Senin, 20 April 2020

PERMASALAHAN JARIMAH HUDUD

PERMASALAHAN JARIMAH HUDUD



Makalah ini Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
Fiqh Jinayah Program Studi Hukum Keluarga Islam
Fakultas Syariah dan Hukum Islam IAIN BONE


Oleh:
KELOMPOK 7
VILA RESTI
NIM: 01.17.1231
SUCI RAMADANI
NIM: 01.17.1235


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
BONE 2020

KATA PENGANTAR

     Puji Syukur kehadirat Allah Swt atas limpahan rahmat dan anugrahNya kami dapat menyelesaikan makalah tentang”Permasalahan Jarimah Hudud” ini. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan besar kita, Nabi Muhammad Saw yang telah menunjukkan kepada kita semua jalan yang lurus berupa ajaran agama Islam yang sempurna dan menjadi anugrah terbesar bagi seluruh alam semesta.
     Penulis sangat bersyukur karena dapat menyelesaikan makalah ini. Disamping itu,kami mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu kami selama pembuatan makalah ini sehingga makalah ini dapat terealisasikan.
     Demikian yang dapat kami sampaikan,semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca pada umumnya dan untuk Mahasiwa IAIN Bone pada khususnya.

Watampone,20 April 2020

  Penyusun


DAFTAR ISI
SAMPUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
A. Jarimah Zina dan Penuduhan Zina
B. Jarimah Pencurian dan Perampokan
BAB III
A.Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
.      Dalam kehidupan bermasyarakat pada saat ini banyak sekali kita temukan hal hal yang melanggar aturan agama, dimana mereka melakukan suatu perbuatan tanpa memikirkan apa akibat dan dosa yang akan mereka dapatkan dengan perbuatan mereka itu.
.     Perbuatan dosa yang pada saat era globalisasi saat ini yang sering terjadi adalah Zina, dimana perbuatan ini dilakukan oleh orang yang tidak memiliki hubungan perkawinan yang sah dan hanya menuruti kehendak  hawa nafsu dan kenikmatan seasaat. Selain permasalahan zina di atas tak kalah peliknya adalah perbuatan menuduhkan seseorang berbuat zina yang mana hal ini amat dibenci Allah dan pada kenyataannya sering dilakukan oleh masyarakat (Qazaf atau fitnah). Dimana  perbuatan ini adalah menuduh seseorang melakukan perbuatan zina tanpa adanya bukti yang kuat.
        Jinayah yang di gunakan pada fuqaha sama dengan istilah Jarimah. Istilah jinayah lebih luas yaitu menunjukkan melakukan segala suatu dengan kejahatan manusia dan tidak di tunjukkan secara tertentu. Sedangkan jarimah identik dengan pengertian dalam hukum positif yaitu tindak pidana seperti pencurian dan perampokan.
       Dalam makalah kali ini kita akan membahas tentang permasalahan jarimah hudud yang di khususkan pada pembahasan jarimah zina dan penuduhan zina serta jarimah pencurian dan perampokan.


B. Rumusan Masalah

      Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat di tarik rumusan masalah, dengan pokok masalah sebagai berikut :
1. Apa yang di maksud dengan Jarimah Zina?
2. Apa Hukuman bagi orang yang menuduh seseorang berzina?
3. Apa yang di maksud dengan pencurian dan perampokan?
4. Apa Hukuman bagi pencuri dan perampok?

C. Tujuan Penulisan

.      Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui yang di maksud dengan Jarimah Zina.
2. Untuk mengetahui bagi orang yang menuduh seseorang berzina.
3. Untuk mengetahui yang di maksud dengan pencurian dan perampokan.
4. Untuk mengetahui Hukuman bagi pencuri dan perampok.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Jarimah Zina dan Penuduhan zina
1. Pengertian Zina
      Kata zina berasal dari bahasa arab, yaitu zanaa - yazni - zinaa - aan yang berarti atal mar-ata min ghairi ‘aqdin syar’iiyin aw milkin , artinya menyetubuhi wanita tanpa diketahui akad nikah menurut syara’ atau disebabkan wanitanya budak belian.  Para ulama dalam memberikan definisi zina ini berbeda redaksinya, namun dalam subtansinya hampir sama.
      Menurut Malikiyah sebagaimana dikutib oleh Abdul Audah, memberikan definisi zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh mukalaf terhadap farji manusia (wanita) yang bukan miliknya secara disepakati dengan kesengajaan.
      Menurut pendapat Syafi’iyah zina adalah memasukkan zakar ke dalam farji yang diharamkan karena zatnya tanpa ada syubhat dan menurut tabiatnya menimbulkan syahwat.
Menurut Hanafiyah zina adalah nama bagi persetubuhan yang haram dalam qubul (kemaluan) seorang perempuan yang masih hidup dalam keadaan ikhtiar (tanpa paksaan) di dalam negeri yang adil yang dilakukan oleh orang-orang kepadanya berlaku hukum Islam, dan wanita tersebut bukan miliknya dan tidak ada syubhat dalam miliknya.
       Definisi zina yang dikemukakan oleh para mazhab tersebut secara esensi tidak ada perbedaan yang signifikan, karena pada dasarnya perbuatan zina ada dua unsur yang harus terpenuhi yaitu:

