwa Al-Qur’an diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW supaya
menjadi peringatan (dalam bentuk aturan dan ancaman hukuman) kepadamu.
Dari dua ayat di atas, dapat
katagorikan pada tiga kaidah hukum asas legalitas dalam Islam yaitu:
1) Tidak ada hukuman bagi perbuatan orang
berakal sebelum adanya ketentuan nash.
2)
Tidak ada tindak pidana dan hukuman kecuali telah diatur dalam nash.
3) Asalnya semua perkara dan perbuatan adalah
diperbolehkan hingga ada ketentuan yang melarang perbuatan tersebut.[3]
C. Penerapan Asas Legalitas
Asas legalitas diterapkan oleh syara’ pada semua
jarimah , akan tetapi corak da cara penerapannya
tidak sama, melainkan berbeda-beda menurut perbedaan macamnya jarimah, seperti
yang akan terlihat nanti.
1) Asas Legalits pada
Jarimah Hudud
a.
Untuk jarimah zina
a)
Dan janganlah kamu mendekati zina, Sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk. (QS. Al-Isra’: 32).
b)
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap
seorang dari keduanya seratus dali dera. ( QS. An-Nur: 2).
b. Untuk jarimah al-qodzaf
Dan orang-orang yang
menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak
mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan
puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya
dan mereka itulah orang-orang yang fasik. (QS. An-Nur: 4).
c. Untuk jarimah asy-syurbu
Hai orang yang beriman,
sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi
nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapatkan keberuntungan. (QS. Al-Maidah:
90)
d. Untuk jarimah as-sirqah
Pencuri lelaki dan
pencuri perempuan hendaklah kamu potong tangannya. (QS. Al-Maidah: 38).
e. Untuk jarimah al-hirabah
Sesungguhnya pembalasan
terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan
di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan
kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat
kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di
dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar. (QS. Al-Maidah: 3).
f. Untuk jarimah ar-riddah
a)
Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah
akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang
yang rugi. (QS. Ali Imran: 85).
b)
Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam
kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat.
(QS. Al-Baqarah: 217).
g. Untuk jarimah al-baghyu
Dan apabila ada dua
golongan orang mukmin berperang, maka damaikalah antara keduanya. Jika salah
satu dari keduanya berbuat zalim terhadap (golongan) yang lain, maka perangilah
(golongan) yang berbuat zalim itu, sehingga golongan itu kembali kepada
perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka
damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlakulah adil. Sungguh, Allah
mencintai orang-orang yang berlaku adil. (QS. Al-Hujurat: 9)
2) Asas Legalits pada
Qiyas-Diyat
a. Untuk jarimah al-qatl
a-’amd
Dan janganlah kamu
membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu
(alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya
Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris
itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat
pertolongan. (QS. Al-Isra’: 33)
b. Untuk jarimah al-qatl
syibh al-‘amd
Rasulullah berkata:
“Ingatlah, pada pembunuhan keliru-sengaja (semi-sengaja), yaitu pembunuhan dari
pecut, tongkat, dan batu, ialah seratus unta. (Hadits)
c. Untuk jarimah al-qatl
al-khata’
Dan tidak patut bagi
seorang yang beriman membunuh seorang yang beriman (yang lain), kecuali karena
tersalah (tidak sengaja). Barang siapa membunuh seorang yang beriman karena
tersalah (hendaklah) dia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta
membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali
jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika dia (si terbunuh) dari kaum
yang memusuhimu, padahal dia orang beriman, maka hendaklah (si pembunuh)
memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Jika dia (si terbunuh) dari kaum
(kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah
si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh)
serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barang siapa tidak memperolehnya,
maka hendaklah dia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai
tobat kepada Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS.
An-Nisa’: 92)
d. Jarimah untuk al-jarh
al-khata’
Dalam jarimah ini
Rasulullah menentukan batas-batas hukum diyat, dengan dasar perhitungan apabila
pada badan hanya terdapat satu macam anggota badan, seperti hidung, lidah, alat
kelamin, maka dikenakan satu diyat lengkap seratus unta. Apabila yang
dirusakkan adalah anggota badan yang rangkap seperti mata dan telinga, maka
untuk masing-masingnya dikenakan setengah diyat, yaitu lima puluh unta.
Menghilangkan satu gigi dikenakan lima unta.
