PERCOBAAN
MELAKUKAN TINDAK PIDANA (JARIMAH)
Makalah ini Diajukan untuk Memenuhi Salah
Satu Tugas Mata Kuliah Fiqh Jinayah Program Studi Hukum Keluarga Islam Fakultas
Syariah dan Hukum Islam IAIN BONE
Oleh:
KELOMPOK 5
ANDI TENRI ESA
NIM: 01.17.1222
MARDAWIAH
NIM: 01.17.1230
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
BONE 2020
KATA PENGANTAR
Syukur
Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena berkat rahmat dan
taufiq-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dalam waktu yang
telah direncanakan shlawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada
junjungan Nabi Muhammad saw. Nabi yang telah diutus kedunia untuk membina umat
manusia kejalan yang benar.
Selanjutnya
penulis menyadari bahwa dalam penyusun makalah ini banyak kesulitan dan
hambatan disebabkan oleh pengetahuan dan kemampuan penulis yang terbatas. Akan
tetapi berkat usaha bimbingan dan dorongan dari berbagai pihak akhirnya
kesulitan dan hambatan itu dapat teratasi.
Oleh
karena itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada Bapak yang telah memberikan petunjuk dan bimbingan
kepada penulis dan semua pihak tanpa terkecuali.
Akhirnya
hanya kepada Allah penulis memohon do’a dan maghfirahnya semoga amal bakti yang
telah disumbangkan kepada penulis mendapat pahala yang berlipat ganda dan
semoga pembahasan makalah ini mempunyai manfaat.
Amiin
Yaa Rabbal Alamiin.
Bone, 25 Maret 2020
Penulis
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR...................................................................................... i
DAFTAR
ISI..................................................................................................... ii
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................................ 1
B.
Rumasan
Masalah.................................................................................... 1
C.
Tujuan
Penulisan..................................................................................... 2
BAB
II PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Percobaan Melakukan Jarimah........................................ 3
B.
Pandangan Fuqoha Tentang Percobaan Melakukan Jarimah............ 5
C.
Fase-Fase Melakukan Jarimah...........................................................
8
D.
Hukuman Percobaan Jarimah............................................................
10
E.
Sebab
Tidak Terjadinya Jarimah....................................................... 12
BAB
III PENUTUP
A. Kesimpulan...........................................................................................
16
B.
Saran .................................................................................................... 17
DAFTAR
PUSTAKA....................................................................................
18
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kejahatan ada didunia ini bersama-sama dengan adanya
manusia. Manusia slalu cenderung menuruti hasrat hawa nafsunya kecuali
orang-orang yang beriman yang slalu menjaga hatinya dari sifat-sifat ataupun
perkara-perkara yang merugikan dan dilarang dalam syari’at. Disisi lain manusia
juga menginginkan suatu kehidupan yang aman, damai, tentram, dan adil tanpa
adanya gangguan-gangguan yang disebabkan karena adanya suatu tindak kejahatan.
Oleh karena, upaya-upaya untuk meminimalisir tindak kejahatan terus dilakukan
yaitu dengan diberikannya hukuman terhadap pelakunya.
Di dalam membahas jarimah
kita akan menemukan yang namanya unsur materiil jarimah yaitu perbuatan atau ucapan yang menimbulkan kerugian
kepada individu atau masyarakat. Dalam unsur jarimah zina unsur materiilnya adalah adalah hal yang merusak
keturunan, sedangkan dalam jarimah
pembunuhan unsur materiilnya adalah hal atau perbuatan yang menghilangkan nyawa
seseorang. Unsur materiil ini akan mencakup tiga masalah pokok yaitu
tentang jarimah yang telah selesai,
jarimah yang belum selesai atau percobaan dan turut serta dalam melakukan jarimah.
Di samping itu perbuatan-perbuatan tersebut adakalanya
telah selesai di lakukan dan adakalnya tidak selesai karena ada sebab-sebab
tertentu dari luar. Dalam hukum positif jarimah
yang tidak selesai ini disebut perbuatan percobaan (الشروع). Disamping itu perbuatan tersebut
adakalanya dilakukan oleh seorang saja maupun beberapa orang bersama-sama
dengan orang lain yang di sebut dengan turut serta melakukan jarimah (الاءشتراك).
