PERMASALAHAN
KERJASAMA BERBUAT
JARIMAH
Makalah
ini Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata
Kuliah Fiqh Jinayah Program Studi Hukum Keluarga Islam Fakultas
Syariah
dan Hukum Islam IAIN BONE
Oleh:
KELOMPOK
IV
WILDA
ASTUTI
NIM: 01.17.1220
MUH.
ZULFIKAR
NIM: 01.17.1233
FAKULTAS
SYARIAH DAN HUKUM ISLAM
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
BONE
2020
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Manusia hidup saling
membutuhkan antara satu dengan yang lainnya. Sifat saling tergantung ini
menghasilkan bentuk kerjasama tertentu yang bersifat ajeg dan menghasilkan
bentuk masyarakat tertentu. Manusia adalah makhluk sosial, itu hampir tidak
diragukan lagi. Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial tersebut memiliki
kepentingan-kepentingan yang terwujud dalam bentuk kerjasama bahkan sebaliknya
dapat menimbulkan pertentangan-pertentangan.
Tatanan masyarakat pada
umumnya diatur oleh sebuah undang-undang atau peraturan yang menjadi pedoman
dalam bertindak dan bertingkah laku yang terwujud dalam perintah dan larangan.
Namun demikian nampaknya perintah dan larangan saja tidak cukup untuk
meninggalkan perbuatan-perbuatan buruk, maka dari itu diperlukan adanya
norma-norma seperti norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, dan juga
norma hukum. Adanya norma-norma
yang mengatur dan membatasi kebebasan bersikap dan bertindak individu pada
masyarakat merupakan perwujudan perlindungan masyarakat pada warganya dalam
pergaulan hidup bersama.
Norma-norma ataupun aturan tersebut kemudian dikenal
dengan hukum, yaitu satuan ketentuan baik yang tertulis maupun yang tidak
tertulis yang mengatur tata tertib masyarakat sehingga bagi siapapun yang
melanggar tata tertib tersebut maka akan dijatuhi hukuman sebagaimana ketentuan
yang ada. Sebagaimana diketahui bahwa
kejahatan di dunia ini ada seiring dengan perkembangan manusia, kehendak untuk
berbuat jahat inheren dalam kehidupan manusia. Ada
yang dilakukan oleh antar seorang manusia dengan seorang manusia lainnya, antar
seorang dengan beberapa orang lainnya, atau bahkan dari beberapa orang terhadap
seorang individu lainnya, sebagaimana topik pembahasan pada makalaha ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
uraian diatas maka penulis merumuskan sub pokok masalah sebagai berikut :
1. Jelaskan
pengertian kerjasama berbuat jarimah?
2.
Jelaskan apa
saja bentuk-bentuk & pendapat para Ulama mengenai pelaksanaan turut serta
berbuat jarimah?
3.
Apa saja yang
menjadi syarat terjadinya turut berbuat jarimah?
C.
Tujuan
Penulisan
Dari rumusan masalah di atas maka
tujuan penulisannya, yaitu sebagai berikut:
1. Untuk
mengetahui pengertian kerjasama berbuat jarimah!
2. Untuk
mengetahui bentuk-bentuk dan pendapat
para ulama mengenai pelaksanaan turut serta berbuat jarimah!
3. Untuk mengetahui syarat terjadinya turut berbuat
jarimah!
4.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kerjasama/Turut
Serta Berbuat Jarimah
Kerjasama
dalam jarimah adalah perbuatan jarimah yang dilakukan secara bersama-sama
ataupun berserikat dan saling menghendaki dan sama-sama melakukan perbuatan
pelaksanaan peristiwa pidana tersebut. Namun, perlu diketahui bahwa tindak
pidana berserikat lebih ditekankan bahwa kedua-duanya (si pelaku) merupakan
pelaku utama.[1]
Menurut
riwayat Daruquthni yang dikutip oleh Sjaukani, tindak pidana turut serta
berbuat, terdapat ketentuannya di dalam hadits yang bersumber kepada Ibnu
‘Umar, dimana Rasulullah telah berkata :”Jika seorang laki-laki telah memegang
laki-laki, lalu laki-laki lain membunuh laki-laki yang dipegang itu, maka
dibunuh yang melakukan pembunuhan dan dikurung yang melakukan pemegangan.”
