Selasa, 24 Maret 2020

PERMASALAHAN KERJASAMA BERBUAT JARIMAH

PERMASALAHAN KERJASAMA BERBUAT
JARIMAH

Makalah ini Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah Fiqh Jinayah Program Studi Hukum Keluarga Islam Fakultas
Syariah dan Hukum Islam IAIN BONE
Oleh:
KELOMPOK IV

WILDA ASTUTI
NIM: 01.17.1220

MUH. ZULFIKAR
NIM: 01.17.1233




FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
BONE 2020


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Manusia hidup saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya. Sifat saling tergantung ini menghasilkan bentuk kerjasama tertentu yang bersifat ajeg dan menghasilkan bentuk masyarakat tertentu. Manusia adalah makhluk sosial, itu hampir tidak diragukan lagi. Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial tersebut memiliki kepentingan-kepentingan yang terwujud dalam bentuk kerjasama bahkan sebaliknya dapat menimbulkan pertentangan-pertentangan.
Tatanan masyarakat pada umumnya diatur oleh sebuah undang-undang atau peraturan yang menjadi pedoman dalam bertindak dan bertingkah laku yang terwujud dalam perintah dan larangan. Namun demikian nampaknya perintah dan larangan saja tidak cukup untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan buruk, maka dari itu diperlukan adanya norma-norma seperti norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, dan juga norma hukum. Adanya norma-norma yang mengatur dan membatasi kebebasan bersikap dan bertindak individu pada masyarakat merupakan perwujudan perlindungan masyarakat pada warganya dalam pergaulan hidup bersama.
Norma-norma ataupun aturan tersebut kemudian dikenal dengan hukum, yaitu satuan ketentuan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur tata tertib masyarakat sehingga bagi siapapun yang melanggar tata tertib tersebut maka akan dijatuhi hukuman sebagaimana ketentuan yang ada. Sebagaimana diketahui bahwa kejahatan di dunia ini ada seiring dengan perkembangan manusia, kehendak untuk berbuat jahat inheren dalam kehidupan manusia. Ada yang dilakukan oleh antar seorang manusia dengan seorang manusia lainnya, antar seorang dengan beberapa orang lainnya, atau bahkan dari beberapa orang terhadap seorang individu lainnya, sebagaimana topik pembahasan pada makalaha ini.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka penulis merumuskan sub pokok masalah sebagai berikut :
1.      Jelaskan pengertian kerjasama berbuat jarimah?
2.      Jelaskan apa saja bentuk-bentuk & pendapat para Ulama mengenai pelaksanaan turut serta berbuat jarimah?
3.      Apa saja yang menjadi syarat terjadinya turut berbuat jarimah?

C.    Tujuan Penulisan
            Dari rumusan masalah di atas maka tujuan penulisannya, yaitu sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui pengertian kerjasama berbuat jarimah!
2.      Untuk mengetahui bentuk-bentuk dan pendapat para ulama mengenai pelaksanaan turut serta berbuat jarimah!
3.      Untuk mengetahui syarat terjadinya turut berbuat jarimah!

4.       
BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Kerjasama/Turut Serta Berbuat Jarimah
Kerjasama dalam jarimah adalah perbuatan jarimah yang dilakukan secara bersama-sama ataupun berserikat dan saling menghendaki dan sama-sama melakukan perbuatan pelaksanaan peristiwa pidana tersebut. Namun, perlu diketahui bahwa tindak pidana berserikat lebih ditekankan bahwa kedua-duanya (si pelaku) merupakan pelaku utama.[1]
Menurut riwayat Daruquthni yang dikutip oleh Sjaukani, tindak pidana turut serta berbuat, terdapat ketentuannya di dalam hadits yang bersumber kepada Ibnu ‘Umar, dimana Rasulullah telah berkata :”Jika seorang laki-laki telah memegang laki-laki, lalu laki-laki lain membunuh laki-laki yang dipegang itu, maka dibunuh yang melakukan pembunuhan dan dikurung yang melakukan pemegangan.” Demikian juga hadits yang diriwayatkan oleh Imam As-Syafi’I sebagaimana yang dikutip oleh As-Syaukani yang mengetakan bahwasanya ’Ali r.a. telah menghukum seorang laki-laki yang telah membunuh laki-laki dengan sengaja dan yang lainnya memegangnya, maka beliau berkata dibunuh pembunuhnya, dan dikurung yang belakangan di dalam penjara sehingga ia mati.[2]
Perbuatan jarimah atau tindak pidana adakalanya dilakukan secara perseorangan dan adakalanya dilakukan secara berkelompok. Turut serta melakukan jarimah adalah melakukan jarimah secara bersama-sama, baik melalui kesepakatan atau kebetulan, menghasut, menyuruh orang lain, memberi bantuan maupun keluasan.
Menurut Ahmad Hanafi, turut serta berbuat jarmah berada di dalam empat kemungkinan:
1.      Pelaku melakukan jarimah bersama-sama orang lain (mengambil bagiannya dalam melaksanakan jarimah). Artinya, secara kebetulan melakukan bersama-sama;
2.      Pelaku mengadakan persepakatan dengan orang lain untuk melakukan jarimah;
3.      Pelaku menghasut (menyuruh) orang lain untuk melakukan jarimah;
4.      Orang yang memberi bantuan atau kesempatan jarimah dengan berbagai cara, tanpa turut serta melakukannya.[3]
Berdasarkan kemungkinan di atas, dapat dikemukakan 2 syarat umum tindakan jarimah yang harus terdapat dalam perkara tindak pidana (jarimah):
Pertama, para pelaku terdiri atas beberapa orang. Jika pelaku hanya sendirian, tidak ada istilah keturut-sertaan secara langsung atau tidak langsung. Kedua, para pelaku dihubungkan kepada suatu perbuatan yang dilarang yang dijatuhi hukuman jika melanggarnya. Jika tidak termasuk dalam pelangggaran tersebut, maka secara otomatis tidak masuk dalam perkara pidana, secar otomatis pula tidak ada istilah keturut-sertaan.