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa itu
percobaan melakukan jarimah?
2.
Bagaimana pandangan fuqoha tentang percobaan
melakukan jarimah?
3.
Apa saja yang termasuk fase-fase melakukan jarimah?
4.
Bagaimana dengan hukuman percobaan jarimah?
5.
Apa
sebab tidak terjadinya jarimah?
C. Tujuan
Penulisan
1.
Untuk
memahami pengertian percobaan melakukan jarimah.
2.
Untuk
mengetahui pandangan fuqoha tentang percobaan melakukan jarimah
3.
Untuk
mengetahui fase-fase melakukan jarimah.
4.
Untuk
mengetahui hukuman percobaan jarimah.
5.
Untuk
mengetahui sebab tidak terjadinya jarimah.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Percobaan Melakukan Jarimah
Percobaan adalah mulai melaksanakan suatu
perbuatan dengan maksud melakukan (jinayah atau janhah), tetapi perbuatan
tersebut tidak selesai atau berhenti karena ada sebab yang tidak ada sangkut
pautnya dengan kehendak pelaku. Percobaan melakukan jarimah `tidak dikenakan
hukuman had atau qishas, melainkan dengan hukuman ta’zir. Dimana ketentuan
sanksinya diserahkan kepada penguasa nagara atau hakim. Untuk menetapkan
hukuman-hukuman jarimah tersebut, baik yang dilarang langsung oleh syara’ atau
yang dilarang oleh pengusa Negara tarsabut, diserahkan pula pada mereka agar
bisa disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.[1]
Dalam hukum Islam, kejahatan (jarimah/jinayat) didefinisikan
sebagai larangan-larangan hukum yang diberikan Allah, yang pelanggarannya
membawa hukuman yang ditentukanNya. Larangan hukum berarti melakukan perbuatan
yang dilarang atau tidak melakukan suatu perbuatan yang tidak diperintahkan.
Dengan demikian, suatu kejahatan adalah perbuatan yang hanya dilarang oleh
syariat. Dengan kata lain, melakukan (commission) atau tidak
melakukan (ommission) atau perbuatan yang membawa kepada hukuman
yang ditentukan oleh syariat adalah kejahatan.
Definisi kejahatan di atas mengandung arti
bahwa tiada suatu perbuatan baik secara aktif (komisi) maupun secara pasif
(omisi) dihitung sebagai suatu kejahatan atau pelanggaran, kecuali hukuman yang
khusus untuk perbuatan atau tidak berbuat itu telah ditentukan dalam syariat.
Jika komisi atau omisi yang ditentukan, maka perbuatan itu tidak dapat dianggap
sebagai suatu kejahatan.
Dapat dilihat dari definisi-definisi di atas
bahwa konsep kejahatan dalam hukum Barat dan dalam Syariat tidak memiliki
perbedaan yang berarti. Namun demikian, ada beberapa perbedaan utama antara
teori dan aplikasi hukum pidana Barat dengan hukum pidana Islam, sebagaimana
telah diuraikan pada bagian sebelumnya. Perbedaan yang jelas muncul dalam hal
sumber hukum, sejarah, terbentuknya, hubungannya dengan moral, tujuan hukum,
dan lain-lain.[2]
Para ahli hukum Islam sering menggunakan
istilah jinayati untuk kejahatan. Jinayat adalah
suatu kata dalam bahasa arab yang berarti setiap kelakuan buruk yang dilakukan
oleh seseorang. Kata ini berbentuk infinitif yang digunakan sebagai kata benda
dan berasal dari idiom yang berarti “seorang telah melakukan perbuatan jahat
pada orang lain”. Kata jinayat sering digunakan dalam arti
ini, tetapi dalam istilah hukum berkonotasi suatu perbuatan buruk yang dilarang
oleh hukum.
Para ahli hukum menerapkannya pada setiap
perbuatan yang dinyatakan melawan hukum oleh syariat, baik dilakukan terhadap
hidup dan hak milik seseorang atau terhadap hal lainnya. Tetapi, mayoritas ahli
hukum menerapkan istilah janayat ini dalam arti kejahatan yang
menyebabkan hilangnya hidup dan anggota tubuh seperti pembunuhan, melukai
orang, kekerasan fisik, atau aborsi dengan sengaja. Ahli-ahli hukum lain
keberatan jika istilah ini dipakai untuk kejahatan yang dihukum dengan hudud atau
qishash.