a. Adanya persetubuhan antara dua orang yang berlainan jenis.
b. Adapun laki-laki atau perempuan tersebut tidak dalam ikatan yang sah.
 .     Jarimah Zina termasuk dalam jarimah hudud, jarimah hudud adalah jarimah yang diancam dengan hukuman had. Had atau hudud mencakup seluruh atau semua jarimah, baik hudud sendiri, qisas maupun diat, karena hukuman pada keseluruhannya itu telah ditentukan secara syara’. Berbeda halnya dengan yang dijelaskan oleh Sayyid Sabiq, beliau menjelaskan bahwa hudud ialah sanksi yang telah ditetapkan untuk melaksanakan hak Allah. Oleh karena itu, menurutnya, ta’zir dan qisas tidak termasuk ke dalam hudud, karena ta’zir itu keputusannnya diambil dari pendapat hakim setempat, sedangkan qisas merupakan hak sesama manusia dalam menuntut balas dan keadilan.
    Adapun pengertian tentang zina mukrah adalah perkosaan dalam bahasa arab disebut alwath’u bi al ikraah (hubungan seksual dengan paksaan). Jika seorang laki-laki memerkosa sesorang perempuan, seluruh fuqaha sepakat perempuan itu tak dijatuhi hukuman zina, baik hukuman zina cambuk 100 kali maupun hukuman rajam.
  Pembuktian perkosaan sama dengan pembuktian zina, yaitu dengan salah satu dari tiga bukti (albayyinah) terjadinya perzinaan berikut: Pertama, pengakuan orang yang berbuat zina sebanyak empat kali secara jelas, dan dia tak menarik pengakuannya itu hingga selesainya eksekusi hukuman zina. Kedua, kesaksian empat laki-laki Muslim yang adil (bukan fasik) dan merdeka, yang mempersaksikan satu perzinaan (bukan perzinaan yang berbeda-beda) dalam satu majelis (pada waktu dan tempat yang sama), dengan kesaksian yang menyifati perzinaan dengan jelas, Ketiga, kehamilan (al - habl), yaitu kehamilan pada perempuan yang tidak bersuami.
   Jika seorang perempuan mengklaim di hadapan hakim (qadhl) bahwa dirinya telah diperkosa oleh seorang laki-laki, sebenarnya dia telah melakukan qadzaf (tuduhan zina) kepada laki-laki itu, kemungkinan hukum syara’ yang diberlakukan oleh hakim dapat berbeda-beda sesuai fakta yang ada, antara lain adalah:
    Pertama, jika perempuan itu mempunyai bukti perkosaan, yaitu kesaksian empat laki-laki Muslim, atau jika laki-laki pemerkosa mengakuinya, maka laki-laki itu dijatuhi hukuman zina, yaitu dicambuk 100 kali jika di muhshan. Kedua, jika perempuan itu tidak mempunyai bukti perkosaan, maka hukumannya dilihat lebih dulu, jika laki-laki yang dituduh memerkosa itu orang baik-baik yang menjaga diri dari zina ( al’iffah an zina ), maka perempuan itu dijatuhi hukuman menuduh zina ( had al qadzaf ), yakni 80 kali cambukan sesuai dengan Qs An Nuur : 4:  .         Adapun jika laki-laki yang dituduh memperkosa itu fasik, yakni bukan orang yang baik-baik yang menjaga diri dari zina, maka perempuan itu, tidak dapat dijatuhi hukuman menuduh zina.

2. Unsur-Unsur Perzinahan
.     Dari definisi zina tersebut yang dikemukakan oleh para ulama dapat diketahui bahwa unsur-unsur jarimah zina itu ada dua, yaitu:
a. Persetubuhan yang diharamkan dan dianggap zina

1) Persetubuhan yang Diharamkan.
     Meskipun pada umumnya para fuqaha telah sepakat bahwa yang dianggap zina itu adalah persetubuhan terhadap farji manusia yang masih hidup, namun dalam penerapanya pada kasus-kasus tertentu mereka kadang-kadang berbeda pendapat.

2) Persetubuhan dalam farji
.   Hukuman pokok dalam hukum Islam adalah bahwa setiap orang yang haram disetubuhi pada farji karena dianggap zina atau liwat, ia haram disetubuhi pada sealain farji karena dianggap maksiat.

3) Persetubuhan dalam Dubur

4) Menyetubuhi Istri Melalui Dubur

5) Menyetubuhi  Mayat

6) Menyetubuhi Binatang

7) Anak di Bawah Umur dan Orang Gila Menyetubuhi Perempuan Ajnabiy

8) Orang Berakal dan Balig Menyetubuhi Anak Perempuan di Bawah Umur atau Perempuan Gila

9) Persetubuhan dengan Syubhat
.      Syubhat adalah sesuatu yang menyerupai pasti tapi tidak pasti. Hukuman tidak boleh dihindarkan dan ditegakkan atas dasar syubhat, hukuman hudud adalah hak Allah, tidak lebih dari itu.  Jika hukuman hudud belum pasti ia tidak halal ditegakkan atas dasar syubhat. Jika hukuman hudud sudah pasti, maka tidak boleh di gugurkan atas dasar syubhat. Ulama Syafi’iyah membagi syubhat menjadi tiga jenis:

a) Syubhat Objektif
Menyetubuhi Istri yang sedang had, berpuasa, atau menyetubuh istri melalui duburnya. Syubhat di sini terjadi pada tempat persetubuhan yang diharamkan, karena tempat tersebut adalah milik suami, sedangkan sebagian hak suami adalah menyetubuhi istri.

b) Syarat Subjektif
Orang yang meyetubuhi perempuan yang datang kepadanya yang di duga istrinya, padahal bukan dasar syubahat adalah dugaan dan keyakinan pelaku bahwa tidak melakukan keharaman.

c) Syubhat Yuridis
Adanya keserupaan antara halal dan haram, dasar syubhat ini adalah adanya perbedaan pendapat di kalangan fukaha mengenai suatu perbuatan, setiap perbuatan yang mereka ikhtitafkan kehalalan atau kebolehannya menjadi syubhat yang dapat menggugurkan hukuman hudud.