Rasulullah juga
mewajibkan diyat pada penganiayaan yang menghilangkan indera-indera, seperti
pendengaran, penglihatan, dan perasaan (fikiran).
e. Jarimah untuk al-jarh
al-‘amd
Untuk tiap-tiap
perusakan atau pelukaan yang tidak ditentukan diyatnya yang lengkap atau
sebagian, maka hal itu diserahkan pada hakim, dengan mengambil pertimbangan
orang-orang ahli. Aturan tersebut sudah menjadi kesepakatan. (Ijma’).
3) Asas Legalitas pada
Jarimah Ta’zir
Penerapan asas
legalitas dalam jarimah ta’zir berbeda penerapan asas legalitas dalam jarimah
huddud dan qishash. Abdul Qadir Audah membagi hukuman ta’zir kepada tiga
bagian:
a.
Hukuman ta’zir atas perbuatan maksiat.
Para ulama’ sepakat
bahwa hukuman ta’zir diterapkan atas setiap perbuatan maksiat, yang tidak
dikenakan had dan tidak pula kifarat, baik perbuatan maksiat tersebut
menyinggung hak Allah maupun hak adami.
b.
Hukuman ta’zir dalam rangka mewujudkan kemaslahatan umum.
Menurut kaidah umum
yang berlaku selama ini dalam syari’at islam, hukuman ta’zir hanya dikenakan
terhadap maksiat, yaitu perbuatan yang dilarang karena zat perbuatannya itu
sendiri sebagai penyimpangan dari aturan pokok tersebut.
c.
Hukuman ta’zir atas perbuatan pelanggaran (mukhalafah).
Ta’zir karena
Pelanggaran (mukholafah) adalah melakukan perbuatan yang diharamkan dan
meninggalkan perbuatan yang diwajibkan. Jika meninggalkan kewajiban dan
melakukan perbuatan yang diharamkan merupakan maksiat. Untuk menjatuhkan ta’zir
atas perbuatan mukhalafah, disyaratkan berulang-ulangnya perbuatan yang
dapat dikenakan hukuman, jadi. Sebenarnya penjatuhan itu bukan karena
perbuatannya itu sendiri melainkan karena berulang-ulang, sehingga perbuatan
itu menjadi adat kebiasaan.
Dengan berpegang kepada asas
legalitas seperti yang dikemukakan di atas serta kaidah “tidak ada hukuman bagi
mukallaf sebelum adanya ketentuan nash”, maka perbuatan tersebut tidak bisa
dikenai tuntutan atau pertanggung-jawaban pidana. Ketentuan ini memberi
pengertian bahwa hukum Islam baru berlaku setelah adanya nash yang mengundangkannya.
Dengan kata lain, bahwa hukum pidana Islam tidak berlaku surut (atsarun raj’iyyun).
Sebagai gambaran riil mengenai
penerapan hukum pidana Islam yang menunjukkan tidak berlaku surut (atsarun raj’iyyun), misalnya: sebelum Islam, riba
merupakan perbuatan yang biasa dikerjakan. Kemudian dilarang oleh Islam, dengan
firman Allah: Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus
berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu
(sebelum datang larangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barang siapa
yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka
dan mereka kekal di dalamnya.(QS. Al-Baqarah: 275). Dengan adanya larangan
tersebut maka riba merupakan perbuatan jarimah, tetapi juga merupakan peristiwa
perdata. Nas-nas tersebut berisi dua ketentuan juga, yaitu aturan pidana dan
aturan perdata. Menurut aturan pidana, riba yang terjadi sebelum diturunkannya
ayat tersebut tidak dikenakan hukuman dan hukuman hanya dikenakan terhadap riba
yang terjadi sesudahnya. Menurut aturan perdata, kreditur hanya mempunyai
tagihan atas uang pokok saja, tanpa bunga.
D. Sumber
hukum pidana islam
Hukum pidana islam adalah bagian dari hukum islam
,jumurul fuqaha’ sudah sepakat sumber-sumber hukum islam pada umumnya ada
4,yakni al-Qur’an,Hadits,Ijmak,Qiyas dan hukum tersebut wajib diikuti.Apabila
tidak terdapat hukum suatu peristiwa dala Al-Qur’an bari dicari dalam hadist
dan seterusnya prosesnya seperti itu dalam mencari hukum ,adapun masih ada
beberapa sumber yang lain tetapi masih banyak diperselisihkan tentang mengikat
dan tidaknyaseperti Ikhtisan,ijtihad,maslahat mursalah,urf,sadduz zari’ah,maka
hukum pidana islam pun bersumber dari sumer-sumber tersebut.