Perbuatan-perbuatan yang dinyatakan sebagai
kejahatan adalah perbutan aktif atau pasif yang dapat merusak (menganggu)
terwujudnya ketertiban sosial, keyakinan, kehidupan individu, hak milik
kehormatan, dan ide-ide yang diterima.
Hukuman ditentukan bagi suatu kejahatan
seihingga orang akan menahan diri dari melakukan hal itu, karena dengan
semata-mata melarang atau memerintahkan tidak menjamin akan ditaati. Tanpa
sanksi, suatu perintah atau larangan tidak punya konsekuensi apa-apa. Dengan
hukuman, perintah atau larangan itu akan diperhitungkan dan memiliki arti.
Hukuman-hukuman diberikan status legal untuk kepentingan publik. Sayriat
menentukan hukuman, lebih banyak sebagai sarana untuk mencapai kebaikan
kolektif dan menjaganya.
Syariat Islam menetapkan perbuatan tertentu
sebagai kejahatan dan mengncamnya dengan hukuman tertentu dengan maksud
melindungi kepentingan kolektif dan sistem yang di atasnya bediri bangunan
besar masyarakat. Selain itu juga dimaksudkan agar masyarakat dpat
menyelamatkan nilai-nilai moral dn kehidupan yang harmoni. Kejahatan atau
ketidaktaan seseorang atau seluruh umat manusia tidak menimbulkan bahaya apapun
bagi Tuhan Yang Mahakuasa, yang telah meletakkan ketentuan-ketentuan syariat
bagi manusia agar hidup dengannya.
B. Percobaan
Jarimah Menurut Para Fuqoha
Teori tentang jarimah “percobaan”
tidak kita dapati dikalangan fuqoha, bahkan istilah “percobaan” dengan
pengertian teknis-yuridis juga tidak dikenal oleh mereka. Apa yang dibicarakan
oleh mereka ialah pemisahan antara jarimah yang telah selesai dengan jarimah
yang belum selesai. Hal ini tidak berarti bahwa mereka tidak membicarakan isi
teori tentang “percobaan” sebagaimana yang akan terlihat nanti. Tidak adanya
perhatian secara khusus terhadap jarimah percobaan disebabkan karena dua hal.
1.
Percobaan melakukan jarimah tidak dikenakkan
hukum had atau qisas, melainkan dengan hukuman ta’zir, bagaimanapun juga kasus
jarimah itu. Para fuqoha lebih banyak memberikan perhatiannya kepada
jarimah-jarimah hudud dan qisas d-diyat, karena unsur-unsur dan
syarat-syaratnya tetap tanpa mengalami percobaan, dan hukumnya juga sudah
ditentukan jumlahnya dengan tidak boleh dikurangi atau dilebihkan.
Akan
tetapi untuk jarimah-jarimah ta’zir, dengan mengecualikan jarimah-jarimah
ta’zir seperti memaki-maki (menista orang) atau mengkhianati
titipan, maka sebagian besarnya diserahkan kepada penguasa negera (ulu-al amri)
untuk menentukan macam-macamnya jarimah-jarimah itu. Untuk menetapkan
hukuman-hukuman jarimah tersebut, baik yang dilarang dengan langsung oleh
Syara’ atau yang dilarang oleh penguasa negara tersebut, diserahkan pula kepada
mereka, agar bisa disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Sesudah itu, hakim
diberi wewenang luas dalam menjatuhkan hukuman, dimana ia bisa bergerak antara
batas tertinggi dengan batas terendah.
Kebanyakan
jarimah ta’zir bisa mengalami perubahan antara dihukum, dari masa kemasa dan
dari tempat ke tempat lain, dan unsur-unsurnya juga dapat berganti-ganti sesuai
dengan pergantian pandangan penguasa-penguasa negara. Oleh karena itu
dikalangan fuqoha tidak ada perhatian khusus terhadap jarimah-jarimah ta’zir
dan kelanjutannya ialah tidak adanya pembicaraan secar tersendiri terhadap
percobaan melakukan jarimah, karena percobaan ini termasuk jarimah ta’zir.