Demikian juga hadits yang diriwayatkan oleh Imam As-Syafi’I sebagaimana yang
dikutip oleh As-Syaukani yang mengetakan bahwasanya ’Ali r.a. telah menghukum
seorang laki-laki yang telah membunuh laki-laki dengan sengaja dan yang lainnya
memegangnya, maka beliau berkata dibunuh pembunuhnya, dan dikurung yang
belakangan di dalam penjara sehingga ia mati.[2]
Perbuatan
jarimah atau tindak pidana adakalanya dilakukan secara perseorangan dan
adakalanya dilakukan secara berkelompok. Turut serta melakukan jarimah adalah melakukan
jarimah secara bersama-sama, baik melalui kesepakatan atau kebetulan,
menghasut, menyuruh orang lain, memberi bantuan maupun keluasan.
Menurut
Ahmad Hanafi, turut serta berbuat jarmah berada di dalam empat kemungkinan:
1. Pelaku melakukan jarimah bersama-sama orang lain (mengambil
bagiannya dalam melaksanakan jarimah). Artinya, secara kebetulan melakukan
bersama-sama;
2. Pelaku mengadakan persepakatan dengan orang lain untuk
melakukan jarimah;
3. Pelaku menghasut (menyuruh) orang lain untuk melakukan
jarimah;
4. Orang yang memberi bantuan atau kesempatan jarimah dengan
berbagai cara, tanpa turut serta melakukannya.[3]
Berdasarkan kemungkinan di atas, dapat
dikemukakan 2 syarat umum tindakan jarimah yang harus terdapat dalam perkara
tindak pidana (jarimah):
Pertama, para pelaku terdiri atas beberapa orang. Jika
pelaku hanya sendirian, tidak ada istilah keturut-sertaan secara langsung atau
tidak langsung. Kedua, para
pelaku dihubungkan kepada suatu perbuatan yang dilarang yang dijatuhi hukuman
jika melanggarnya. Jika tidak termasuk dalam pelangggaran tersebut, maka secara
otomatis tidak masuk dalam perkara pidana, secar otomatis pula tidak ada
istilah keturut-sertaan.
B. Bentuk-Bentuk
& Pendapat Ulama mengenai Pelaksanaan Turut Serta Berbuat Jarimah
Bentuk-bentuk
pelaksanaan keikutsertaan jarimah ini, para ahli fiqh menyebutkan dua hal,
yaitu langsung (isytirak mubasyir) dan
tidak langsung (ghayr mubasyir).[4]
1. Turut serta Berbuat
Langsung
Turut serta secara
langsung terjadi apabila orang-orang melakukan jarimah dengan nyata lebih dari satu orang. Yang dimaksud
dengan
nyata adalah bahwa setiap orang
yang turut serta itu masing-masing mengambil bagian secara langsung,
meskipun tidak sampai selesai. Cukup diangap sebagai
turut serta langsung apabila seseorang telah melakukan
suatu perbuatan yang dianggap sebagai permulaan pelaksanaan jarimah.
Turut berbuat langsung dalam pelaksanaanya serta tindakannya terbagi dalam dua bentuk yaitu sebagai berikut:
a.
Turut berbuat
langsung
secara
tawafuq, adalah beberapa orang
diantaranya ada yang melakukan suatu kejahatan secara bersama
tanpa kesepakatan sebelumnya.[5] Dalam melakukan
perbuatan tersebut, mereka tidak melakukan kesepakatan untuk merencanakan secara kolektif.