10)  Menyetubuhi Mahram
11)  Persetubuhan dalam Pernikahan yang Batal
12)  Persetubuhan dalam Pernikahan  
13)  Bersetubuh karena Dipaksa
14) Tersalah dalam Bersetubuh
15)  Rela Disetubuhi
16)  Pernikahan setelah zina
17)  Menyetubuhi Perempuan yang Wajib dikisas
18)  Musahaqah
19)  Istimna (Mastrubasi)
21)  Ingkarnya Salah Satu Pelaku Zina
22) Salah Satu Pihak Mengaku Ada Hubungan Suami-Istri

b. Adanya Niat atau Kesengajaan Melawan Hukum.
       Unsur yang kedua dari jarimah zina adalah niat dari pelaku yang melawan hukum. Unsur ini terpenuhi apabila pelaku melakukan suatu perbuatan (persetubuhan) padahal ia tahu yang disetubuhinya adalah wanita yang diharamkan baginya. Dengan demikian apabila seseorang melakukan perbuatan dengan sengaja, tetapi tidak tahu perbuatan yang dilakukanya haram maka ia tidak dikenai hukuman had. Unsur melawan hukum ini harus berbarengan dengan melakukan perbuatan yang diharamkan itu, bukan sebelumnya. Artinya, niat melawan hukum itu harus ada pada saat dilakukanya perbuatan yang dilarang itu. Apabila saat dilakukanya perbuatan yang dilarang, niat melawan hukum itu tidak ada meskipun sebelumnya ada, maka pelaku tidak dikenai pertanggungjawaban atas perbuatan yang dilakukanya.

3. Macam-Macam Perzinahan dan Hukumannya.
       Bahwa macam-macam jarimah zina itu ada dua macam, tergantung kepada keadaan  pelakunya apakah ia belum berkeluarga ( ghair muhshan ) atau sudah berkeluarga ( muhshan ). Jadi, hukuman atas  pezina sudah tetap. Pelaku zina gair muhsan (yang belum menikah) dihukum dengan cara didera dan diasingkan walaupun tetap ada berbedaan pendapat tentang hukuman lainnya (selain didera dan diasingkan). Untuk pelaku zina muhsan (yang  sudah menikah), hukumannya adalah rajam walaupun tetap ada perbedaan pendapat mengenai adanya hukuman dera atau tidak.

a. Zina Ghair Muhshan (orang yang belum bekeluarga).
       Zina ghair muhsam adalah zina yang dilakukan oleh laki laki dan perempuan yang belum bekeluarga. Hukuman untuk pelaku  zina ghair muhsam ini ada dua macam yaitu dera seratus kali dan pengasingan selama satu tahun, hal ini didasarkan atas hadits riwayat Abdullah ibn Ash-Shamit bahwa rasulullah saw bersabda yang artinya:
“.Ambillah dari ku diriku, ambillah dari diriku, sesungguhnya Allah telah memberikan jalan keluar bagi mereka (pezina). Jejaka dengan gadis, hukumannya dera seratus kali dan pengasingan selama satu tahun. Sedangkan duda dengan janda, hukumannya dera seratuskali dan rajam. (HR. Muslim, Abu Dawud dan Timidzi). ”

1) Hukuman Dera
     Hukuman dera adalah hukuaman had, yaitu hukuman yang telah ditentuykan oleh syara’. Oleh karena itu, hakim tidak boleh mengurangi, menanbah, menunda pelaksanaanya, atau degantiaka dengan hukuman yang lainnya, selain ketentuan syara’ hukum dera merupak hak Allah atau hak masyarakat, sehingga individu atau pemerintah tidak berhak membverikan pengampunan. Apabila jejaka dan gadis melakukan zina, mereka dikenai hukuman dera seratuskali

2) Hukuman Pengasingan.
   Hukuman kedua bagi pelaku zina ghair muhasam adalah hukuman pengasingan selama satu tahun.Hukuman ini didasarkan pada hadits riwayat Abdullah ibn Ash-Shamit.Mengenai hukuman ini dilaksanakan bersamaan dengan hukuman dera, para ulama berbeda pendapat dengan hal ini. Menurut imam Abu Hanifah dan kawan kawannya hukuman pengasingan tidak wajib dilakukan, akan tetapi para mereka membolehkan bagiimam  untuk menggabungkan antara dera sertus kali dengan pengasingan apabila hal itu dipandang maslahat. Menurut mereka hukuman pengasingan itu bukan hukuman had, melainkan hukuman ta’zir.

b. Zina Muhshan (Orang yang sudah berkeluarga)
       Zina Muhasam adalah zina yang dilakukan oleh lakik-laki dan perempuan yang sudah bekeluarga (bersuami/beristri)hukuman untuk pelaku zina muhsan ini ada dua macam, yaitu:
1) Dirajam, dan
     Rajam adalah membunuh oramg yang berzina dengan cara melempari dengan batu dan sejenis batu. hukuman rajam didasarkan pada hadis nabi baik qauliyah maupun fi’liah.Hukuman rajam adalah hukuman mati dengan jalan dileapari dengan batu atau sejenisnya. Hukuman rajam merupakan hukuman yang telah diakui dan diterima oleh hamper seluruh fuqaha.