2.
Dengan adanya aturan-aturan yang mencakup
dari Syara’ tentang hukuman jarimah ta’zir, maka aturan-aturan khusus untuk
percobaan tidak perlu diadakan, sebab hukuman ta’zir dijatuhkan atas
setiap perbuatan maksiat (kesalahan) yang tidak dikenakkan hukuman
had dan kifarat. Dengan kata lain setiap perbuatan yang dianggap maksiat oleh
Syari’at dijatuhi hukuman ta’zir selama tidak dikenakan hukuman had atau
kifarat.
Karena
hukuman had dan kifarat hanya dikenakkan atas jarimah-jarimah tertentu yang
benar-benar telah selesai, maka artinya setiap percobaan (memulai) sesuatu
perbuatan yang dilarang hanya dijatuhi hukuman ta’zir dan percobaan itu sendiri
dianggap maksiat, yakni jarimah yang selesai juga, meskipun merupakan satu
bagian saja diantara bagian-bagian lain yang membentuk jarimah yang tidak
selesai, selama satu bagian itu sendiri dilarang. Jadi tidak aneh kalau suatu
perbuatan semata-mata menjadi suatu jarimah, dan apabila bergabung dengan
perbuatan lain maka akan membentuk jarimah yang lain lagi.
Pencuri
misalnya apabila telah melobangi dinding rumah, kemudian tertangkap sebelum
sempat memasukinya, maka perbuatannya itu semata-mata dianggap maksiat
(kesalahan) yang bisa dijatuhi hukuman meskipun sebenarnya baru merupakan
permulaan dari pelaksanaan jarimah pencurian.
Demikian
pula ketika ia masuk rumah orang lain dengan maksut hendak mencuri, tanpa
melobangi dindingnya atau menaiki atapnya, dianggap telah membuat suatu jarimah
tersendiri, meskipun perbuatan tersebut bisa disebut juga pencurian yang tidak
selesai.
Apabila
pencuri tersebut dapat menyelesaikan berbagai perbuatan yang membentuk jarimah
pencurian dan dapat membawa barang curiannya keluar rumah, maka kumpulan
perbuatan tersebut dinamakan “pencurian” dan dengan selesainya jarimah
pencurian itu maka hukuman had yang telah ditentukan dijatuhkan kepadanya, dan
untuk masing-masing perbuatan membentuk pencurian itu tidak boleh dikenakkan
hukuman ta’zir sebab masing-masing perbuatan tersebut sudah bercampur jadi satu
yaitu pencurian.
Dari
sini jelaslah kepada kita, mengapa para fuqoha tidak membuat pembahasan khusus
tentang percobaan melakukan jarimah, sebab yang diperlukan oleh mereka ialah
pemisahan antara jarimah yang telah selesai dengan jarimah yang tidak selesai.
Dimana untuk jarimah pada kasus pertama saja dikenakkan hukuman had atau qisas,
sedang untuk jarimah pada kasus kedua hanya dikenakkan hukuman ta’zir. Walaupun
istilah “percobaan” tidak dikenal oleh mereka, namun apa yang dimaksut dengan
istilah tersebut terdapat pada mereka, meskipun dengan mengambil istilah lain
yaitu jarimah tidak selesai.
Pendiri hukum
pidana islam tenteng percobaan melakukan jarimah, lebih mencakup dari
hukum positif, dari hukum islam sendiri setiap perbuatan percobaan dikenakan
hukuman tanpa pengecualian, sedangkan dari hukum positif tidak semua percobaan
dikenakan hukuman, menurut Pasal 54 KUHP pidana Indonesia yang ber bunyi:
Mencoba melakukan pelanggaran tidak dipidana. sedangkan dalam KUHP Mesir
haya percobaan melakukan jarimah jinayah saja yang dapat dikenakan
hukuman, sedangkan percobaan melakukan jarimah mukalafah tidak
dikenakan hukuman (pasal 46 dan 47).
