Kamis, 26 Maret 2020

PERCOBAAN MELAKUKAN TINDAK PIDANA (JARIMAH)



PERCOBAAN MELAKUKAN TINDAK PIDANA (JARIMAH)

 

Makalah ini Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Fiqh Jinayah Program Studi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah dan Hukum Islam IAIN BONE

Oleh:

KELOMPOK 5

ANDI TENRI ESA
NIM: 01.17.1222

MARDAWIAH
NIM: 01.17.1230


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
BONE 2020






KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena berkat rahmat dan taufiq-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dalam waktu yang telah direncanakan shlawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan Nabi Muhammad saw. Nabi yang telah diutus kedunia untuk membina umat manusia kejalan yang benar.
Selanjutnya penulis menyadari bahwa dalam penyusun makalah ini banyak kesulitan dan hambatan disebabkan oleh pengetahuan dan kemampuan penulis yang terbatas. Akan tetapi berkat usaha bimbingan dan dorongan dari berbagai pihak akhirnya kesulitan dan hambatan itu dapat teratasi.
Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak yang telah memberikan petunjuk dan bimbingan kepada penulis dan semua pihak tanpa terkecuali.
Akhirnya hanya kepada Allah penulis memohon do’a dan maghfirahnya semoga amal bakti yang telah disumbangkan kepada penulis mendapat pahala yang berlipat ganda dan semoga pembahasan makalah ini mempunyai manfaat.
Amiin Yaa Rabbal Alamiin.
Bone, 25 Maret 2020
Penulis


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................... i
DAFTAR ISI..................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang........................................................................................ 1
B.   Rumasan Masalah.................................................................................... 1
C.   Tujuan Penulisan..................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A.       Pengertian Percobaan Melakukan Jarimah........................................   3
B.       Pandangan Fuqoha Tentang Percobaan Melakukan Jarimah............   5    
C.       Fase-Fase Melakukan Jarimah...........................................................  8    
D.       Hukuman Percobaan Jarimah............................................................  10  
E.        Sebab Tidak Terjadinya Jarimah.......................................................   12  
BAB III PENUTUP
A.  Kesimpulan........................................................................................... 16
B.   Saran ....................................................................................................  17
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 18








BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kejahatan ada didunia ini bersama-sama dengan adanya manusia. Manusia slalu cenderung menuruti hasrat hawa nafsunya kecuali orang-orang yang beriman yang slalu menjaga hatinya dari sifat-sifat ataupun perkara-perkara yang merugikan dan dilarang dalam syari’at. Disisi lain manusia juga menginginkan suatu kehidupan yang aman, damai, tentram, dan adil tanpa adanya gangguan-gangguan yang disebabkan karena adanya suatu tindak kejahatan. Oleh karena, upaya-upaya untuk meminimalisir tindak kejahatan terus dilakukan yaitu dengan diberikannya hukuman terhadap pelakunya.
Di dalam membahas jarimah kita akan menemukan yang namanya unsur materiil jarimah yaitu perbuatan atau ucapan yang menimbulkan kerugian kepada individu atau masyarakat. Dalam unsur jarimah zina unsur materiilnya adalah adalah hal yang merusak keturunan, sedangkan dalam jarimah pembunuhan unsur materiilnya adalah hal atau perbuatan yang menghilangkan nyawa seseorang. Unsur materiil ini akan mencakup  tiga masalah pokok yaitu tentang jarimah yang telah selesai, jarimah yang belum selesai atau percobaan dan turut serta dalam melakukan jarimah.
Di samping itu perbuatan-perbuatan tersebut adakalanya telah selesai di lakukan dan adakalnya tidak selesai karena ada sebab-sebab tertentu dari luar. Dalam hukum positif jarimah yang tidak selesai ini disebut perbuatan percobaan (الشروع). Disamping itu perbuatan tersebut adakalanya dilakukan oleh seorang saja maupun beberapa orang bersama-sama dengan orang lain yang di sebut dengan turut serta melakukan jarimah (الاءشتراك).
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa itu percobaan melakukan jarimah?
2.      Bagaimana pandangan fuqoha tentang percobaan melakukan jarimah?
3.      Apa saja yang termasuk fase-fase melakukan jarimah?
4.      Bagaimana dengan hukuman percobaan jarimah?
5.      Apa sebab tidak terjadinya jarimah?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk memahami pengertian percobaan melakukan jarimah.
2.      Untuk mengetahui pandangan fuqoha tentang percobaan melakukan jarimah
3.      Untuk mengetahui fase-fase melakukan jarimah.
4.      Untuk mengetahui hukuman percobaan jarimah.
5.      Untuk mengetahui sebab tidak terjadinya jarimah.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Percobaan Melakukan Jarimah
Percobaan adalah mulai melaksanakan suatu perbuatan dengan maksud melakukan (jinayah atau janhah), tetapi perbuatan tersebut tidak selesai atau berhenti karena ada sebab yang tidak ada sangkut pautnya dengan kehendak pelaku. Percobaan melakukan jarimah `tidak dikenakan hukuman had atau qishas, melainkan dengan hukuman ta’zir. Dimana ketentuan sanksinya diserahkan kepada penguasa nagara atau hakim. Untuk menetapkan hukuman-hukuman jarimah tersebut, baik yang dilarang langsung oleh syara’ atau yang dilarang oleh pengusa Negara tarsabut, diserahkan pula pada mereka agar bisa disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.[1]
Dalam hukum Islam, kejahatan (jarimah/jinayat) didefinisikan sebagai larangan-larangan hukum yang diberikan Allah, yang pelanggarannya membawa hukuman yang ditentukanNya. Larangan hukum berarti melakukan perbuatan yang dilarang atau tidak melakukan suatu perbuatan yang tidak diperintahkan. Dengan demikian, suatu kejahatan adalah perbuatan yang hanya dilarang oleh syariat. Dengan kata lain, melakukan (commission) atau tidak melakukan (ommission) atau perbuatan yang membawa kepada hukuman yang ditentukan oleh syariat adalah kejahatan.
Definisi kejahatan di atas mengandung arti bahwa tiada suatu perbuatan baik secara aktif (komisi) maupun secara pasif (omisi) dihitung sebagai suatu kejahatan atau pelanggaran, kecuali hukuman yang khusus untuk perbuatan atau tidak berbuat itu telah ditentukan dalam syariat. Jika komisi atau omisi yang ditentukan, maka perbuatan itu tidak dapat dianggap sebagai suatu kejahatan.
Dapat dilihat dari definisi-definisi di atas bahwa konsep kejahatan dalam hukum Barat dan dalam Syariat tidak memiliki perbedaan yang berarti. Namun demikian, ada beberapa perbedaan utama antara teori dan aplikasi hukum pidana Barat dengan hukum pidana Islam, sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya. Perbedaan yang jelas muncul dalam hal sumber hukum, sejarah, terbentuknya, hubungannya dengan moral, tujuan hukum, dan lain-lain.[2]
Para ahli hukum Islam sering menggunakan istilah jinayati untuk kejahatan. Jinayat adalah suatu kata dalam bahasa arab yang berarti setiap kelakuan buruk yang dilakukan oleh seseorang. Kata ini berbentuk infinitif yang digunakan sebagai kata benda dan berasal dari idiom yang berarti “seorang telah melakukan perbuatan jahat pada orang lain”. Kata jinayat sering digunakan dalam arti ini, tetapi dalam istilah hukum berkonotasi suatu perbuatan buruk yang dilarang oleh hukum.