2)  Dera seratuskali.
   Bagi kelompok azariqah dari golongan khawarji, mereka tidak menerima hadis jika tidak mencapai batas mutawatir, menurut mereka hukuman bagi orang muhsan dan gair muhsan adalah dera  Hukum Islam membedakan hukuman bagi muhsan dan gair muhsan, pezina muhsan harus dirajam, artinya hukum Islam menjadikan ihsan sebagai syarat rajam, jika tidak ada ihsan tidak ada rajam,. Ihsan adalah syarat untuk merajam dan dalam waktu yang sama ihsan adalah kumpulan beberapa syarat yang dirangkum menjadi satu atau kumpulan dari berberapa hal yang ilatnya atau sebabnya sama, berarti setiap unsur dari kumpulan ini dianggap sebagai syarat atau ilat (sebab) wajibnya rajam. Sedangkan Dera adalah hukuman kedua bagi pezina muhsan.

4. Pembuktian Sanksi untuk Hukuman Perzinahan
      Para ulama telah sepakat bahwa jarimah zina tidak bisa dibuktikan kecuali dengan empat orang saksi.Apabila saksi itu kurang dari empat maka persaksian tersebut tidak dapat diterima. Hal ini apabila pembuktianya itu hanya berupa saksi semata-mata dan tidak ada buktibukti yang lain. Akan tetapi tidak semua orang bisa diterima untuk menjadi saksi.Ada syarat-syarat persaksian yang berlaku untuk semua jarimah, ada pula syarat-syarat khusus untuk persaksian jarimah zina yaitu:

1) Baliq (Dewasa)
       Saksi harus orang yang sudah balig jika tidak kesaksiannya tidak
diterima meski mampu menjaga dan melakukan kesaksian serta bersikap
adil.

2) Berakal
       Saksi disyaratkan harus berakal, orang berakal adalah orang yang
mampu mengenali kewajiban melalui akal dan mampu menafsirkan mana
yang darurat dan lainnya, serta mana yang membahayakan dan yang
dilarang.

3) Kuat Ingatan
       Saksi disyaratkat mampu mengingat kesaksian, mampu memahami
apa yang dilihat dan apa yang dikatakan bisa dipercaya, jika ingatannya
seseorang sangat lemah, maka kesaksiannya tidak bisa diterima.

4) Dapat Berbicara
       Saksi harus mampu berbicara, diterima atau tidaknya kesaksian
seorang bisa masih diperselisihkan.

5) Dapat Melihat
       Saksi diharuskan melihat hal atau persitiwa yang dilihatnya, orang
buta kesaksiannya masih diperselisihkan diterima atau tidaknya, mereka
bahkan tidak menerima kesaksian orang yang bisa melihat lalu menjadi
buta.

B. Jarimah Pencurian dan Perampokan

1. Definisi Sariqah (Pencurian)
       Sariqah adalah bentuk masdhar dari kata سَرَقَ – يْسْرِ قُ – سَرَ قَا  dan secara etimologis berarti اَخَذَ مَا لَهُ خُفْيَةَ و حِيْلَةً mengambil harta milik seseorang secara sembunyi – sembunyi dan dengan tipu daya.  Sementara itu, secara terminologis definisi sariqah dikemukakan oleh beberapa ahli berikut:

a. Ali bin Muhammad Al-Jurjani
      Sariqah dalam syariat Islam yang pelakunya harus diberi hukuman potong tangan adalah mengambil sejumlah harta senilai sepuluh dirham yang masih berlaku, disimpan di tempat penyimpanannya atau dijaga dan dilakukan oleh seorang mukallaf secara sembunyi – sembunyi serta tidak terdapat unsur syuhbat, sehingga kalau barang itu kurang dari sepuluh dirham yang masih berlaku maka tidak dapat dikategorikan sebagai pencurian yang pelakunya diancam hukuman potong tangan.

b. Muhammad Al-Khatib Al-Syarbini (ulama mazhab Syafi’i)
   Sariqah secara bahasa berarti mengambil harta (orang lain) secara sembunyi-sembunyi dan secara istilah syara’ adalah mengambil harta orang lain secara sembunyi-sembunyi dan zalim, diambil dari tempat penyimpanannya yang bisa digunakan untuk menyimpan dengan berbagai syarat.

c. Wahbah Al-Zuhaili
    Sariqah ialah mengambil harta milik orang lain dari tempat penyimpanannya yang biasa digunakan untuk menyimpan secara diam-diam dan sembunyi-sembunyi. Termasuk dalam kategori mencuri adalah mencuri-curi informasi dan pandangan jika dilakukan dengan sembunyi-sembunyi.