C. Fase-Fase
Pelaksanaan Jarimah
1. Fase
Pemikiran dan Perencanaan
Memikirkan
dan merencanakan sesuatu jarimah tidak dianggap maksiat yang dijatuhi hukuman,
karena menurut aturan dalam Syari’at Islam seseorang tidak dapat dituntut
(disalahkan) karena ada niat yang tersimpan dalam dirinya. Aturan tersebut
sudah terdapat dalam Syari’at Islam sejak mula-mula diturunkan tanpa mengenal
pengecualian. Akan tetapi pada hukum positif aturan tersebut baru dikenal pada
akhir abad ke-18 M, yaitu sesudah Revolusi Perancis. Sebelum masa itu, niatan
dan pemikiran bisa dihukum, kalau dapat dibuktikan. Pada hukum positif terhadap
aturan juga ada pengecualiannya.
Sebagai
contoh ialah adanya perbedaan pada hukum pidana Perancis dan RPA antara
pembunuhan biasa yang tidak direncanakan terlebih dahulu, dimana untuk
pembunuhan pertama dikenakkan terlebih dahulu, dimana untuk pembunuhan pertama
dikenakkan hukuman berat dari pada hukuman pembunuhan pada kasus
kedua.
2. Fase
Persiapan
Yaitu menyiapkan alat-alat yang dipakai untuk
melaksanakan jarimah, seperti membeli senjata untuk membunuh orang lain atau
membuat kunci palsu untuk mencuri. Fase persiapan juga tidak dianggap maksiat
yang dapat dihukum, kecuali apabila perbuatan persiapan itu sendiri dipandang
sebagai maksiat seperti hendak mencuri milik seseorang dengan jalan membiusnya.
Dalam contoh ini membeli alat bius atau membius orang lain itu sendiri dianggap
maksiat yang dihukum, tanpa memerlukan selesainya tujuan yang hendak
dituju, yaitu mencuri.
Alasan untuk tidak memasukkan fase persiapan sebagai
jarimah, ialah bahwa perbuatan seseorang yang bisa dihukum harus berupa
perbuatan ma’siat, dan ma’siat baru terwujud apabila berisi pelanggaran
terhadap hak Tuhan dan hak manusia, sedangkan pada penyiapan alat-alat jarimah
pada galibnya tidak berisi suatu kerugian, maka anggapan ini masih bisa
dita’wilkan, artinya bisa diragukan, sedang menurut syari’at seseorang tidak
bisa diambil tindakan terhadapnya kecuali apabila didasarkan pada keyakinan.[3]
Sehingga peristiwa dianggap sesuatu yang syubhat dan pelakunya hanya dikenakan
hukuman ta’zir.
3. Fase
Pelaksanaan
Pada fase inilah perbuatan si pembuat dianggap sebagai
jarimah. Untuk dapat dihukum, tidak menjadi persoalan, apakah perbuatan
tersebut merupakan permulaan pelaksaan unsur materil jarimah atau tidak,
melainkan cukup dihukum apabila perbuatan itu berupa maksiat, yaitu yang berupa
pelanggaran atas hak masyarakat dan hak perseorangan, dan dimaksudkan juga
untuk melaksanakan unsur materil, meskipun antara perbuatan tersebut dengan
unsur materil masih terdapat beberapa langkah
lagi.
Pada pencurian misalnya, melobangi tembok, membongkar
pintu dan sebagainya dianggap sebagai maksiat yang dijatuhi hukum ta’zir, dan
selanjutnya dainggap pula percobaan pencurian, meskipun untuk terwujudnya
perbuatan pencurian masih terdapat perbuatan-perbuatan lain lagi, seperti masuk
rumah, mengambil barang dari lemari dan membawanya keluar dan sebaginya. Jadi
ukuran perbuatan dalam percobaan yang bisa dihukum ialah apabila perbuatan
tersebut berupa maksiat. Dalam hal ini niatan dan tujuan pembuat sangat penting
artinya untuk menentukan apakah perbuatan ini maksiat atau tidak.
D.
Hukuman Percobaan Jarimah
Klasifikasi yang paling penting dan paling banyak dibahas
para ahli hukum Islam, yaitu hudud, qishash, dan ta’zir.