Para ahli hukum menerapkannya pada setiap perbuatan yang dinyatakan melawan hukum oleh syariat, baik dilakukan terhadap hidup dan hak milik seseorang atau terhadap hal lainnya. Tetapi, mayoritas ahli hukum menerapkan istilah janayat ini dalam arti kejahatan yang menyebabkan hilangnya hidup dan anggota tubuh seperti pembunuhan, melukai orang, kekerasan fisik, atau aborsi dengan sengaja. Ahli-ahli hukum lain keberatan jika istilah ini dipakai untuk kejahatan yang dihukum dengan hudud atau qishash.
Perbuatan-perbuatan yang dinyatakan sebagai kejahatan adalah perbutan aktif atau pasif yang dapat merusak (menganggu) terwujudnya ketertiban sosial, keyakinan, kehidupan individu, hak milik kehormatan, dan ide-ide yang diterima.
Hukuman ditentukan bagi suatu kejahatan seihingga orang akan menahan diri dari melakukan hal itu, karena dengan semata-mata melarang atau memerintahkan tidak menjamin akan ditaati. Tanpa sanksi, suatu perintah atau larangan tidak punya konsekuensi apa-apa. Dengan hukuman, perintah atau larangan itu akan diperhitungkan dan memiliki arti. Hukuman-hukuman diberikan status legal untuk kepentingan publik. Sayriat menentukan hukuman, lebih banyak sebagai sarana untuk mencapai kebaikan kolektif dan menjaganya.
Syariat Islam menetapkan perbuatan tertentu sebagai kejahatan dan mengncamnya dengan hukuman tertentu dengan maksud melindungi kepentingan kolektif dan sistem yang di atasnya bediri bangunan besar masyarakat. Selain itu juga dimaksudkan agar masyarakat dpat menyelamatkan nilai-nilai moral dn kehidupan yang harmoni. Kejahatan atau ketidaktaan seseorang atau seluruh umat manusia tidak menimbulkan bahaya apapun bagi Tuhan Yang Mahakuasa, yang telah meletakkan ketentuan-ketentuan syariat bagi manusia agar hidup dengannya.
B.     Percobaan Jarimah Menurut Para Fuqoha
Teori tentang  jarimah “percobaan” tidak kita dapati dikalangan fuqoha, bahkan istilah “percobaan” dengan pengertian teknis-yuridis juga tidak dikenal oleh mereka. Apa yang dibicarakan oleh mereka ialah pemisahan antara jarimah yang telah selesai dengan jarimah yang belum selesai. Hal ini tidak berarti bahwa mereka tidak membicarakan isi teori tentang “percobaan” sebagaimana yang akan terlihat nanti. Tidak adanya perhatian secara khusus terhadap jarimah percobaan disebabkan karena dua hal.
1.      Percobaan melakukan jarimah tidak dikenakkan hukum had atau qisas, melainkan dengan hukuman ta’zir, bagaimanapun juga kasus jarimah itu. Para fuqoha lebih banyak memberikan perhatiannya kepada jarimah-jarimah hudud dan qisas d-diyat, karena unsur-unsur dan syarat-syaratnya tetap tanpa mengalami percobaan, dan hukumnya juga sudah ditentukan jumlahnya dengan tidak boleh dikurangi atau dilebihkan.
Akan tetapi untuk jarimah-jarimah ta’zir, dengan mengecualikan jarimah-jarimah ta’zir seperti memaki-maki  (menista orang) atau mengkhianati titipan, maka sebagian besarnya diserahkan kepada penguasa negera (ulu-al amri) untuk menentukan macam-macamnya jarimah-jarimah itu. Untuk menetapkan hukuman-hukuman jarimah tersebut, baik yang dilarang dengan langsung oleh Syara’ atau yang dilarang oleh penguasa negara tersebut, diserahkan pula kepada mereka, agar bisa disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Sesudah itu, hakim diberi wewenang luas dalam menjatuhkan hukuman, dimana ia bisa bergerak antara batas tertinggi dengan batas terendah.
Kebanyakan jarimah ta’zir bisa mengalami perubahan antara dihukum, dari masa kemasa dan dari tempat ke tempat lain, dan unsur-unsurnya juga dapat berganti-ganti sesuai dengan pergantian pandangan penguasa-penguasa negara. Oleh karena itu dikalangan fuqoha tidak ada perhatian khusus terhadap jarimah-jarimah ta’zir dan kelanjutannya ialah tidak adanya pembicaraan secar tersendiri terhadap percobaan melakukan jarimah, karena percobaan ini termasuk jarimah ta’zir.
2.      Dengan adanya aturan-aturan yang mencakup dari Syara’ tentang hukuman jarimah ta’zir, maka aturan-aturan khusus untuk percobaan tidak perlu  diadakan, sebab hukuman ta’zir dijatuhkan atas setiap perbuatan maksiat  (kesalahan) yang tidak dikenakkan hukuman had dan kifarat. Dengan kata lain setiap perbuatan yang dianggap maksiat oleh Syari’at dijatuhi hukuman ta’zir selama tidak dikenakan hukuman had atau kifarat.