d. Abdul Qadir Audah
      Ada dua macam sariqah menurut Islam, yaitu sariqah yang diancam dengan had dan sariqah yang diancam dengan ta’zir. Sariqah yang diancam dengan had dibedakan menjadi dua macam yaitu pencurian kecil dan pencurian besar. Pencurian kecil yaitu mengambil harta milik orang lain secara diam-diam. Sementara itu, pencurian besar ialah mengambil harta milik orang lain dengan kekerasan. Pencurian jenis ini juga disebut perampokan.
    Dari beberapa rumusan definisi sariqah diatas, dapat disimpulkan bahwa sariqah ialah mengambil barang atau harta orang lain secara sembunyi – sembunyi dari tempat penyimpanannya yang biasa digunakan untuk menyimpan barang atau harta kekayaan tersebut.
     Melengkapi definisi diatas, Abdul Qadir Audah memberikan penjelasan sebagai berikut:Perbedaan antara pencurian kecil dan pencurian besar; pencurian kecil ialah pengambilan harta kekayaan yang tidak disadari oleh korban dan dilakukan tanpa izin. Pencurian kecil ini harus memenuhi dua unsur tersebut secara bersamaan. Kalau salah satu dari kedua unsur tersebut tidak ada, tidak dapat disebut pencurian kecil. Jika ada seseorang yang mencuri harta benda dari sebuah rumah dengan disaksikan si pemilik dan pencuri tidak menggunakan kekuatan fisik dan kekerasan, maka kasus seperti ini tidak termasuk pencurian kecil, tetapi penjarahan.
       Demikian juga seseorang yang merebut harta orang lain, tidak termasuk dalam jenis pencurian kecil, tetapi pemalakan atau perampasan; semuanya termasuk ke dalam lingkup pencurian. Meski demikian, jarimah tidak dikenakan hukum had tetapi hukuman ta’zir. Seseorang yang mengambil harta dari sebuah rumah dengan direlakan pemiliknya dan tanpa disaksikan olehnya, tidak dapat dianggap pencuri.

2.      Unsur Jarimah Pencurian
     Sesuai dengan definisinya unsur pencurian adalah mengambil harta orang lain secara diam-diam,yang diambil berupa harta, harta yang diambil merupakan milik orang lain dan ada itikad tidak baik.

a.    Mengambil harta secara diam-diam
    Yang dimaksud dengan mengambil harta secara diam-diam adalah mengambil barang tanpa sepengetahuan pemiliknya dan tanpa kerelaannya, seperti mengambil barang dari rumah orang lain ketika penghuninya sedang tidur. Pengambilan harta itu dapat dianggap sempurna, jika:
1)      Pencuri mengeluarkan harta dari tempatnya
2)      Barang yang dicuri itu telah berpindah tangan dari pemiliknya
3)      Barang yang dicuri itu telah berpindah tangan ke tangan si pencuri
Bila salah satu syarat diatas tidak terpenuhi, maka pengambilan tersebut tidak sempurna. Dengan demikian hukumannya bukan had, melainkan ta’zir.

b.   Barang yang dicuri berupa harta
Disyaratkan yang dicuri itu berupa harta:
1)      Yang bergerak, karena pencurian mempunyai makna perpindahan harta yang dicuri dari pemilik kepada pencuri.
2)      Berharga, maksudnya adalah bahwa barang tersebut berharga bagi pemiliknya, bukan dalam pandangan pencurinya.
3)      Memiliki tempat penyimpanan yang layak
4)      Sampai nisab.

c.   Harta yang dicuri itu milik orang lain
        Disyaratkan dalam pidana pencurian bahwa sesuatu yang dicuri itu merupakan milik orang lain. Yang dimaksud dengan milik orang lain adalah bahwa harta itu ketika terjadinya pencurian adalah milik orang lain dan yang dimaksud dengan waktu pencurian memindahkan harta dari tempat penyimpanannya. Atas dasar ini, maka tidak ada hukuman had dalam pencurian terhadap harta yang status pemilikannya bersifat syubhat.
          Barang-barang yang pada asalnya tidak ada pemiliknya boleh diambil, akan tetapi jika sudah ada dalam penguasaan seseorang atau Ulul Amri maka dianggap telah ada pemiliknya. Sedangkan harta yang sengaja ditinggalkan atau dibuang pemiliknya adalah sama dengan harta yang tidak ada pemiliknya.

d.   Ada itikad tidak baik
    Adanya itikad tidak baik seorang pencuri terbukti bila ia mengetahui bahwa hukum mencuri itu adalah haram dan dengan perbuatannya itu ia bermaksud memiliki barang yang dicurinya tanpa sepengetahuan dan kerelaan pemiliknya.

3.      Syarat Jarimah Pencurian
      Dalam memberlakukan sanksi potong tangan, harus diperlihatkan aspek-aspekpenting yang berkaitan dengan syarat dan rukunnya. Dalam masalah ini Shalih Sa’id Al-Haidan, dalam bukunya Hal Al-Muttaham Fi Majlis Al-Qada,  mengemukakan lima syarat untuk dapat diberlakukannya hukuman ini, yaitu:
a.       Pelaku telah dewasa dan berakal sehat. Kalau pelakunya sedang tidur, anak kecil, orang gila, dan orang dipaksa tidak dapat dituntut.
b.      Pencurian tidak dilakukan karena pelakunya sangat terdesak oleh kebutuhan hidup. Contohnya adalah kasus seorang hamba sahaya milik Hatib Bin Abi Balta’ah yang mencuri dan menyembelih seekor unta milik seseorang yang akhirnya dilaporkan kepada Umar Bin Al-Khaththab. Namun, Umar justru membebaskan pelaku karena ia terpaksa melakukannya.
c.       Tidak terdapat hubungan kerabat antara pihak korban dan pelaku, seperti anak mencuri harta milik ayah atau sebaliknya.
d.      Tidak terdapat unsur syubhat dalam hal kepemilikan, seperti harta yang dicuri itu menjadi milik bersama antara pencuri dan pemilik.
e.       Pencurian tidak terjadi pada saat peperangan dijalan Allah. pada saat seperti itu, Rasulullah tidak memberlakukan hukuman potong tangan, meskipun demikian jarimah ini dapat diberikan sanksi dalam bentuk lain seperti dicambuk atau dipenjara.