B.  Bentuk-Bentuk & Pendapat Ulama mengenai Pelaksanaan Turut Serta Berbuat Jarimah
Bentuk-bentuk pelaksanaan keikutsertaan jarimah ini, para ahli fiqh menyebutkan dua hal, yaitu langsung (isytirak mubasyir) dan tidak langsung (ghayr mubasyir).[4]           
1.      Turut  serta Berbuat Langsung
Turut serta secara langsung terjadi apabila orang-orang melakukan jarimah dengan nyata lebih dari satu orang. Yang dimaksud  dengan  nyata  adalah  bahwa  setiap  orang  yang  turut serta itu masing-masing mengambil bagian secara langsung, meskipun tidak sampai selesai. Cukup diangap sebagai turut serta langsung apabila seseorang telah melakukan suatu perbuatan yang dianggap sebagai permulaan pelaksanaan jarimah.
Turut berbuat langsung dalam pelaksanaanya serta tindakannya terbagi dalam dua bentuk yaitu sebagai berikut:
a.    Turut   berbuat  langsung  secara tawafuq, adalah beberapa orang diantaranya ada yang melakukan suatu kejahatan secara bersama tanpa kesepakatan sebelumnya.[5]   Dalam  melakukan  perbuatan tersebut,   mereka   tidak   melakukan   kesepakatan untuk merencanakan secara kolektif.
Tiap-tiap  pelaku jarimah secara psikologis terbawa peristiwa yang sedang berlangsung dihadapannya. Misalnya, ketika terjadi demonstrasi atau  tawuran  pelajar,  sering  dimanfaatkan  oleh orang lain yang melihatnya.
Diantaranya, ada yang mengambil kesempatan  untuk  berbuat  sesuatu,  mencuri, merusak atau memperkosa wanita-wanita yang ketakutan.[6] Dalam  hal  ini  cara  pertanggung  jawaban pada jarimah  turut  serta  secara tawafuq (kebetulan), kebanyakan ulama mengatakan bahwa setiap pelaku bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya, tanpa dibebani hasil perbuatan yang dilakukan oleh yang lainnya.
b.    Turut berbuat langsung secara tamalu adalah perbuatan jarimah yang   dilakukan   lebih   dari seorang, direncanakan, dan disepakati sejak awal. Pada tamalu para pelaku telah bersepakat untuk melakukan  suatu  jarimah dan  menginginkan bersama terwujudnya hasil jarimah itu, serta saling membantu dalam menjalankan aksinya, apabila ada dua   orang   bersepakat   untuk   membunuh   orang ketiga, kemudian kedua-duanya pergi, lantas yang satu  mengikat  korban  dan yang lain memukul kepala hingga mati, maka kedua-duanya bertanggung  jawab  atas  kematian   orang  ketiga tersebut.
Pertanggung jawaban pidana secara tamalu (disepakati,  direncanakan). Semua pelaku jarimah bertanggung jawab atas hasil yang telah meraka perbuat.  Dalam kasus pembunuhan misalnya, seluruh pelaku jarimah bertanggung jawab atas kematian si korban. Namun menurut Abu Hanafiah, hukuman  bagi  tawafuq dan  tamalu  adalah  sama saja. Mereka bersama-sama dianggap melakukan perbuatan  tersebut  dan  bertanggung  jawab  atas semuanya.
Menurut Abu Hanifah, antara tawaquf dan tamalu sama saja hukumannya, yaitu masing-masing peserta hanya bertanggungjawab atas perbuatannya sendiri dan tidak bertanggungjawab atas akibat perbuatan secara keseluruhan. Di mana menurut riwayat Daruquthni seperti dikutip Asy-Syaukani, ketentuan turut berbuat langsung adalah hadist dari Abu Hurairah bahwa dari Abu Hurairah r.a.dari Nabi Muhammad SAW., “Apabila seorang laki-laki memegangi (korban), sedangkan laki-laki lain membunuhnya, maka dibunuh bagi orang yang membunuhnya dan dikurung bagi orang yang memeganginya.”
Dalil tersebut menurut Asy-Syaukani menunjukkan bahwa qisashnya dikenakan bagi orang yang membunuhnya, sedangkan bagi yang memegang, hukumannya dikurung. Kahalany juga berpendapat demikian tanpa menyebutkan kadar waktunya.
Adapun An-Nasa’i, Imam Malik, dan Abi Laila berpendapat bahwa terhadap yang memegangi korban dalam kasus pembunuhan, juga dikenai hukum qisas, sebab dia dianggap sebagai mubasyir (pelaku) pembunuhan. Menurut mereka, pembunuhan tersebut tidak mungkin terjadi secara sempurna, tanpa keterlibatan orang yang memegangi korban.
 Disamping itu, juga dipandang sebagai turut berbuat langsung peserta yang menjadi sebab (tidak langsung), apabila pembuat langsung hanya kaki tangannya semata-mata. Misalnya jika seseorang menyuruh anak dibawah umur untuk membunuh orang lain, kemudian suruhan itu dilaksanakan, maka menurut Imam Malik, Syafi’idan Ahmad orang yang menyuruh itu dipandang sebagai pembuat langsung karena orang yang disuruh hanya merupakan alat semata-mata.
Sementara itu tentang hal ini para fuqaha hanya membicarakan hukum “turut berbuat langsung” yang disebut dengan istilah Isytirak Mubasyir. Sedang hukum “turut berbuat tidak langsung” atau Isytirak Ghairu Mubasyir tidak disinggung. Jadi, pembuat tidak langsung apabila turut melakukan jarimah yang diancam hukuman tertentu maka tidak dikenakan dengan hukuman itu sendiri, sebab hukuman tersebut hanya diancamkan kepada pembuat langsung saja, akan tetapi dikenakan sebagai jarimah ta’zir.[7]
2.      Turut Serta Tidak Langsung