Karena hukuman had dan kifarat hanya dikenakkan atas jarimah-jarimah tertentu yang benar-benar telah selesai, maka artinya setiap percobaan (memulai) sesuatu perbuatan yang dilarang hanya dijatuhi hukuman ta’zir dan percobaan itu sendiri dianggap maksiat, yakni jarimah yang selesai juga, meskipun merupakan satu bagian saja diantara bagian-bagian lain yang membentuk jarimah yang tidak selesai, selama satu bagian itu sendiri dilarang. Jadi tidak aneh kalau suatu perbuatan semata-mata menjadi suatu jarimah, dan apabila bergabung dengan perbuatan lain maka akan membentuk jarimah yang lain lagi.
Pencuri misalnya apabila telah melobangi dinding rumah, kemudian tertangkap sebelum sempat memasukinya, maka perbuatannya itu semata-mata dianggap maksiat (kesalahan) yang bisa dijatuhi hukuman meskipun sebenarnya baru merupakan permulaan dari pelaksanaan jarimah pencurian.
Demikian pula ketika ia masuk rumah orang lain dengan maksut hendak mencuri, tanpa melobangi dindingnya atau menaiki atapnya, dianggap telah membuat suatu jarimah tersendiri, meskipun perbuatan tersebut bisa disebut juga pencurian yang tidak selesai.
Apabila pencuri tersebut dapat menyelesaikan berbagai perbuatan yang membentuk jarimah pencurian dan dapat membawa barang curiannya keluar rumah, maka kumpulan perbuatan tersebut dinamakan “pencurian” dan dengan selesainya jarimah pencurian itu maka hukuman had yang telah ditentukan dijatuhkan kepadanya, dan untuk masing-masing perbuatan membentuk pencurian itu tidak boleh dikenakkan hukuman ta’zir sebab masing-masing perbuatan tersebut sudah bercampur jadi satu yaitu pencurian.
Dari sini jelaslah kepada kita, mengapa para fuqoha tidak membuat pembahasan khusus tentang percobaan melakukan jarimah, sebab yang diperlukan oleh mereka ialah pemisahan antara jarimah yang telah selesai dengan jarimah yang tidak selesai. Dimana untuk jarimah pada kasus pertama saja dikenakkan hukuman had atau qisas, sedang untuk jarimah pada kasus kedua hanya dikenakkan hukuman ta’zir. Walaupun istilah “percobaan” tidak dikenal oleh mereka, namun apa yang dimaksut dengan istilah tersebut terdapat pada mereka, meskipun dengan mengambil istilah lain yaitu jarimah tidak selesai.
Pendiri hukum pidana islam tenteng percobaan melakukan jarimah, lebih mencakup dari hukum positif, dari hukum islam sendiri setiap perbuatan percobaan dikenakan hukuman tanpa pengecualian, sedangkan dari hukum positif tidak semua percobaan dikenakan hukuman, menurut Pasal 54 KUHP pidana Indonesia yang ber bunyi: Mencoba melakukan pelanggaran tidak dipidana. sedangkan dalam KUHP Mesir haya percobaan melakukan jarimah jinayah saja yang dapat dikenakan hukuman, sedangkan percobaan melakukan jarimah mukalafah tidak dikenakan hukuman (pasal 46 dan 47).
C.    Fase-Fase Pelaksanaan Jarimah
1.      Fase Pemikiran dan Perencanaan
Memikirkan dan merencanakan sesuatu jarimah tidak dianggap maksiat yang dijatuhi hukuman, karena menurut aturan dalam Syari’at Islam seseorang tidak dapat dituntut (disalahkan) karena ada niat yang tersimpan dalam dirinya. Aturan tersebut sudah terdapat dalam Syari’at Islam sejak mula-mula diturunkan tanpa mengenal pengecualian. Akan tetapi pada hukum positif aturan tersebut baru dikenal pada akhir abad ke-18 M, yaitu sesudah Revolusi Perancis. Sebelum masa itu, niatan dan pemikiran bisa dihukum, kalau dapat dibuktikan. Pada hukum positif terhadap aturan juga ada pengecualiannya.
Sebagai contoh ialah adanya perbedaan pada hukum pidana Perancis dan RPA antara pembunuhan biasa yang tidak direncanakan terlebih dahulu, dimana untuk pembunuhan pertama dikenakkan terlebih dahulu, dimana untuk pembunuhan pertama dikenakkan hukuman berat  dari pada hukuman pembunuhan pada kasus kedua.
2.      Fase Persiapan
Yaitu menyiapkan alat-alat yang dipakai untuk melaksanakan jarimah, seperti membeli senjata untuk membunuh orang lain atau membuat kunci palsu untuk mencuri. Fase persiapan juga tidak dianggap maksiat yang dapat dihukum, kecuali apabila perbuatan persiapan itu sendiri dipandang sebagai maksiat seperti hendak mencuri milik seseorang dengan jalan membiusnya. Dalam contoh ini membeli alat bius atau membius orang lain itu sendiri dianggap maksiat yang dihukum, tanpa memerlukan selesainya tujuan  yang hendak dituju, yaitu mencuri.
Alasan untuk tidak memasukkan fase persiapan sebagai jarimah, ialah bahwa perbuatan seseorang yang bisa dihukum harus berupa perbuatan ma’siat, dan ma’siat baru terwujud apabila berisi pelanggaran terhadap hak Tuhan dan hak manusia, sedangkan pada penyiapan alat-alat jarimah pada galibnya tidak berisi suatu kerugian, maka anggapan ini masih bisa dita’wilkan, artinya bisa diragukan, sedang menurut syari’at seseorang tidak bisa diambil tindakan terhadapnya kecuali apabila didasarkan pada keyakinan.[3] Sehingga peristiwa dianggap sesuatu yang syubhat dan pelakunya hanya dikenakan hukuman ta’zir.