4.      Sanksi Jarimah Pencurian
.     Dalam tidak pidana pencurian, para ulama mempermasalahkan ganti rugi dan sanksi. Menurut Imam Abu Hanifah, ganti rugi dan sanksi itu tidak dapat digabungkan, artinya bila pencuri sudah dikenal sanksi hukuman had, maka baginya tidak ada keharusan untuk membayar ganti rugi. Alasanya, al-Qur’an hanya menyebutkan masalah sanksi saja, sebagaimana disebutkan di atas. Selain itu, jika pencuri harusmembayar ganti rugi, maka seakan-akan harta itu adalah miliknya.
     Akan tetapi mazhab Hanafi pada umumnya berpendapat bahwa pemilik harta itu boleh meminta dikembalikannya harta itu setelah pencurinya dikenai sanksi hukuman bila harta itu masih ada, baik masih berada di tangan pencuri maupun telah berpindah ke tangan orang lain, maka orangtersebut dapat meminta ganti rugi kepada pencuri.
 .    Menurut Imam Syafi’I dan Imam Ahmad, sanksi dang anti rugi itu dapat digabungkan. Alasannya, pencuri melanggar dua hak, dalam hal ini hak Allah berupa keharaman mencuri dan hak hamba berupa pengambilan atas harta orang lain. Oleh karena itu, pencuri harus mempertanggungjawabkan akibat dua hak ini, jadi pencuri itu harus mengembalikan harta yang dicurinya bila masih ada dan harus membayar ganti rugi bila hartanya sudah tidak ada. Selain itu, ia harus menanggung sanksi atas perbuatannya. Inila yang disebut dengan prinsip dhaman di kalangan ulama.
        Dengan demikian, sesungguhnya para ulama sepakat bahwa bila harta yang dicuri itu masih ada di tangan pencuri, maka ia harus mengembalikannya. Hanya mereka berbeda pendapat bila harta yang dicuri itu telah tidak ada ditangan pencuri. Apakah pencuri itu hanya dikenai had saja, ataupun disertai dengan kewajiban membayar ganti rugi. Adapun dasar hukum potong tangan terdapat firman Allah dalam surat Al Maidah ayat 38

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Laki – laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya sebagai pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
.   Hukuman potong tangan ini tidak dapat dimaafkan, jika perkaranya sudah diserahkan dan ditangani oleh Ulul Amri. Berkenaan dengan anggota badan yang dipotong dan batas pemotongannya, para ulama berbeda pendapat.

a.       Imam Malik dan Imam Syafi’I berpendapat pada pencurian pertama yang dipotong adalah tangan kanan, pada pencurian kedua yang dipotong adalah kaki kiri, pada pencurian yang ketiga yang dipotong adalah tangan kiri, pada pencurian ke empat yang dipotong adalah tangan kanan. Jika pencuri masih mencuri yang kelima kalinya maka dipenjara sampai dia bertobat.

b.      Atha berpendapat bahwa pencurian yang pertama dipotong tangannya, dan mencuri yang kedua kalinya dihukum ta’zir.

c.       Mazhab Zhahiri berpendapat bahwa pada pencurian pertama dipotong tangan kanannya, pada pencurian kedua dipotong tangan kirinya, pada pencurian ketiga dikenai hukuman ta’zir.

d.      Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa pada pencurian pertama pencuri dipotong tangan kanannya, pada pencurian kedua dipotong kaki kirinya, pencurian ketiga dipenjara sampai tobat.

      Salah satu hal yang disepakati oleh para ulama adalah bahwa kewajiban potong tangan itu dihapus, jika tangan yang akan dipotong itu telah hilang sesudah pencurian terjadi.
 .  Batas pemotongan menurut Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I, Imam Ahmad dan Zahiri adalah dari pergelangan tangan ke bawah, begitupula bila yang dipotong kakinya. Alasannya adalah batas minimal anggota yang disebut tangan dan kaki adalah telapak tangan atau kaki dengan jari-jarinya. Selain itu Rasulullah melakukan pemotngan tangan pada pergelangan tangan pencuri.