Tiap-tiap pelaku jarimah secara psikologis terbawa peristiwa yang
sedang berlangsung dihadapannya. Misalnya,
ketika terjadi demonstrasi atau tawuran
pelajar,
sering dimanfaatkan oleh orang lain yang melihatnya.
Diantaranya, ada
yang
mengambil
kesempatan untuk berbuat
sesuatu, mencuri, merusak
atau memperkosa wanita-wanita yang ketakutan.[6] Dalam
hal
ini cara
pertanggung jawaban
pada jarimah turut serta
secara
tawafuq (kebetulan), kebanyakan ulama mengatakan bahwa
setiap pelaku bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya, tanpa dibebani
hasil perbuatan yang dilakukan oleh yang lainnya.
b.
Turut berbuat langsung secara
tamalu adalah perbuatan
jarimah yang dilakukan lebih dari seorang, direncanakan, dan disepakati sejak awal. Pada tamalu para pelaku telah bersepakat untuk
melakukan suatu jarimah
dan
menginginkan bersama terwujudnya hasil jarimah
itu, serta saling membantu dalam menjalankan aksinya, apabila ada dua orang bersepakat untuk membunuh orang ketiga, kemudian kedua-duanya pergi, lantas yang satu mengikat korban dan
yang lain memukul kepala hingga mati, maka kedua-duanya bertanggung jawab atas kematian orang
ketiga tersebut.
Pertanggung jawaban pidana secara tamalu (disepakati,
direncanakan). Semua pelaku jarimah
bertanggung jawab
atas hasil yang telah meraka perbuat. Dalam kasus pembunuhan misalnya, seluruh
pelaku jarimah bertanggung jawab atas kematian si korban. Namun menurut Abu Hanafiah, hukuman bagi tawafuq dan tamalu
adalah
sama saja. Mereka bersama-sama dianggap melakukan perbuatan tersebut
dan bertanggung
jawab atas
semuanya.
Menurut
Abu Hanifah, antara tawaquf dan tamalu sama saja hukumannya, yaitu
masing-masing peserta hanya bertanggungjawab atas perbuatannya sendiri dan
tidak bertanggungjawab atas akibat perbuatan secara keseluruhan. Di mana
menurut riwayat Daruquthni seperti dikutip Asy-Syaukani, ketentuan turut
berbuat langsung adalah hadist dari Abu Hurairah bahwa dari Abu Hurairah
r.a.dari Nabi Muhammad SAW., “Apabila seorang laki-laki memegangi (korban),
sedangkan laki-laki lain membunuhnya, maka dibunuh bagi orang yang membunuhnya
dan dikurung bagi orang yang memeganginya.”
Dalil
tersebut menurut Asy-Syaukani menunjukkan bahwa qisashnya dikenakan bagi orang
yang membunuhnya, sedangkan bagi yang memegang, hukumannya dikurung. Kahalany
juga berpendapat demikian tanpa menyebutkan kadar waktunya.
Adapun
An-Nasa’i, Imam Malik, dan Abi Laila berpendapat bahwa terhadap yang memegangi
korban dalam kasus pembunuhan, juga dikenai hukum qisas, sebab dia dianggap sebagai
mubasyir (pelaku) pembunuhan. Menurut mereka, pembunuhan tersebut tidak mungkin
terjadi secara sempurna, tanpa keterlibatan orang yang memegangi korban.
Disamping itu, juga dipandang sebagai turut
berbuat langsung peserta yang menjadi sebab (tidak langsung), apabila pembuat
langsung hanya kaki tangannya semata-mata. Misalnya jika seseorang menyuruh
anak dibawah umur untuk membunuh orang lain, kemudian suruhan itu dilaksanakan,
maka menurut Imam Malik, Syafi’idan Ahmad orang yang menyuruh itu dipandang
sebagai pembuat langsung karena orang yang disuruh hanya merupakan alat
semata-mata.