3.      Fase Pelaksanaan
Pada fase inilah perbuatan si pembuat dianggap sebagai jarimah. Untuk dapat dihukum, tidak menjadi persoalan, apakah perbuatan tersebut merupakan permulaan pelaksaan unsur materil jarimah atau tidak, melainkan cukup dihukum apabila perbuatan itu berupa maksiat, yaitu yang berupa pelanggaran atas hak masyarakat dan hak perseorangan, dan dimaksudkan juga untuk melaksanakan unsur materil, meskipun antara perbuatan tersebut dengan unsur materil masih terdapat beberapa langkah lagi.       
Pada pencurian misalnya, melobangi tembok, membongkar pintu dan sebagainya dianggap sebagai maksiat yang dijatuhi hukum ta’zir, dan selanjutnya dainggap pula percobaan pencurian, meskipun untuk terwujudnya perbuatan pencurian masih terdapat perbuatan-perbuatan lain lagi, seperti masuk rumah, mengambil barang dari lemari dan membawanya keluar dan sebaginya. Jadi ukuran perbuatan dalam percobaan yang bisa dihukum ialah apabila perbuatan tersebut berupa maksiat. Dalam hal ini niatan dan tujuan pembuat sangat penting artinya untuk menentukan apakah perbuatan ini maksiat atau tidak.
D.    Hukuman Percobaan Jarimah
Klasifikasi yang paling penting dan paling banyak dibahas para ahli hukum Islam, yaitu hudud, qishash, dan ta’zir.
1.      Hudud
Kejahatan hudud adalah kejahatan yang paling serius dan berat dalam hukum pidana Islam. Ia adalah kejahatan terhadap kepentingan publik. Tetapi ini tidak berarti bahwa kejahatan hudud tidak mempengaruhi kepentingan pribadi sama sekali, namun terutama sekali, berkaitan dengan apa yang disebut hak Allah.
Dengan demikian, kejahatan dalam kategori ini dapat didefinisikan sebagai kejahatan yang diancam dengan hukuman hadd, yaitu hukuman yang ditentukan sebagai hak Allah.
Dalam definisi ini, hukuman yang ditentukan, berarti bahwa baik kuantitas maupun kualitasnya ditentukan dan ia tidak mengenal tingkatan. Menurut Mohammad Ibnu Ibrahim Ibnu Jubair, yang tergolong kejahatan hudud ada tujuh kejahatan yaitu riddah (murtad), al-baghy (pemberontakan),zina, qadzaf (tuduhan palsu zina, syariqah (pencurian), hirabah (perampokan), dan shurb al khamr (meminum khamar).
2.      Qishash
Qishash jatuh pada  posisi di tengah antara kejahatan hudud dan ta’zir dalam hal bertanya. Kejahatan-kejahatan dalam kategori qishash ini kurang serius dibanding yang pertama (hudud), namun lebih berat daripada yang berikutnya (ta’zir). Sasaran dari kejahatan ini adalah integritas tubuh manusia, sengaja atau tidak sengaja. Ia terdiri daripada yang  dikenal dalam hukum pidana modern sebagai kejahatan terhadap manusia atau crimes agaist person. Jadi, pembunuhan dengan sengaja, pembunuhan menyerupai sengaja, pembunuhan karena kealpaan, penganiayaan, menimbulkan luka/sakit karena kelalaian, masuk dalam kategori tindak pidana qishash ini.
3.      Ta’zir
Landasan dan penentuan hukumannya didasarkan pada ijma’(konsensus) berkaitan dengan hak negara muslim untuk melakukan kriminalisasi dan menghukum semua perbuatan yang tidak pantas, yang menyebabkan kerugian/kerusakan fisik, sosial, politik, finansial, atau moral bagi individu atau masyarakat secara keseluruhan.
Menurut aturan syari’at Islam, untuk jarimah-jarimah hudud dan qisas, jarmah-jarimah yang selesai tidak boleh dipersamakan dengan jarimah-jarimah yang tidak selesai (percobaan). Aturan tersebut berdasarkan hadist nabi saw:
“Siapa yang mencapai hukuman had bukan pada jarimah hudud (yang lengkap) maka dia termasuk orang yang menyeleweng”.
Aturan tersebut berlaku untuk jarimah-jarimah hudu dan qishash,  dan qishash termasuk juga hudud, karena hukuman tersebut sudah ditentukan pada jumlahnya.
Sudah barang tentu perbedaan antara antara percobaan melakukan jarimah dengan jarimah itu sendiri masih jauh, dan oleh karena itu sudah sepantasnya kalau pembuat dijatuhi hukuman sesuai dengan besarnya perbuatan. Apabila mempersamakan hukuman antara percobaan jarimah dengan jarimah yang selesai akan mendorong pembuat sesuatu jarimah untuk menyelesaikannya sekali, sebab ia akan merasa bahwa dirinya sudah berhak akan hukuman lengkap dengan memulainya perbuatan, oleh karena itu ia tidak perlu mengurungkan perbuatannya itu (percobaannya).
Pada hukuman-hukuman positif sendiri kita dapati sistem pembedaan dan persamaan tersebut meskipun berbeda cara menerapkannya. Pada KUHP Indonesia disebutkan bahwa hukuman percobaan melakukan sesuatu kejahatan diancam dengan maksimum hukuman pokok kejahatan, dengan dikurangi sepertiganya.