Tetapi pada umumnya,bagi hukum pidana islam
formil,maka kesemua sumber diatas bisa dipakai ,sedangkan untuk hukumpidana
islam materil hanya 4 sumber sudah disepakati,sedangkan Qiyas masih diperselisihkan.Dan
disini akan dibahas 4 sumber yang telah disepakati. .Dengan demikian sumber
hukum pidana islam yang pertama adalah Al-Qur’an,yang kedua adalah
As-sunnah,yang ketiga ijma’dan yang keempat qiyas.Hal ini dijelaskan pula oleh
hadist yang menceritakan Tanya jawab antara Nabu Muhammad SAW dengan Muaz bin
Jabal ketika Muaz diangkat Nabi menjadi GurbernurYaman.
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لما
أراد أن يبعث معاذا إلى اليمن قال كيف تقضي إذا عرض لك قضاء قال أقضي بكتاب الله
قال فإن لم تجد في كتاب الله قال فبسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم قال فإن لم
تجد في سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم ولا في كتاب الله قال أجتهد رأيي ولا آلو.....
Dari Mu’az bin Jabal,sesungguhnya Rasulullah
SAW,ketika mengutus Muaz ke Yaman beliau bertanya, “Bagaimana kamu memutuskan
sesuatu perkara?”,”:Kuhukumi dengan kitab Allah”,jawabnya. “jika kamu tidak
mendapat dalam kitab Allah?” “Dengan sunnah Rasulullah”,jawab Muaz, “jika kamu
tidak menemukan dalam kitab Rasulullah?’’ Muaz menjawab “Aku akan mengunakan
Ijtihad pikiranku,dan aku tidak akan meninggalkannya”. Rasulullah lau menepuk
dadanya seraya memuji sambil berkata,”Alhamdulilah.Allah telah memberi taufik
kepada utusan Rasulullah sesuai dengan yang diridai Allah dan Rasul-Nya”.
(H.R.Abu Dawud)
1. Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah
sumber hukum ajaran islam yang pertama yang memuat kumpulan beberapa wahyu yang
telah diturukan kepada nabi Muhammad SAW.Diantara isi kandungannya adalah
peraturan kehidupan manusia dalam hubungannya dengan Allah.Menurut Moenawar
Cholil,Al-Qur’an adalah landasan amaliah manusia yang paling sempurna dengan
penjelasan yang sempurna dari Rasulullah SAW,yang tidak pernah menjelaskannya
dengan hawa nafsu ,kecuali atas dasar wahyu dari allah SAW.
Dalam kaitannya
dengan hukum pidana islam,ketentuan hukum dalam al-Qur’an,terutama yang
menyangkut kemasyarakatan,seperti kepidanaan memiliki akibat ganda,yaitu di
dunia dalam bentuk hukuman pidana dan di akhirat dalam bentuk siksa,hal
tersebut dapat dilihat dalam firman Allah SWT.An-nisa’ ayat 93
(٩٣)عَظِيمًا عَذَابًا لَهُ وَأَعَدَّ
وَلَعَنَهُ عَلَيْهِ اللَّ وَغَضِبَ فِيهَا خَالِدً جَهَنَّمُ فَجَزَاؤُهُ
مُتَعَمِّدًا مُؤْمِنًا يَقْتُلْ وَمَنْ
Yang artinya:Dan barang siapa membunuh seseorang yang
beriman dengan sengaja,maka balasannya ialah neraka jahannam,dia kekal
didalamnya.Allah murka kepadanya,dan melaknatnya serta menyediakan azab yang
besar baginya.(Q.S.An-Nisa’93).
Adapun sumber-sumber Hukum pidana dalam al-Qur’an:
1. Q.S. Al-Isra’: 32
وَلا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ
كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلا (٣٢)
Artinya :“Dan janganlah kamu mendekati zina;
Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang
buruk.”
2. Q.S. An-Nur: 4
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ
ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً
وَلا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (٤)
Artinya :“Dan orang-orang yang menuduh
wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat
orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera,
dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka
Itulah orang-orang yang fasik.”
Ayat di atas menjelaskan tentang larangan Qadahf
(menuduh berzina).