Sementara
itu tentang hal ini para fuqaha hanya membicarakan hukum “turut berbuat
langsung” yang disebut dengan istilah Isytirak Mubasyir. Sedang hukum “turut
berbuat tidak langsung” atau Isytirak Ghairu Mubasyir tidak disinggung. Jadi,
pembuat tidak langsung apabila turut melakukan jarimah yang diancam hukuman
tertentu maka tidak dikenakan dengan hukuman itu sendiri, sebab hukuman
tersebut hanya diancamkan kepada pembuat langsung saja, akan tetapi dikenakan
sebagai jarimah ta’zir.[7]
2. Turut
Serta Tidak Langsung
Turut berbuat tidak langsung adalah setiap orang
yang melakukan perjanjian dengan orang lain untuk melaksanaan sesuatu aperbuatan yang dapat dihukum, atau menyuruh (menghasut) orang lain atau memberikan
bantuan dalam perbuatan tersebut dengan disertai kesengajaan dalam persepakatan dan menyuruh serta memberi bantuan.
Mengenai hukuman
berbuat tidak langsung, menurut hukum
Islam adalah hukuman ta’zir. Sebab jarimah turut berbuat tidak
langsung tidak ditentukan oleh syara’, baik bentuk ataupun macam hukumannya. Jarimah
yang
ditentukan oleh syara’ hanya jarimah hudud dan qisash diat. Kedua bentuk Jarimah tersebut hanya tertuju pada Jarimah yang diperbuat secara langsung, bukan untuk kawan berbuatnya ( pembuat tidak langsung).
Perbuatan tidak langsung merupakan illat dan menunjukkan kesyubhatan (kesamaran) dalam perbuatan
Jarimah sedangkan syubhat dalam hudud (jarimah hudud dan qisash diat)
menurut kaidah harus dihindari. Oleh karena itu, sanksi pelaku Jarimah turut serta secara tidak langsung hukuman yang diperoleh adalah
hukumanbukan ta’zir hudud atau qisash.
Para pelaku tidak langsung, yaitu
setiap orang yang mengadakan perjanjian dengan orang lain untuk melakukan suatu
perbuatan yang dapat dihukum, atau menyuruh orang lain, atau memberikan bantuan
dalam perbuatan tersebut dengan disertai kesengajaan dalam kesepakatan dan
menyuruh serta memberi bantuan.
Turut berbuat tidak langsung bisa terjadi dengan
berbagai
cara seperti dengan jalan persepakatan, hasutan atau memberi bantuan.
a.
Menyuruh/ menghasut (tahridl) ialah membujuk
orang lain untuk berbuat jarimah,
dan bujukan itu menjadi pendorong
untuk diperbuatnya jarimah, walaupun tidak ada hasutan
atau bujukan, maka tidak bisa dikatakan sebagai pendorongnya. Baik bujukan itu berpengaruh atau tidak
terhadap adanya
jarimah, namun bujukan itu sendiri adalah suatu maksiat yang bisa dijatuhi hukuman. [8]
Hukuman qisash berlaku bagi orang yang menyuruh berbuat sebagai ganti rugi orang yang melakukan atau
mubassyir. Oleh karena itu berdasarkan kenyataan ini orang yang
menyuruh dianggap pelaku tindak pidana mukallaf mubassyir, walaupun dalam kenyataannya
ia
tidak
turut dalam
ambil bagian perbuatan yang disuruh secara fisik.
Apabila orang yang
menggeluarkan perintah (bujukan) mempunyai kekuatan atas orang yang diperintahnya, seperti orang tua terhadap anaknya atau
guru terhadap muridnya, maka perintah tersebut bisa dianggap sebagai paksaan. Kalau yang diperintah itu tidak
dibawah umur, tidak dungu atau gila, dan yang memerintah tidak mempunyai kekuasaan atasnya, maka
perintahnya itu dianggap bujukan biasa, yang boleh
jadi
menimbulkan jarimah.
b. Memberi bantuan (I’anah), orang yang memberi bantuan
kepada orang lain dalam memperbuat jarimah dianggap
sebagai kawan berbuat tidak langsung meskipun tidak ada persepakatan sebelumnya,
seperti
mengamati-amati
jalan untuk mempermuda
pencurian bagi orang lain.