Apabila kejahatan itu dapat diancam dengan hukuman mati, maka untuk percobaan dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun (fasal 53, ayat 2 dan 3).
Akan tetapi untuk kejahatan yang telah diselesaikan dan percobaan melakukan kejahatan itu, sama saja hukuman tambahannya (fasal 54, ayat 4). Sebagaimana dimakhlumi, hukuman tambahan tersebut dapat berupa pencabutan sesuatu hak, atau perampasan perang, atau diumumkannya keputusan hakim (fasal 10,b).
Pada KUHP RPA perbedaan hukuman dengan tegas disebutkan, tetapi tentang adanya kesamaan hukuman antara percoban dan jarimah yang telah selesai sangat dimungkinkan yaitu apabila disebutkan pada aturan-aturan pidana yang lain. Fasal 46, KUHP tersebut brbunyi sebagai berikut: percobaan melakukan “jinayat” dijatuhi hukuman-hukuman berikut, kecuali apabila dinyatakan sebaliknya dalam suatu undang-undang, yaitu kerja paksa seumur hidup, apabila hukuman “jinayat” itu adalah hukuman mati, dengn kerja paksa seumur hidup, dengan kerja paksa sementara dalam waktu tidak melebihi separo batas tertinggi yang ditetapkan dalam undang-undang atau dengan penjara dalam waktu yang tidak lebih dari separoh batas tertinggi yang ditetapkan dalam undang-undang, atau kurugan atau denda yang tidak lebih dari lima puluh pound Mesir, jika hukuman “jinayat” tersebut ialah penjara.
E.     Sebab Tidak Selesaianya Perbuatan
Suatu perbuatan jarimah tidak selesai dilakukan oleh pembuat disebabkan karena salah satu dari dua hal sebagai berikut.
1.      Adakalanya terpaksa, misalnya tertangkap.
2.      Adakalanya karena kehendak sendiri. Berdasarkan kehendak sendiri ini ada dua macam:
a.       Bukan karena taubat, dan
b.      Karena taubat.
Kalau tidak selesainya jarimah karena terpaksa maka pelaku tetap harus dikenakan hukuman, selama perbuatan itu sudah bisa dikategorikan ma’siat. Demikian pula kalau pelaku tidak menyelesaikan jarimahnya karena kehendak sendiri tetapi bukan karena taubat. Akan tetapi,apabila tidak selesainya itu karena taubat dan kesadaranya maka jarimahnya itu adakalanya jarimah hirabah dan adakalanya bukan jarimah hirabah. Apabila jarimah itu jarimah hirabah maka pelaku dibebaskan dari hukuman.[4] Hal ini berdasarkan firman Allah surat Al-Maidah 34:
اِلاَّ الَّذِيْنَ تَابُوْا مِنْ قَبْلِ أَنْ تَقْدِرُوْا عَلَيْهِمْ فَاعْلَمُوْآ أَنَّ اللهَ غَفُوْرٌرَحِيمٌ
kecuali orang-orang yang taubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka; Maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang(surat Al-Maidah 34).[5]
Apabila jarimah itu jarimah bukan hirabah maka pengaruh taubat disini masih diperselisihkan oleh para fuqoha. Dalam hal ini ada tiga pendapat:
1)      Pendapat fuqoha dari madzab Syafi’I dan Hambali, taubat bisa menghapuskan hukuman. Alasanya adalah:
a.       Alquran menyatakan hapusnya hukuman untuk jarimah hirabah, sedangkan jarimah hirabah adalah jarimah paling berbahaya. Kalau taubat dapat menghapuskan hukuman untuk jarimah yang paling berbahaya maka lebih-lebih untuk jarimah yang lain.
b.      Dalam menyebutkan beberapa jarimah, Alquran selalu mengiringinya dengan pernyataan bahwa taubat dapat menghapuskan hukuman. Misalnya dalam hukuman zina yang pertama kali diadakan dalam surah An-Nisaa’ 16:
وَالَّذَانِ يَأْتِيَنِهَا مِنْكُمْ فَأذُوْهُمَا فَإِنْ تَابَا وَأَصْلَحَا فَأَعْرِ ضُوْا عَنْهَا
Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, Maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, Maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang(Surah An-Nisaa;16).
2)      Menurut Imam Malik, Imam Abu Hanifah, taubat tidak menghapuskan hukuman, kecuali untuk jarimah hirabah yang sudah ada ketentuanya. Karena kedudukan hukuman adalah sebagai kifarat maksiat. Disamping itu kalau taubat semata-mata dapat hukuman dapat terhapus, maka akibatnya ancaman hukuman tidak berguna, sebab setiap pelaku jarimah tidak sukar mengatakan telah bertaubat.
3)      Menurut Ibn Taimiyah dan Ibn Al Qayyim dari pengikut madzab Hambali, hukuman dapat membersihkan maksiat dan taubat dapat menghapus hukuman untuk jaarimah-jarimah yang berhubungan dengan hak Allah (hak masyarakat), kecuali apabila pelaku minta untuk di hukum maka ia bisa dijatuhi hukuman walaupun ia telah bertaubat.
Pendapat Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim kelihatanya merupakan jalan tengah  yang mengompromikan pendapat pertama dan kedua yang saling bertentangan. Walaupun demikian pengaruh taubat terhadap hukuman menurut pendapat kedua imam ini, hanya berlaku dalam jarimah yang menyinggung hak masyarakat saja. Sedangkan dalam jarimah yang menyinggung hak individu taubat tetap tidak berpengaruh terhadap hukuman. 