1. Hudud
Kejahatan hudud adalah kejahatan yang
paling serius dan berat dalam hukum pidana Islam. Ia adalah kejahatan terhadap
kepentingan publik. Tetapi ini tidak berarti bahwa kejahatan hudud tidak
mempengaruhi kepentingan pribadi sama sekali, namun terutama sekali, berkaitan
dengan apa yang disebut hak Allah.
Dengan demikian, kejahatan dalam kategori ini dapat
didefinisikan sebagai kejahatan yang diancam dengan hukuman hadd,
yaitu hukuman yang ditentukan sebagai hak Allah.
Dalam definisi ini, hukuman yang ditentukan, berarti
bahwa baik kuantitas maupun kualitasnya ditentukan dan ia tidak mengenal
tingkatan. Menurut Mohammad Ibnu Ibrahim Ibnu Jubair, yang tergolong
kejahatan hudud ada tujuh kejahatan yaitu riddah (murtad), al-baghy (pemberontakan),zina, qadzaf
(tuduhan palsu zina, syariqah (pencurian), hirabah (perampokan),
dan shurb al khamr (meminum khamar).
2. Qishash
Qishash jatuh pada posisi di tengah antara
kejahatan hudud dan ta’zir dalam hal bertanya.
Kejahatan-kejahatan dalam kategori qishash ini kurang serius dibanding yang
pertama (hudud), namun lebih berat daripada yang berikutnya (ta’zir). Sasaran
dari kejahatan ini adalah integritas tubuh manusia, sengaja atau tidak sengaja.
Ia terdiri daripada yang dikenal dalam hukum pidana modern sebagai
kejahatan terhadap manusia atau crimes agaist person. Jadi,
pembunuhan dengan sengaja, pembunuhan menyerupai sengaja, pembunuhan karena
kealpaan, penganiayaan, menimbulkan luka/sakit karena kelalaian, masuk dalam
kategori tindak pidana qishash ini.
3. Ta’zir
Landasan dan penentuan hukumannya didasarkan pada
ijma’(konsensus) berkaitan dengan hak negara muslim untuk melakukan
kriminalisasi dan menghukum semua perbuatan yang tidak pantas, yang menyebabkan
kerugian/kerusakan fisik, sosial, politik, finansial, atau moral bagi individu
atau masyarakat secara keseluruhan.
Menurut aturan syari’at Islam, untuk jarimah-jarimah
hudud dan qisas, jarmah-jarimah yang selesai tidak boleh dipersamakan dengan
jarimah-jarimah yang tidak selesai (percobaan). Aturan tersebut berdasarkan
hadist nabi saw:
“Siapa
yang mencapai hukuman had bukan pada jarimah hudud (yang lengkap) maka dia
termasuk orang yang menyeleweng”.
Aturan tersebut berlaku untuk jarimah-jarimah hudu dan
qishash, dan qishash termasuk juga hudud, karena hukuman tersebut
sudah ditentukan pada jumlahnya.
Sudah barang tentu perbedaan antara antara percobaan
melakukan jarimah dengan jarimah itu sendiri masih jauh, dan oleh karena itu
sudah sepantasnya kalau pembuat dijatuhi hukuman sesuai dengan besarnya
perbuatan. Apabila mempersamakan hukuman antara percobaan jarimah dengan
jarimah yang selesai akan mendorong pembuat sesuatu jarimah untuk
menyelesaikannya sekali, sebab ia akan merasa bahwa dirinya sudah berhak akan
hukuman lengkap dengan memulainya perbuatan, oleh karena itu ia tidak perlu
mengurungkan perbuatannya itu (percobaannya).
Pada hukuman-hukuman positif sendiri kita dapati sistem
pembedaan dan persamaan tersebut meskipun berbeda cara menerapkannya. Pada KUHP
Indonesia disebutkan bahwa hukuman percobaan melakukan sesuatu kejahatan
diancam dengan maksimum hukuman pokok kejahatan, dengan dikurangi sepertiganya.
Apabila kejahatan itu dapat diancam dengan hukuman mati,
maka untuk percobaan dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun
(fasal 53, ayat 2 dan 3).