3. Q.S. Al-Baqarah: 219
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ
وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا
أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ
كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ (٢١٩)
Artinya :“Mereka bertanya kepadamu tentang
khamar dan judi. Katakanlah: Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan
beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari
manfaatnya. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah:
yang lebih dari keperluan. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu
supaya kamu berfikir.”
4. Q.S. Al-Maidah: 38
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ
فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ
عَزِيزٌ حَكِيمٌ (٣٨)
Artinya :“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang
mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka
kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.”
Dengan demikian,pelaku perbuatan jariamah akan
mendapat hukuman di dunia sesuai dengan jenis jarimah dan akan mendapat siksa
Allah SWT,diakhirat.Begitu pula dengan perbuatan yang dilakukan di
dunia,(berbuat jarimah) yang telah dibalas dengan hukuman didunia,tidak
menghilangkan hukuman diakhirat,Hal itu tergantung pada diterima tidaknya tobat
yang bersangkutan oleh Allah SWT.
2. As-Sunnah
Al-sunnah / Hadits merupakan sumber hukum ajran islam yang ke2,
karena hal-hal yang di ungkapkan dalam Al-qur’an bersifat umum atau memerlukan
penjelsan,maka nabi Muhammad Saw menjelaskan melalui Hadist. Adapun yang
dimaksud dengan sunnah adalah segala sesuatu yang datang dari nabi. Selain
al-Qur’an, baik berupa perkataan, perbuatan atau taqrir yang bisa dijadikan
sebagai dasar penetapan hukum syarak. Fungsi dari As- sunnah sendiri
adalah untuk menafsirkan menjelaskan ayat Al-Qur’an. Ayat-ayat Al-Qur’an yang
hanya menjelaskan dasar-dasar permasalahan sesuatu, maka hadist berfungsi untuk
menjelaskan.
a. Hadits
tentang larangan berzina. Hadits nabi saw :
وعن أنس بن ملكِ رَضِيَ اللهَ عَنْهُ
قال: أوَّلُ لعانٍ كانَ فِي الإِسلاَمِ أنَّ شريكَ بنَ سحماءَ قذَفَهُ هلالُ بْنُ
أميةً بأمرتهِ, فقاَلَ
النَّبِيِّ صَلَّي اللهَ عَلَيهِ وَسَلَّمَ: اْلبَيَّنَةَ وإلاَّ فحدَّ فِي
ظَهرِكَ (أخرجه أبو يعلى ورجال ثقات)
Artinya :“Dari anas ibn Malik r.a ia berkata :
Li’an pertama yang terjadi dalam Islam ialah bahwa syarik ibn Sahman dituduh
oleh Hilal bin Umayyah berzina dengan istrinya. Maka nabi berkata kepada Hilal:
Ajukanlah saksi apabila tidak ada maka engkau akan kena hukuman had”. (Hadits
diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan perawi yang dipercaya).”
b. Hadits tentang
khamar:
وَعَنْ ابْنِ عمرَ رضيَى الله عنهماَ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهَ عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَلَ كُلُّ مُسْكِرِ خَمْرُ
وَكُلُ خَمْرٍ حَرَامُ( رواه مسلم
Artinya :“Dari ibnu umar r.a bahwa nabi saw
bersabda: setiap yang memabukkan adalah khamar dan setiap yang memabukkan
adalah haram”. (H.R. Muslim).”
c. Hadits
Tentang pencurian:
لعنَاللهُ السَّرقَ يسرِقُ الْبَيضَةَ
فتقطَعُ يدهُ ويسْرِقَ الْحبلَ فتقطَعُ يدهُ
Artinya :“Allah menguntuk pencuri telur tetap harus
dipotong tangannya dan yang mencuri tali juga dipotong tangannya”.
سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ أتاَكُم وَأَمْرُكُم جَمِيعَّ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ
يُرِيدُ أَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ أَوْيُفَرِّقَ جَماَعَتَكُمْ فَاقُتُلُوهُ
Artinya :“Saya mendengar Rasulullah saw, bersabda:
Barang siapa yang datang kepada kamu sekalian, sedangkan kamu telah sepakat
kepada seorang pemimpin, untuk memecah belah kelompok kalian maka bunuhlah
dia.”