5.      Cara Pembuktian dan Pelaksanaan Hukuman Jarimah Pencurian
         Cara pembuktian pencurian yaitu:
a.       Dengan saksi
Saksi yang diperlukan untuk membuktikan tindak pidana pencurian minimal dua orang laki-laki atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan. Apabila saksi kurang dari dua orang maka pencuri tidak dikenai hukuman.
b.      Dengan dengan pengakuan
Pengakuan merupakan salah satu alat bukti untuk tindak pidana pencurian. Menurut Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, dan Zhahiriyah pengakuan cukup dinyatakan satu kali dan tidak perlu diulang-ulang. Akan tetapi menurut pendapat Imam Abu Yusuf, Imam Ahmad, dan Syiah Zaidiyah bahwa pengakuan harus dinyatakan sebanyak dua kali.
c.       Dengan sumpah
Dikalangan Syafi’iyah berkembang suatu pendapat bahwa pencurian bisa juga dibuktikan dengan sumpah yangdikembalikan. Apabila dalam suatu peristiwa pencurian tidak ada saksi atau tersangka tersebut tidak mau bersumpah mengakui perbuatannya, maka sumpah bisa dikembalikan kepada si penuntut (pemilik barang). Dan jika si penuntut mau disumpah maka si pencuri yang tidak mau disumpah tadi akan dikenai hukuman had.Namun alat bukti yang satu ini tidak begitu kuat untuk dijadikanalat bukti. Sebab sumpah yang dikembalikan untuk tindak pidana pencurian merupakan tindakan yang riskan dan kurangtepat, karena hukuman sariqah ini sangat berat sehingga diperlukan ketelitian dan kecermatan dalam pembuktiannya

6.      Pengertian Jarimah Hirabah (Perampokan)
      Menurut Prof. Drs. H. A. Djazuli dalam bukunya yang berjudul Fiqh Jinayah, hirabah adalah suatu tindak kejahatan yang dilakukan secara terang – terangan dan disertai dengan kekerasan. Para fuqaha berbeda pendapat dalam mendefinisikan jarimah perampokan diantaranya:
Pendapat Syafi’iyyah : mengambil harta/ membunuh/ menakut – nakuti yang dilakukan dengan sengaja di tempat yang jauh dari pertolongan.
Pendapat Malikiyah : mengambil harta dengan cara penipuan baik menggunakan kekuatan maupun tidak.
Pendapat Hanafiyah : perbuatan mengambil harta secara terang – terangan dari orang yang melintasi jalan dengan syarat memiliki kekuatan.
Jadi, Hirabah adalah suatu tindakan kejahatan ataupun pengerusakan dengan menggunakan senjata / alat yang dilakukan oleh manusia secara terang – terangan dimana saja baik dilakukan satu orang atau berkelompok tanpa mempertimmbangkan dan memikirkan siapa korbannya disertai dengan tindak kekerasan.

7.      Unsur Jarimah Perampokan
Unsur jarimah hirabah adalah keluar untuk mengambil harta, dilakukan di jalan umum atau di luar pemukiman korban, dilakukan secara terang – terangan, serta adanya unsur kekerasan atau ancaman kekerasan.
Perbedaan yang asasi antara pencurian dan perampokan terletak pada cara pengambilan harta yakni pencurian dilaksanakan secara diam-diam sedangkan dalam perampokan dilakukan secara terang-terangan atau disertai dengan kekerasan. Teknis operasional perampokan itu ada beberapa kemungkinan, yaitu:
a.       Seseorang pergi dengan niat untuk mengambil harta secara terang-terangan dan mengadakan intimidasi, namun ia tidak jadi mengambil harta dan tidak membunuh.
b.      Seseorang berangkat dengan niat untuk mengambil harta dengan terang-terangan dan kemudian mengambil harta termaksud tetapi tidak membunuh.
c.       Seseorang berangkat dengan merampok, kemudian membunuh tetapi tidak mengambil harta korban.
d.      Seseorang berangkat untuk merampok kemudian ia mengambil harta dan membunuh pemiliknya.
Keempat kemungkinan diatas semuanya termasuk perampokan selama yang bersangkutan berniat untuk mengambil harta dengan terang-terangan.

8.      Syarat Perampokan
Adapun syarat harta yang diambil dalam perampokan adalah sama dengan syarat harta yang diambil dalam pencurian. Imam Abu Hanifah mensyaratkan tempat perampokan itu harus di Negara Isam. Hal ini berkaitan dengan teorinya yang menyatakan bahwa penerapan hukum islam itu hanya mungkin terjadi di Negara muslim. Perampokan itu harus di luar kota dan jauh dari keramaian, karena di tempat yang ramai biasanya tidak terjadi perampokan.
Imam Malik dan Imam Syafi’I tidak membedakan antara perampokan di tempat yang ramai dengan perampokan di tempat yang sunyi, hanya Imam Syafi’I mensyaratkan bahwa perampokan itu terjadi di tempat yang sulit bagi korban untuk minta tolong.

9.      Sanksi Perampokan
a.       Menurut Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’I, dan Imam Ahmad berbeda-beda sanksi perampokan berdasarkan perbuatannya. Bila ia hanya mengintimidasi, tanpa mengambul harta dengan kekerasan, namun tidak membunuh, maka sanksinya adalah potong tangan dan kakinya secara silang. Bila hanya membunuh tanpa mengambil harta maka sanksinya adalah hukum mati. Menurut Imam Malik sanksi perampokan diserahkan kepada imam untuk memilih salah satu hukuman yang akan dijatuhkan pada pelaku perampokan.
b.      Sanksi kedua bagi perampok adalah dipotong tangan  dan kakinya antara bersilang, yaitu tangan kanan dan kaki kiri. Sanksi tersebut diancamkan pada perampok yang mengambil harta dengan paksa namun tidak membunuh.
c.       Sanksi ketiga dihukum mati, yaitu bila seorang perampok membunuh tapi tidak mengambil harta.
d.      Sanksi ke empat yaitu di hukum mati lalu disalip, sanksi ini diancamkan terhadap perampom yang membunuh dan mengambil harta.