Turut berbuat tidak langsung adalah setiap orang yang melakukan perjanjian dengan orang lain untuk melaksanaan sesuatu aperbuatan yang dapat dihukum, atau menyuruh (menghasut) orang lain atau memberikan bantuan dalam perbuatan tersebut dengan disertai   kesengajaan   dalam   persepakatan   dan   menyuruh   serta memberi bantuan.
Mengenai hukuman berbuat tidak langsung, menurut hukum Islam adalah hukuman ta’zir. Sebab jarimah turut berbuat tidak langsung tidak ditentukan  oleh syara, baik bentuk ataupun macam hukumannya. Jarimah yang ditentukan oleh syara hanya  jarimah hudud dan qisash diat. Kedua bentuk Jarimah tersebut hanya tertuju pada Jarimah yang diperbuat secara langsung, bukan untuk kawan berbuatnya ( pembuat tidak langsung).
Perbuatan tidak langsung merupakan illat dan menunjukkan kesyubhatan   (kesamaran)   dalam   perbuatan Jarimah sedangkan syubhat  dalam hudud (jarimah hudud dan qisash diat) menurut kaidah harus dihindari. Oleh karena itu, sanksi pelaku Jarimah turut serta secara tidak langsung hukuman yang diperoleh adalah hukumanbukan ta’zir hudud atau qisash.
Para pelaku tidak langsung, yaitu setiap orang yang mengadakan perjanjian dengan orang lain untuk melakukan suatu perbuatan yang dapat dihukum, atau menyuruh orang lain, atau memberikan bantuan dalam perbuatan tersebut dengan disertai kesengajaan dalam kesepakatan dan menyuruh serta memberi bantuan.
Turut berbuat tidak langsung bisa terjadi dengan berbagai cara seperti   dengan   jalan   persepakatan,   hasutan   atau   memberi bantuan.
a.       Menyuruh/ menghasut (tahridl) ialah membujuk orang lain untuk berbuat jarimah, dan bujukan itu menjadi pendorong untuk  diperbuatnya  jarimah,  walaupun tidak  ada hasutan atau bujukan, maka tidak bisa dikatakan sebagai pendorongnya. Baik bujukan itu berpengaruh atau tidak terhadap adanya  jarimah, namun bujukan itu sendiri adalah suatu maksiat yang bisa dijatuhi hukuman. [8]
Hukuman qisash berlaku bagi orang yang menyuruh berbuat sebagai ganti rugi orang yang melakukan atau mubassyir. Oleh karena itu berdasarkan kenyataan ini orang yang menyuruh dianggap pelaku tindak pidana mukallaf mubassyir, walaupun  dalam kenyataannya    ia  tidak  turut dalam ambil bagian perbuatan yang disuruh secara fisik.
Apabila orang yang menggeluarkan perintah (bujukan) mempunyai kekuatan atas orang yang diperintahnya,  seperti  orang  tua  terhadap  anaknya  atau guru terhadap muridnya, maka perintah tersebut bisa dianggap sebagai paksaan. Kalau yang diperintah itu tidak dibawah umur, tidak dungu atau gila, dan yang memerintah tidak mempunyai kekuasaan atasnya, maka perintahnya itu dianggap bujukan biasa, yang boleh jadi menimbulkan  jarimah.
b.      Memberi bantuan  (Ianah), orang yang memberi bantuan kepada orang lain dalam memperbuat jarimah dianggap sebagai kawan berbuat tidak langsung meskipun tidak ada persepakatan  sebelumnya,  seperti  mengamati-amati  jalan untuk mempermuda pencurian bagi orang lain.
Perbedaan  antara  memberi  bantuan  dengan pembuat asli adalah alau pembuat asli (mubassyir) ialah orang yang memperbuat atau mencoba memperbuat pekerjaan  yang  dilarang,   maa  pemberi  bantuan   tidak berbuat atau mencoba berbuat melainkan hanya menolong pembuat asli dengan perbuatan-perbuatan  yang tidak ada sangut-pautnya dengan perbuatan-perbuatan yang dilarang ataupun sebagai pelaksana terhadap perbuatan tersebut.
Yang disebut dengan turut serta tidak langsung, menurut Ahmad Hanafi adalah sebagai berikut: setiap orang yang mengadakan perjanjian dengan orang lain untuk melakukan suatu perbuatan yang dapat dihukum atau menyuruh ( menghasut ) orang lain atau memberikan bantuan dengan disertai kesengajaan dalam kesepakatan dan menyuruh serta memberi bantuan.
Turut berbuat jarimah yang tidak langsung adalah seperti orang yang menyuruh orang lain untuk membunuh orang ketiga. Dalam kasus ini, menurut para ulama di kalangan mazhab Maliki, Syafi’i, dan Ahmad, orang yang menyuruh itulah yang dianggap sebagai pelaku pembunuhan. Karena orang yang disuruh itu hanyalah alat yang digerakkan oleh si penyuruh.
Mengenai hukuman peserta berbuat tidak langsung, menurut hukum Islam adalah hukuman takzir, sebab jarimah turut berbuat tidak langsung tidak ditentukan oleh sariat, baik bentuk maupun macam hukumnya. Hudud dan kisas / diat saja. Kedua bentuk jarimah tersebut (hudud dan kisas / diat) hanya tertuju pada jarimah yang diperbuat secara langsung, bukan untuk kawan perbuatannya (pembuat tidak langsung). Perbuatan tidak langsung merupakan illat dan menunjukkan kesubhatan (kesamaran) dalam perbuatan jarimah, sedangkan subhat dalam hudud (jarimah hudud dan kisas / diat) menurut kaidah, harus dihindari. Oleh karena itu, sanksi pelaku jarimah turut serta secara tidak langsung adalah hukuman takzir, bukan hudud atau kisash.[9]