 
          

BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Percobaan adalah mulai melaksanakan suatu perbuatan dengan maksud melakukan (jinayah atau janhah ), tetapi perbuatan tersebut tidak selesai atau berhenti karena ada sebab yang tidak ada sangkut pautnya dengan kehendak pelaku. Percobaan melakukan jarimah `tidak dikenakan hukuman had atau qishas, melainkan dengan hukuman ta’zir
Menurut pandangan fuqaha :
Pertama, percobaan melakukan jarimah tidak dikenakan hukuman had atau qisas, melainkan dengan hukuman ta’zir.
Kedua,  khusus untuk percobaan melakukan jarimah tidak perlu diadakan, sebab hukuman ta’zir dijatuhkan atas setiap perbuatan ma’siat (kesalahan) yang tidak dikenakan hukuman had atau kifarat.
Fase-Fase Pelaksanaan jarimah:
1.      Fase pemikiran dan perencanaan
2.      Fase persiapan
3.      Fase pelaksanaan
Hukuman percobaan
Menurut aturan syari’at islam, untuk jarimah-jarimah hudud dan qisas, jarimah-jarimah yang selesai tidak boleh dipersamakan dengan jarimah-jarimah yang belum selesai.
Tidak selesainya percobaan
Kalau tidak adapat menyelesaikannya maka adakalanya karena terpaksa atau karena kehendak dirinya sendiri.