10.  Cara Pembuktian dan Pelaksanaan Hukuman

Cara pembuktian permpokan:
a.       Dengan saksi
Saksi yang diperlukan untuk membuktikan tindak pidana perampokan sama halnya dengan jumlah saksi pada jarimah sariqah, yaitu minimal dua orang laki-laki atau seoranglaki-laki dan dua orang perempuan. Apabila saksi kurang dari dua orang maka pencuri tidak dikenai hukuman. Saksi bisa diambil dari para korban atau orang-orang yang terlibat langsung dalam kejadian perampokan.

b.      Dengan dengan pengakuan
Pengakuan seorang perampok merupakan salah satu alat bukti untuk tindak pidana perampokan. Menurut Jumhur Ulama pengakuan cukup dinyatakan satu kali dan tidak perlu diulang-ulang. Akan tetapi menurut pendapat Imam Abu Yusuf dan Hanabilah bahwa pengakuan harus dinyatakan sebanyak dua kali. Hukuman terdapat dalam surat al maidah ayat 33
Sewaktu menjelaskan sebab-sebab turunya asbab al-nuzul ayat ini Imam Bukhari meriwayatkan bahwa beberapa orang dari suku Ukul datang menghadap Nabi SAW di madinah.




BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kata zina berasal dari bahasa arab, yaitu zanaa - yazni - zinaa - aan yang berarti atal mar-ata min ghairi ‘aqdin syar’iiyin aw milkin , artinya menyetubuhi wanita tanpa diketahui akad nikah menurut syara’ atau disebabkan wanitanya budak belian. Para ulama dalam memberikan definisi zina ini berbeda redaksinya, namun dalam subtansinya hampir sama.
Jarimah Zina termasuk dalam jarimah hudud, jarimah hudud adalah jarimah yang diancam dengan hukuman had. Had atau hudud mencakup seluruh atau semua jarimah, baik hudud sendiri, qisas maupun diat, karena hukuman pada keseluruhannya itu telah ditentukan secara syara’. Berbeda halnya dengan yang dijelaskan oleh Sayyid Sabiq, beliau menjelaskan bahwa hudud ialah sanksi yang telah ditetapkan untuk melaksanakan hak Allah. Oleh karena itu, menurutnya, ta’zir dan qisas tidak termasuk ke dalam hudud, karena ta’zir itu keputusannnya diambil dari pendapat hakim setempat, sedangkan qisas merupakan hak sesama manusia dalam menuntut balas dan keadilan
Sariqah adalah bentuk masdhar dari kata سَرَقَ – يْسْرِ قُ – سَرَ قَا  dan secara etimologis berarti اَخَذَ مَا لَهُ خُفْيَةَ و حِيْلَةً mengambil harta milik seseorang secara sembunyi – sembunyi dan dengan tipu daya. Sesungguhnya para ulama sepakat bahwa bila harta yang dicuri itu masih ada di tangan pencuri, maka ia harus mengembalikannya. Hanya mereka berbeda pendapat bila harta yang dicuri itu telah tidak ada ditangan pencuri. Apakah pencuri itu hanya dikenai had saja, ataupun disertai dengan kewajiban membayar ganti rugi.
Menurut Prof. Drs. H. A. Djazuli dalam bukunya yang berjudul Fiqh Jinayah, hirabah adalah suatu tindak kejahatan yang dilakukan secara terang – terangan dan disertai dengan kekerasan.


B. Saran
Apabila ingin mengerjakan makalah seperti diatas, saya sarankan agar pembaca lebih memperbanyak referensinya. Agar memiliki pembahasan yang lebih luas dan tidak kewalahan dalam mengerjakannya. Dan untuk para pembaca yang menggunakan alat elektronik maka saya sarankan agar lebih teliti. Agar susunannya tidak teracak sehingga meyusahkan pembaca untuk menyusunnya.


DAFTAR PUSTAKA


Ibnu Hajar Ash-Qalany, Bulugh al - Maram , (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992)
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam…, 6-7.
M. Nurul Irfan, Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Amzah, 2013)
Nurul irfan dan Masyrofah. Fiqih Jinayah , (Jakarta: Pena Grafika,2013)
Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam Jilid V
A.W.Munawwi. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap.  (Surabaya: Pustaka Progressif. 1997)
Ali bin Muhammad Al-Jurjani. Kitab Al-ta’rifat, (Jakarta: Dar Al – Hikmah)
Wahbah Al-Zuhaili.Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh. (Beirut: Dar Al-Fikr. 1997)
Abdul Qadir Audah. Al-Tasyri’ Al-Jina’i Al-Islami.(Beirut: Mu’assasah Al-Risalah. 1992)
M.Nurul Irfan. Korupsi dalam Hukum Pidana Islam.(Jakarta: Amzah. 2012)
H.A.Dzajuli. Fiqih Jinayah. (Jakarta: PT Raja Grafindo. 1997).
Enceng Arif Faizal, Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh Jinayah (Asas – asas Hukum Pidana Islam), (Bandung : Pustaka Bani Quraisy, 2004


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PERMASALAHAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA

PERMASALAHAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas p...