Akan tetapi untuk kejahatan yang telah diselesaikan dan
percobaan melakukan kejahatan itu, sama saja hukuman tambahannya (fasal 54,
ayat 4). Sebagaimana dimakhlumi, hukuman tambahan tersebut dapat berupa
pencabutan sesuatu hak, atau perampasan perang, atau diumumkannya keputusan
hakim (fasal 10,b).
Pada KUHP RPA perbedaan hukuman dengan tegas disebutkan,
tetapi tentang adanya kesamaan hukuman antara percoban dan jarimah yang telah
selesai sangat dimungkinkan yaitu apabila disebutkan pada aturan-aturan pidana
yang lain. Fasal 46, KUHP tersebut brbunyi sebagai berikut: percobaan melakukan
“jinayat” dijatuhi hukuman-hukuman berikut, kecuali apabila dinyatakan
sebaliknya dalam suatu undang-undang, yaitu kerja paksa seumur hidup, apabila
hukuman “jinayat” itu adalah hukuman mati, dengn kerja paksa seumur hidup,
dengan kerja paksa sementara dalam waktu tidak melebihi separo batas tertinggi
yang ditetapkan dalam undang-undang atau dengan penjara dalam waktu yang tidak
lebih dari separoh batas tertinggi yang ditetapkan dalam undang-undang, atau
kurugan atau denda yang tidak lebih dari lima puluh pound Mesir, jika hukuman
“jinayat” tersebut ialah penjara.
E. Sebab
Tidak Selesaianya Perbuatan
Suatu
perbuatan jarimah tidak selesai dilakukan oleh pembuat disebabkan
karena salah satu dari dua hal sebagai berikut.
1.
Adakalanya
terpaksa, misalnya tertangkap.
2.
Adakalanya
karena kehendak sendiri. Berdasarkan kehendak sendiri ini ada dua macam:
a.
Bukan
karena taubat, dan
b.
Karena
taubat.
Kalau
tidak selesainya jarimah karena terpaksa maka pelaku tetap harus dikenakan
hukuman, selama perbuatan itu sudah bisa dikategorikan ma’siat. Demikian pula
kalau pelaku tidak menyelesaikan jarimahnya karena kehendak sendiri tetapi
bukan karena taubat. Akan tetapi,apabila tidak selesainya itu karena taubat dan
kesadaranya maka jarimahnya itu adakalanya jarimah hirabah dan adakalanya bukan
jarimah hirabah. Apabila jarimah itu jarimah hirabah maka pelaku dibebaskan
dari hukuman.[4] Hal ini
berdasarkan firman Allah surat Al-Maidah 34:
اِلاَّ الَّذِيْنَ تَابُوْا مِنْ قَبْلِ أَنْ
تَقْدِرُوْا عَلَيْهِمْ فَاعْلَمُوْآ أَنَّ اللهَ غَفُوْرٌرَحِيمٌ
kecuali orang-orang yang taubat (di antara
mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka; Maka ketahuilah
bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang(surat Al-Maidah 34).[5]
Apabila
jarimah itu jarimah bukan hirabah maka pengaruh taubat disini masih
diperselisihkan oleh para fuqoha. Dalam hal ini ada tiga pendapat:
1)
Pendapat
fuqoha dari madzab Syafi’I dan Hambali, taubat bisa menghapuskan hukuman.
Alasanya adalah:
a.
Alquran
menyatakan hapusnya hukuman untuk jarimah hirabah, sedangkan jarimah hirabah
adalah jarimah paling berbahaya. Kalau taubat dapat menghapuskan hukuman untuk
jarimah yang paling berbahaya maka lebih-lebih untuk jarimah yang lain.
b.
Dalam
menyebutkan beberapa jarimah, Alquran selalu mengiringinya dengan pernyataan
bahwa taubat dapat menghapuskan hukuman. Misalnya dalam hukuman zina yang
pertama kali diadakan dalam surah An-Nisaa’ 16:
وَالَّذَانِ يَأْتِيَنِهَا مِنْكُمْ
فَأذُوْهُمَا فَإِنْ تَابَا وَأَصْلَحَا فَأَعْرِ ضُوْا عَنْهَا
Dan terhadap dua orang yang melakukan
perbuatan keji di antara kamu, Maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian
jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, Maka biarkanlah mereka.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang(Surah An-Nisaa;16).