Perbedaan antara memberi bantuan dengan pembuat asli
adalah alau pembuat asli (mubassyir) ialah orang yang memperbuat atau mencoba memperbuat pekerjaan yang dilarang, maa pemberi bantuan tidak
berbuat atau mencoba berbuat melainkan hanya menolong pembuat asli dengan perbuatan-perbuatan yang tidak ada sangut-pautnya dengan perbuatan-perbuatan yang dilarang ataupun sebagai pelaksana terhadap perbuatan tersebut.
Yang
disebut dengan turut serta tidak langsung, menurut Ahmad Hanafi adalah sebagai
berikut: setiap orang yang mengadakan perjanjian dengan orang lain untuk
melakukan suatu perbuatan yang dapat dihukum atau menyuruh ( menghasut ) orang
lain atau memberikan bantuan dengan disertai kesengajaan dalam kesepakatan dan
menyuruh serta memberi bantuan.
Turut
berbuat jarimah yang tidak langsung adalah seperti orang yang menyuruh orang
lain untuk membunuh orang ketiga. Dalam kasus ini, menurut para ulama di
kalangan mazhab Maliki, Syafi’i, dan Ahmad, orang yang menyuruh itulah yang
dianggap sebagai pelaku pembunuhan. Karena orang yang disuruh itu hanyalah alat
yang digerakkan oleh si penyuruh.
Mengenai
hukuman peserta berbuat tidak langsung, menurut hukum Islam adalah hukuman
takzir, sebab jarimah turut berbuat tidak langsung tidak ditentukan oleh
sariat, baik bentuk maupun macam hukumnya. Hudud dan kisas / diat saja. Kedua
bentuk jarimah tersebut (hudud dan kisas / diat) hanya tertuju pada jarimah
yang diperbuat secara langsung, bukan untuk kawan perbuatannya (pembuat tidak
langsung). Perbuatan tidak langsung merupakan illat dan menunjukkan kesubhatan
(kesamaran) dalam perbuatan jarimah, sedangkan subhat dalam hudud (jarimah
hudud dan kisas / diat) menurut kaidah, harus dihindari. Oleh karena itu,
sanksi pelaku jarimah turut serta secara tidak langsung adalah hukuman takzir, bukan
hudud atau kisash.[9]
C.
Syarat Terjadinya Turut Berbuat
Jarimah
Sehubungan dengan ini ada tiga syarat bagi
terjadinya turut berbuat jarimah, yaitu:[10]
1. Adanya
perbuatan yang diancam dengan hukuman ( jarimah ).
2. Adanya
cara yang menuju kepada perbuatan tadi, seperti adanya kesepakatan untuk
berbuat suatu jarimah, atau membantu melakukan kejahatan.
3. Adanya
tujuan dari setiap palaku demi terjadinya suatu perbuatan yang diancam hukuman.
Pada
dasarnya menurut sariat Islam banyak sedikitnya peserta tindak pidana tidak
memengaruhi besarnya hukuman. Meski demikian, masing masing peserta bisa
terpengaruh oleh keadaan dirinya sendiri sendiri (dan ini tidak dapat dinikmati
oleh peserta lain). Misalnya dalam suatu tindak pidana, bisa terjadi salah satu
peserta melakukan perbuatannya karena membela diri, karena gila, karena salah
sangka, sementara hal itu tidak ada pada peserta lain, maka hukuman yang
dijatuhkan tidak sama.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun
kesimpulan yang dapat ditarik dari pembahasan diatas yaitu:
a. Perbuatan
jarimah atau tindak pidana adakalanya dilakukan secara perseorangan dan
adakalanya dilakukan secara berkelompok. Turut serta melakukan jarimah adalah
melakukan jarimah secara bersama-sama, baik melalui kesepakatan atau kebetulan,
menghasut, menyuruh orang lain, memberi bantuan maupun keluasan.
b.