C.    Syarat Terjadinya Turut Berbuat Jarimah
Sehubungan dengan ini ada tiga syarat bagi terjadinya turut berbuat jarimah, yaitu:[10]
1.      Adanya perbuatan yang diancam dengan hukuman ( jarimah ).
2.      Adanya cara yang menuju kepada perbuatan tadi, seperti adanya kesepakatan untuk berbuat suatu jarimah, atau membantu melakukan kejahatan.
3.      Adanya tujuan dari setiap palaku demi terjadinya suatu perbuatan yang diancam hukuman.
Pada dasarnya menurut sariat Islam banyak sedikitnya peserta tindak pidana tidak memengaruhi besarnya hukuman. Meski demikian, masing masing peserta bisa terpengaruh oleh keadaan dirinya sendiri sendiri (dan ini tidak dapat dinikmati oleh peserta lain). Misalnya dalam suatu tindak pidana, bisa terjadi salah satu peserta melakukan perbuatannya karena membela diri, karena gila, karena salah sangka, sementara hal itu tidak ada pada peserta lain, maka hukuman yang dijatuhkan tidak sama.





BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat ditarik dari pembahasan diatas yaitu:
a.    Perbuatan jarimah atau tindak pidana adakalanya dilakukan secara perseorangan dan adakalanya dilakukan secara berkelompok. Turut serta melakukan jarimah adalah melakukan jarimah secara bersama-sama, baik melalui kesepakatan atau kebetulan, menghasut, menyuruh orang lain, memberi bantuan maupun keluasan.
b.    Bentuk-bentuk pelaksanaan keikutsertaan jarimah ini, para ahli fiqh menyebutkan dua hal, yaitu langsung (isytirak mubasyir. Adapun turut berbuat langsung dalam melakukan jarimah dinamai isytirak mubasyir, sedangkan pelakunya dinamakan syarik mubasyir.  Kemudian tidak langsung (ghayr mubasyir). Para pelaku-tidak-langsung, yaitu setiap orang yang mengadakan perjanjian dengan orang lain untuk melakukan suatu perbuatan yang dapat dihukum, atau menyuruh orang lain, atau memberikan bantuan dalam perbuatan tersebut dengan disertai kesengajaan dalam kesepakatan dan menyuruh serta memberi bantuan.
c.    Sehubungan dengan ini ada tiga syarat bagi terjadinya turut berbuat jarimah, yaitu:
1.    Adanya perbuatan yang diancam dengan hukuman ( jarimah ).
2.    Adanya cara yang menuju kepada perbuatan tadi, seperti adanya kesepakatan untuk berbuat suatu jarimah, atau membantu melakukan kejahatan.
3.    Adanya tujuan dari setiap palaku demi terjadinya suatu perbuatan yang diancam hukuman.