2)
Menurut
Imam Malik, Imam Abu Hanifah, taubat tidak menghapuskan hukuman, kecuali untuk
jarimah hirabah yang sudah ada ketentuanya. Karena kedudukan hukuman adalah
sebagai kifarat maksiat. Disamping itu kalau taubat semata-mata dapat hukuman
dapat terhapus, maka akibatnya ancaman hukuman tidak berguna, sebab setiap
pelaku jarimah tidak sukar mengatakan telah bertaubat.
3)
Menurut
Ibn Taimiyah dan Ibn Al Qayyim dari pengikut madzab Hambali, hukuman dapat
membersihkan maksiat dan taubat dapat menghapus hukuman untuk jaarimah-jarimah
yang berhubungan dengan hak Allah (hak masyarakat), kecuali apabila pelaku
minta untuk di hukum maka ia bisa dijatuhi hukuman walaupun ia telah bertaubat.
Pendapat
Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim kelihatanya merupakan jalan tengah yang
mengompromikan pendapat pertama dan kedua yang saling bertentangan. Walaupun
demikian pengaruh taubat terhadap hukuman menurut pendapat kedua imam ini,
hanya berlaku dalam jarimah yang menyinggung hak masyarakat saja. Sedangkan
dalam jarimah yang menyinggung hak individu taubat tetap tidak berpengaruh
terhadap hukuman.
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Percobaan adalah mulai melaksanakan suatu perbuatan
dengan maksud melakukan (jinayah atau janhah ), tetapi perbuatan tersebut tidak
selesai atau berhenti karena ada sebab yang tidak ada sangkut pautnya dengan
kehendak pelaku. Percobaan melakukan jarimah `tidak dikenakan hukuman had atau
qishas, melainkan dengan hukuman ta’zir
Menurut pandangan fuqaha :
Pertama, percobaan melakukan
jarimah tidak dikenakan hukuman had atau qisas, melainkan dengan hukuman
ta’zir.
Kedua, khusus untuk
percobaan melakukan jarimah tidak perlu diadakan, sebab hukuman ta’zir
dijatuhkan atas setiap perbuatan ma’siat (kesalahan) yang tidak dikenakan
hukuman had atau kifarat.
Fase-Fase
Pelaksanaan jarimah:
1.
Fase pemikiran dan perencanaan
2.
Fase persiapan
3.
Fase pelaksanaan
Hukuman percobaan
Menurut aturan syari’at islam, untuk jarimah-jarimah
hudud dan qisas, jarimah-jarimah yang selesai tidak boleh dipersamakan dengan
jarimah-jarimah yang belum selesai.
Tidak selesainya percobaan
Kalau tidak adapat menyelesaikannya maka adakalanya
karena terpaksa atau karena kehendak dirinya sendiri.
B.
Saran
Demikianlah
makalah ini kami buat, kami sangat
mengharap kritik dan saran yang membangun agar dapat menjadi sumber rujukan,
sehingga dalam penulisan makalah kami lebih baik dimasa mendatang. Semoga
makalah ini dapat bermamfaat bagi kita semua.
DAFTAR
PUSTAKA
Makhrus munajat, hukum
pidana islam diindonesia,Yogyakarta: teras 2009
Topo Santoso,Membumikan
hukum pidana islam,jakarta:Gema insani Press,cet.1,2003
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar
dan Asas Hukum Pidana Islam,Jakarta : Sinar Grafida 2004
Ahmad
almursi husain jauhar maqashid syariah,Jakarta : amzah, 2009
Zahrah. Abu Muhammad. Al Jarimah wa al-‘uqbah fi al fiqh al Islami,
Maktabah al Misriyyah, Kairo
‘Ali. Al-jumanatul. 2005.Al-Qur’an dan Terjemahannya,Jakarta:CV
Penertbit J-Art
Hanafi.Ahmad Hanafi.1993. Asas-Asas Hukum Pidana Islam,Jakarta: PT
Midas Surya Grafindo
Santoso. Topo. 2003.Membumikan Hukum Pidana Islam, Jakarta:Gema
Insani Press