3. Ijma’
Ijma’ diartikan kesepakatan,(al-itifaq) tehadap
sesuatu.Secara terminologis ijma’ adalah kesepakatan semua mujtahid dari ijma’
umat Muhammad SAW.Terhadap huku syara’ dalam suatu masa setelah beliau
wafat.Kata ‘’dari umat Muhammad SAW”,adalah ijma’ para mujtahid umat
Muhammad,sekaligus mengecualikan kesepakatan para mujtahid yang buka dari umat
Muhammad SAW,misalnya umat Nabi Isa Nabi Musa,dan lainnya.dapat didenifinisi
bahwa ijma’ merupakan :
a) Kesepakatan seluruh mujtahid dari ijma’ Muhammad
SAW.
b)
Ijima’
dilakukan dalam suatu masa setelah Rasulullah SAW.
c) Ijima’ berkaitan dengan hukum syara’.
ada beberapa macam ijma’,yaitu:
Ijma’ qauli atau sharih,yaitu yang dikeluarkan oleh
para mujtahid secara lisan ataupun tulisan yang mengeluarkan persetujuan atas
pendapat mujtahid lain pada zamannya.
Ijma’ sukuti yaitu yang dikeluarkan oleh para mujtahid
secara diam,yang diartikan setuju dengan pendapat para mujtahid lain.
Ijma’ sahabat yang dikeluarkan oleh para sahabat.
Kehujjahan Ijma’ berdasarkan pada dalil-dalil berikut
:
-Surat An-Nisa’ 115
مَصِيرًا. وَسَاءَتْ جَهَنَّمَ وَنُصْلِهِ تَوَلَّىٰ مَا
نُوَلِّهِ
الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلِ
غَيْرَ يَتَّبِعْ وَ لْهُدَىٰ لَهُ تَبَيَّنَ مَا بَعْدِ مِنْ الرَّسُولَ
يُشَاقِقِ وَمَنْ
“Dan barangsiapa menentang Rasul(Muhammad) setelah
jelas kebenaran baginya,dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang
mukmin,Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan kami
masukkan dia kedalam neraka jahannam,dan itu seburuk-buruk tempat kembali (Q.S.An-Nisa’
:115)
Ayat
tersebut menjelaskan prang yang menentang rasul setelah jelas kebenaran baginya
.Kebenaran yang dibawa rasul telah disepakati oleh umat islam,artinya sudah
ijma’.ayat itupun menjelaskan bahwa orang yang menentang “jalan orang mukmin”
sama dengan menentang Rasul,artinya sama dengan menetang ijma’.Berdasarkan ayat
tersebut para ulama berkesimpulan tentang adanya Ijma’ dala islam .karena dalam
ayat inin Allah SWT menyebutkan”Barang siap yang menentang Rasul”setelah
hidayah dating kepadanya dan dia tidak mengikutu jalan kaum mukminin.Allah SWT
tidak hanya mengatakan barangsiapa yang menentang Rasulullah setelah hidayah
datang kepadanya,disamping dia menetang Rsulullah SAW dia juga tidakmengikuti
kaum mukninin,dan “sabilamukminin” menunjukkan ijma’.Sebagaimana
telah dijelaskan oleh imam asy-syafi’I dan para imam lainnya bahwa maksud kata
“al-mukminin” dalam ayat diatas adalah sahabat.oleh karena itu ijma’ secra
keseluruhan yang mungkin terjadi menurut pendapat para ulama adalah ijma’
sahabat.
Adapun contoh
lain dari Ijma’ misalnya:Pengumpulan dan pembukuan Al-Qur’an sejak pemerintahan
abu bakar tetapi ide Umar Bin Khattab,penetapan awal ramadhan dan syawal
berdasarkan ru’yatul hilal,nenek mendapat harta 1/6 dari cucunya.
Ijma’ yang dilakukan
umat Muhammad SAW.harus dijadiakn sumber hukum dan hujjah syar’iyah karena umat
Muhammad adalah umat yang paling benar,sebagai umatan wasathan,yaitu umat yang
memiliki sikap keseimbangan dalam segala hal.Tujuannya agar menjadi saksi
terhadap seluruh manusia.Salah satu syarat adalah bersikap adil.
4. Qiyas
Qiyas berasal
dari kata qasa,yaqifu,qaisan,arinya mengukur dan ukuran.Kata qiyas diartikan
ukuran sukatan,timbangan,dan lain-lain searti dengan ituatau pengukuran sesuatu
dengan yang lai,atau penyamaan sesuatu dengan sejenis,miasalnya kalimat
(ia telah mengukur sesuatu dengan lainnya atas lainnya)
Qiyas diartikan pula dengan at-taqdir wa
al-taswiyah,artinya menduga dan mempersamakan
Adapun arti-arti qiyas lain yaitu :
·
Mengeluarkan
hukum yang disebutkan pada tidak disebutkan dengan menghimpun keduanya.