B.     Saran
Demikianlah makalah ini kami buat,  kami sangat mengharap kritik dan saran yang membangun agar dapat menjadi sumber rujukan, sehingga dalam penulisan makalah kami lebih baik dimasa mendatang. Semoga makalah ini dapat bermamfaat bagi kita semua.




DAFTAR PUSTAKA
Makhrus munajat, hukum pidana islam diindonesia,Yogyakarta: teras 2009
Topo Santoso,Membumikan hukum pidana islam,jakarta:Gema insani Press,cet.1,2003
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam,Jakarta : Sinar Grafida 2004
Ahmad almursi husain jauhar maqashid syariah,Jakarta : amzah, 2009
Zahrah. Abu Muhammad. Al Jarimah wa al-‘uqbah fi al fiqh al Islami, Maktabah al Misriyyah, Kairo
‘Ali. Al-jumanatul. 2005.Al-Qur’an dan Terjemahannya,Jakarta:CV Penertbit J-Art
Hanafi.Ahmad Hanafi.1993. Asas-Asas Hukum Pidana Islam,Jakarta: PT Midas Surya Grafindo
Santoso. Topo. 2003.Membumikan Hukum Pidana Islam, Jakarta:Gema Insani Press





[1] Makhrus munajat, hukum pidana islam diindonesia, (yogyakarta: teras 2009), hal 42
[2] Topo Santoso, Membumikan hukum pidana islam,jakarta: Gema insani Press,cet.1,2003,Hlm.20.

[3] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam,Jakarta : Sinar Grafida 2004 Hlm. 61
[4] Muhammad Abu Zahrah, Al Jarimah wa al-‘uqbah fi al fiqh al Islami, Maktabah al Misriyyah, Kairo,      tanpa tahun, hal.63
[5] Muhammad Abu Zahrah, Al Jarimah wa al-‘uqbah fi al fiqh al Islami, Maktabah al Misriyyah, Kairo,      tanpa tahun, hal.63

PERMASALAHAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA

PERMASALAHAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas p...