B.  Saran
Demikianlah makalh ini kami buat, kami sangat megharap kritik dan saran yang membangun agar dapat menjadi sumber rujukan, sehingga dalam penulisan makalah kami lebih baik di masa mendatang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.


DAFTAR RUJUKAN
Djazuli, Fiqh Jinayat (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996)
Haliman, Hukum Pidana  Sjari’at Islam Menurut Ajaran Ahlus Sunnah (Jakarta: Bulan Bintang, 1971)
Hasan.Mustofa, Beni Ahmad  Saebani, Hukum Pidana Islam Fiqh Jinayah (Bandung: Pustaka Setia, 2013)
Hanafi.Ahmad, Asas-asas Hukum Pidana Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 2005)
A.Djazuli, Fiqh Jinayah  (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000)
Hakim.Rahmat, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), (Bandung : CV Pustaka Setia, 2000)
Halimah, Hukum Pidana Islam Menurut Ajaran Ahli Sunnah Waljamaah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1968)
A.Djazuli, Fiqih Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam), (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2000)



[1] Djazuli, Fiqh Jinayat (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 176
[2] Haliman, Hukum Pidana  Sjari’at Islam Menurut Ajaran Ahlus Sunnah (Jakarta: Bulan Bintang, 1971), h. 226
[3] Mustofa Hasan, Beni Ahmad  Saebani, Hukum Pidana Islam Fiqh Jinayah (Bandung: Pustaka Setia, 2013), h. 217-226
[4] Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), h. 95
[5] A. Djazuli, Fiqh Jinayah  (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000),  h.17
[6] Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), (Bandung : CV Pustaka Setia, 2000), h.56
[7] Sukmawati, “Turut Serta Melakukan Perbuatan Pidana menurut Kitab UndangUndang Hukum Pidana dan Hukum Islam (Studi Perbandingan)”  dalam http://repositori.uinalauddin.ac.id/6001/1/Sukmawati.pdf, 12 Mei 2020
[8] Halimah, Hukum Pidana Islam Menurut Ajaran Ahli Sunnah Waljamaah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1968), h.232
[9]Bersama-Sama Melakukan Kekerasan Terhadap Orang Dalam Hukum Pidana Islam” dalam http://digilib.uinsby.ac.id/18478/5/Bab%202.pdf, 12 Mei 2020
[10] A. Djazuli, Fiqih Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam), (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2000), h.18-19

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PERMASALAHAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA

PERMASALAHAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas p...