Bentuk-bentuk pelaksanaan keikutsertaan
jarimah ini, para ahli fiqh menyebutkan dua hal, yaitu langsung (isytirak mubasyir. Adapun turut berbuat
langsung dalam melakukan jarimah dinamai isytirak mubasyir, sedangkan pelakunya
dinamakan syarik mubasyir. Kemudian tidak langsung (ghayr mubasyir). Para
pelaku-tidak-langsung, yaitu setiap orang yang mengadakan perjanjian dengan
orang lain untuk melakukan suatu perbuatan yang dapat dihukum, atau menyuruh
orang lain, atau memberikan bantuan dalam perbuatan tersebut dengan disertai
kesengajaan dalam kesepakatan dan menyuruh serta memberi bantuan.
c.
Sehubungan
dengan ini ada tiga syarat bagi terjadinya turut berbuat jarimah, yaitu:
1.
Adanya perbuatan
yang diancam dengan hukuman ( jarimah ).
2. Adanya
cara yang menuju kepada perbuatan tadi, seperti adanya kesepakatan untuk
berbuat suatu jarimah, atau membantu melakukan kejahatan.
3. Adanya
tujuan dari setiap palaku demi terjadinya suatu perbuatan yang diancam hukuman.
B. Saran
Demikianlah
makalh ini kami buat, kami sangat megharap kritik dan saran yang membangun agar
dapat menjadi sumber rujukan, sehingga dalam penulisan makalah kami lebih baik
di masa mendatang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR
RUJUKAN
Djazuli, Fiqh Jinayat (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1996)
Haliman, Hukum Pidana
Sjari’at Islam Menurut Ajaran Ahlus Sunnah (Jakarta: Bulan
Bintang, 1971)
Hasan.Mustofa, Beni
Ahmad Saebani, Hukum Pidana Islam Fiqh Jinayah (Bandung: Pustaka Setia, 2013)
Hanafi.Ahmad, Asas-asas Hukum Pidana Islam (Jakarta:
Bulan Bintang, 2005)
A.Djazuli, Fiqh
Jinayah (Jakarta :
PT.
Raja Grafindo Persada, 2000)
Hakim.Rahmat,
Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), (Bandung : CV Pustaka Setia, 2000)
Halimah, Hukum Pidana Islam Menurut Ajaran Ahli Sunnah
Waljamaah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1968)
A.Djazuli, Fiqih Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan
Dalam Islam), (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2000)
[2] Haliman, Hukum Pidana
Sjari’at Islam Menurut Ajaran Ahlus Sunnah (Jakarta: Bulan Bintang,
1971), h. 226
[3] Mustofa Hasan, Beni Ahmad Saebani, Hukum
Pidana Islam Fiqh Jinayah (Bandung: Pustaka Setia, 2013), h. 217-226
[7] Sukmawati, “Turut Serta Melakukan Perbuatan Pidana menurut Kitab UndangUndang
Hukum Pidana dan Hukum Islam (Studi Perbandingan)” dalam http://repositori.uinalauddin.ac.id/6001/1/Sukmawati.pdf, 12 Mei 2020
[8] Halimah, Hukum Pidana Islam Menurut Ajaran Ahli Sunnah Waljamaah, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1968), h.232
[9] “Bersama-Sama Melakukan Kekerasan Terhadap Orang Dalam Hukum Pidana
Islam” dalam http://digilib.uinsby.ac.id/18478/5/Bab%202.pdf, 12 Mei 2020
[10] A. Djazuli, Fiqih Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam),
(Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2000), h.18-19
Tidak ada komentar:
Posting Komentar