·
Qiyas adalah
membandingkan yang didiamkan (tidak ada ketentuan hukumnya) pada yang
diterangkan (sudah ada ketentuan hukumnya) pada illat hukum.
·
Menetapkan
hukum yang diketahui pada yang hukum lain yang diketahui,karena persekutuan
(persamaan)illat hukum.
·
Menghasilkan
hukum pokok pada cabang karena bersamaan padanya illat hukum disis mujtahid.
·
Menghubungkan
perkara yang didiamkan oleh syara’ (tidak ada ketetapan hukumnya) dengan
yang diterangkan (ditetapkan hukumnya) karena illat yang sama pada keduanya.
·
Membawa yang
diketahu pada sesuatu lain yang diketahui pula untuk menetapkan hukum atau
melarang keduanya karena ada sesuatu yang sama diantara keduanya,baik hukum
maupun sifatnya.
Dari beberapa
definisi tersebut dapat dikemukakan secara tegas bahwa yang dimaksud dengan
qiyas adalah menetapkan hukum perbuatan yang belum ada ketentuannya,berdasarkan
sesuatu yang sudah ada ketentuan hukumnya.akan tetapi Kehujjahan melalui metode
analogis meneurut jumhurul ulama’ adalah tidak sah,oleh karena itu dapat
diterima sebagai hujjah syar’iyyah.Artinya perbuatan-perbuatan yang diqiyaskan
itu dapat mempunyai kekuatan-kekuatan hukum asalkan pesyaratan kumulatif dari
masalah tersebut dipenuhi.Syarat utama pendekatan analogis atau qiyas adalah
adanya persamaan illat hukum.Dengan demikian,pendekatan analogis akan lebih
mengutamakan logika induktif,karena dari kasus khusus ditarik pada kasus yang
sifatnya umum.Dala qiyas ada proses generalisasi sehinnga memerlukan penalaran
yang serius dan proses analisis ke berbagai sudut pandang,mulai pemaknaan
bahasa,pemahaman peristiwa asal,dan sifat-sifat hukum yang dikatagorikan
memiliki indikasi yang serupa.Dengan permikiran tersebut,ulama usululfiqh
mengatakan bahwa rukun qiyas tediri atas:
·
Ashl atau
pokok,yaitu peristiwa yang sudah ada nashnya dijadikan tempat menganalogikan.
·
Far’u
(cabang),yaitu peristiwa yang tidak ada nashnya,yang akan dipersamakan hukumnya
dengan ashl yang disebut maqis dan musyabah (yang dianalogikakan dan
diserupakan).
Hukum ashl,yaitu hukum syara’ yang telah
ditentukan oleh nash.
Qiyas dibagi 2 macam, yaitu al-qiyas al-aqliy dan
al-qiyas asy-syari’.Kedua qiyas itu dapat digunakan untuk beragumentasi.Qiyas
‘aqli banyak digunakan oleh mutakalimin dalam menyelesaikan berbagai persoalan
akidah pada zamanya.Dalam qiya ‘aqli,illat yang diperoleh hanya ada satu dan
pasti,tidak mungkin diperolrh dari dua illat yang berbeda atau lebih.[4]
DAFTAR PUSTAKA
SubektidanTjitrosudibyo,
kamusHukum, (Jakarta: pradnyaParamita, 1969), hlm, 63.
Abd
al-QodirAwdah, At-Tasyri al-Jinai al-Islami,(Beirut: Dar al-Fikr,t.t.),1:118.
Mustofa Hasan, M.Ag.dan Drs.Beni Ahmad Saebani,M.Si.Hukum
Pidana Islam fiqh jinayah.Bandung; Pustaka setia bandung.2013,cet1
[2]Abd al-QodirAwdah, At-Tasyri al-Jinai
al-Islami,(Beirut: Dar al-Fikr,t.t.),1:118.
[3]
http://faiqtobroni.files.wordpress.com/2011/10/perkembangan-asas-hp-dan-perbandingan-dg-Islam.pdf
[4]Mustofa
Hasan, M.Ag.dan Drs.Beni Ahmad Saebani,M.Si.Hukum Pidana Islam fiqh jinayah.Bandung;
Pustaka setia bandung.2013,cet1.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar