PERMASALAHAN JARIMAH HUDUD
Makalah ini Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
Fiqh Jinayah Program Studi Hukum Keluarga Islam
Fakultas Syariah dan Hukum Islam IAIN BONE
Oleh:
KELOMPOK 8
ADRIANI
NIM: 01.17.1232
RESA
NIM: 01.17.1228
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
BONE 2020
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kehadirat Allah Swt atas limpahan rahmat dan anugrahNya kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Permasalahan Jarimah Hudud” ini. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan besar kita, Nabi Muhammad Saw yang telah menunjukkan kepada kita semua jalan yang lurus berupa ajaran agama Islam yang sempurna dan menjadi anugrah terbesar bagi seluruh alam semesta.
Penulis sangat bersyukur karena dapat menyelesaikan makalah ini. Disamping itu,kami mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu kami selama pembuatan makalah ini sehingga makalah ini dapat terealisasikan.
Demikian yang dapat kami sampaikan,semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca pada umumnya dan untuk Mahasiwa IAIN Bone pada khususnya.
Watampone,22 April 2020
Penyusun
DAFTAR ISI
SAMPUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
A. Jarimah Pemberontakan
B. Jarimah Meminum Khamr
C. Jarimah Murtad
BAB III
A.Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar BelakangHukum Islam merupakan hukum Allah, dan sebagai hukum Allah, ia menuntut kepatuhan dari umat Islam untuk melaksanakannya sebagai kelanjutan dari keimanannya terhadap Allah swt. Keimanan akan wujud Allah menuntut kepercayaan akan segala sifat dan kudrat Allah. Aturan Allah tentang tingkah laku manusia itu sendiri merupakan satu bentuk dari iradat Allah dan karena itu
kepatuhan menjalankan aturan Allah merupakan perwujudan dari iman kepada
Allah.
Tindak pidana atau delik disebut dengan jarimah atau jinayah. Menurut Imam al-Mawardi, Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara‟, yang diancam oleh Allah swt dengan hukuman hadd atau ta’zir.1Adapun kata jinayah adalah suatu istilah perbuatan yang dilarang oleh syara’ yang berkaitan dengan harta, jiwa, akal atau (inteligensi).
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang di maksud dengan Jarimah Pemberontakan dan apa Hukumannya?
2. Apa yang di maksud dengan Jarimah Meminum Khamr dan apa Hukumannya?
3. Apa yang di maksud dengan Jarimah Murtad dan Hukumannya?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui Jarimah Pemberontakan dan apa Hukumannya.
2. Untuk mengetahui Jarimah Meminum Khamr dan apa Hukumannya.
3. Untuk mengetahui dengan Jarimah Murtad dan Hukumannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Jarimah Pemberontakan
1. Pengertian Jarimah Pemberontakan
Secara bahasa, pemberontak berarti menuntut sesuatu. Dikatakan bagaytu kaza (saya mencari [menghendaki] begini berarti “saya menuntut (talaba) hal itu”. Secara ‘urf (adat), kata al-Baghyu biasanya berarti menuntut sesuatu yang tidak halal berupa kezaliman. Walaupun demikian secara bahasa, al-Baghyu bisa juga berarti menuntut secara benar.
Adapun perbedaan pendefinisian al-baghyu (pemberontak), dikemukakan oleh Abdul Qadir ‘Audah dengan mengutip pendapat para ulama mazhab. Sebagai berikut:
Menurut ulama Hanafiyah mendefinisikan para pemberontak (bugāt) dan mencoba mengeluarkan kata tersebut dari definisi pemberontak (al-baghyu), yaitu keluar dari ketaatan kepada imam (pemimpin tertinggi/kepala negara) yang sah dengan cara yang tidak sah. Pemberontak (al-baghyu) berarti orang yang keluar dari ketaatan kepada imam yang benar dengan cara yang tidak benar.
Menurut ulama Malikiyah mendefinisikan pemberontakan sebagai penolakan untuk taat kepada orang yang kepemimpinannya sudah tetap dalam hal yang bukan maksiat dengan cara mengadakan perlawanan walaupun menggunakan takwil.
Kemudian ulama dikalangan Syafi’iyah mendefinisikan bugāt sebagai orang-orang Islam yang melawan Imam (pemimpin teringgi) dengan cara keluar darinya, tidak mau tunduk, menghalangi hak yang diarahkan kepada mereka, dan mereka ini memiliki kekuatan, alasan, serta orang yang mereka taati. Definisi lainnya adalah orang yang keluar dari ketaatan dengan alasan yang salah, namun belum dipastikan salahnya. Syaratnya, mereka mempunyai banyak kekuatan dan ada pemimpin yang mereka patuhi. Dengan demikian, pemberontakan dalam pandangan ulama Syafi’iyah adalah keluarnya sekolompok orang yang mempunyai kekuatan dan pemimpin yang ditaati dari Imam dengan alasan (takwil) yang salah.
Ulama Hanabilah mendifinisikan bugāt sebagai orang-orang yang keluar dari Imam meski Imam tersebut tidak adil sekalipun dengan alasan yang layak dan mereka mempunyai kekuatan walaupun diantara mereka tidak ada orang yang dipatuhi. Dengan demikian, pemberontakan menurut definisi ulama Hanabilah tidak jauh berbeda dengan definisi ulama Syafi’iyah.
Secara terminologis, al-Baghyu adalah usaha melawan pemerintahan yang sah dengan terang-terangan atau nyata, baik dengan mengangkat senjata maupun tidak mengindahkan ketentuan yang digariskan oleh pemerintah. AsySyafi’i mengatakan, pemberontak adalah orang Muslim yang menyalahi Imam, dengan cara tidak mentaatinya dan melepaskan diri dari Imam, menolak kewajiban, yang memiliki kekuatan, argumentasi, dan pimpinan. Pemberontak adalah sekelompok kaum Muslim yang tidak menaati pemerintah yang sah. Mereka menolak menjalankan kewajiban yang diperintahkan dan memerangi jamaah kaum Muslim yang lain, dengan dalih perbedaan hukum yang mereka pahami dan yakini, mereka mengaku bahwa kebenaran berada di pihaknya dan kekuasaan berada di tangannya. Orang-orang seperti ini wajib diperangi oleh kaum Muslim bersama pemerintah yang adil.
Keempat definisi al-baghyu di atas jika dicermati, tampak berlainan antara satu dan yang lainnya. Hal ini dikarenakan para ulama dalam merumuskan definisi berdasarkan pada syarat yang harus dipenuhi dan tidak bertolak dari rukun dan pokok tindak pidana tersebut. Biasanya dalam mendefinisikan suatu konsep, ulama fiqh berusaha untuk memasukkan rukun dan syarat konsep dimaksud, sehingga definisi yang dikemukakan bersifat tuntas dan utuh.
2. Dasar Hukum Pelarangan Pemberontakan
Adapun yang menjadi landasan hukum pelaku pidana pemberontak, dalam hukum pidana Islam yaitu :
a. Dalil al-Qur’an
Dalil tentang pemberontakkan adalah firman Allah SWT;
Artinya: Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar Perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau Dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orangorang yang Berlaku adil. (Qs. al-Hujurāt: 9).
Kemudian dalam ayat berikutnya, firman Allah SWT:
Artinya: Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. (Qs. al-Hujurāt: 10).
b. Dalil As-Sunnah
Adapun dalil sunah tentang pemberontakkan adalah sabda Rasulullah SAW;
Abu Kuraib dan Abu as-Sa’ib Salim bin Janadah menyampaikan kepada kami dari Abu Usmah, dari Buraid bin Abdullah bin Abu Burdah, dari kakeknya, Abu Burdah, dari Musa bahwa Nabi SAW bersabda, “Siapa yang menghunus Senjata untuk memerangi kami maka dia bukan termasuk golongan kami. ( HR. Ibnu Umar).
Kemudian perintah oleh Allah dan Rasul untuk taat dan patuh terhadap pemimpin, sebagaimana sabda Rasulullah SAW;
Abu Bakar bin Abu Syaibah dan Ali bin Muhammad menyampaikan kepada kami dari Waki’, dari al-A’masy, dari Abu Salih, dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda, “siapa yang mematuhuiku berarti dia mematuhi Allah dan siapa yang durhaka kepada ku berarti dia durhaka kepada Allah. Siapa yang mematuhi pemimipin berarti dia mematuhiku dan siapa yang durka kepada pemimpin berarti dia durhaka kepada ku. (HR. Ibnu Majah).
Di dalam hadis lain, dengan matan yang berbeda juga memerintahkan untuk taat dan patuh terhadap pemimpin, walaupun pemimpin itu tidak pintar, sebagaimana sabda Rasulullah SAW;
Muhammad bin Basyar dan Abu bin Bisyr Bakr bin Khalaf menyampaikan kepada kami dari Yahya bin Sa’id, dari Syu’bah, dari Abu at-Tayyah, dari Anas bin Mallik bahwa Rasulullah SAW bersabda: “dengarkan dan patuhilah (seorang pemimpin) sekalipun dia seorang budak Habasyi yang diangkat menjadi pemimpin kalian, meskipun kepalanya kecil (tidak pintar). (HR. Ibnu Majah).
3. Unsur-Unsur Tindak Pidana Pemberontakan
Unsur-unsur pemberontakan adalah melawan pemerintahan yang sah atau melepaskan diri atau keluar dari kekuasaan Imam dan kesengajaan atau iktikad tidak baik. Melepaskan diri atau keluar merupakan perbuatan menentang dan mencoba menjatuhkan kekuasaan Imam dengan alasan politis. Hal ini keluar dari Imam tanpa alasan politis, hanya dikategorikan sebagai pengacau keamanan atau perampokan biasa. Adapun dikategorikan pemberontakkan adalah mereka yang mempunyai kekuatan, dalam arti banyaknya personel serta persenjataan yang memungkinkan mereka mengadakan perlawanan dan memiliki pimpinan sebagai pengganti Imam yang ditinggalkan.
Menurut Abu Hanifah, yang dikategorikan sebagai pemberontak walaupun belum ada perlawanan apabila mereka telah berkumpul dan merencanakan tindakan. Mereka yang kembali dan meletakkan senjata, pemerintah tidak boleh memeranginya dan memperlakukan secara adil, seperti warga yang lain.
Di dalam buku Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, dijelaskan unsur-unsur jarimah pemberontakan itu ada tiga, diantaranya:
a. Pembangkangan terhadap Kepala Negara
Agar terwujud tindak pidana pemberontakan, disyaratkan ada upaya untuk melawan Imam atau kepala negara. Pengertian pembangkangan adalah menentang Imam atau kepala negara dan berusaha untuk menjatuhkannya atau tidak mau memenuhi atau melaksanakan kewajiban yang telah ditetapkan. Kewajiban tersebut bisa berupa hak Allah yang ditetapkan untuk kemaslahatan bersama, atau hak manusia yang ditetapkan untuk kemaslahatan perseorangan. Dengan demikian, termasuk di dalam masalah ini adalah setiap hak penguasa atas rakyat yang ditetapkan oleh hukum Islam, hak masyarakat atas perseorangan. Hak perseorangan atas perorangan (individu). Contohnya, seperti penolakan untuk membayar zakat, penolakan untuk melaksanakan putusan hakim, seperti hukuman had zina atau hukuman qisas.
Akan tetapi berdasarkan kesepakatan para fuqaha, penolakan untuk tunduk kepada perintah yang menjurus kepada kemaksiatan, bukan merupakan pemberontakan, melainkan merupakan suatu kewajiban. Hal ini oleh karena ketaatan tidak diwajibkan kecuali dalam kebaikan, tidak boleh dalam kemaksiatan. Oleh karena itu apabila seorang Imam (kepala Negara) memerintahkan suatu yang bertentangan dengan syari’at maka tidak ada kewajiban bagi siapapun untuk mentaati apa yang diperintahkanya.
Pembangkangan kadang-kadang ditujukan kepada Imam atau kepala negara, dan kadang-kadang kepada pejabat yang ditunjuk atau mewakilinya. Pejabat tersebut antara lain menteri, hakim atau pejabat-pejabat dibawahnya. Dalam sistem Imamah, penguasa tertinggi oleh para fuqaha disebut dengan istilah Imam yang diatasnya tidak ada lagi Imam, sedangkan penguasa dibawahnya apabila pemerintahannya berdiri sendiri disebuat Imam secara mutlak, atau dengan wakil Imam apabila mewakili Al-Imam Al-A’zham.
b. Pembangkangan Dilakukan Dengan Menggunakan Senjata
Agar tindakan pembangkangan dianggap sebagai pemberontakan, disyaratkan harus disertai dengan penggunaan dan pengerahan kekuatan. Apabila sikap tersebut tidak disertai dengan penggunaan kekuatan maka hal itu dianggap sebagai pemberontakan. Contoh seperti kengganan untuk membait (mendukung) seorang Imam, setalah didukung oleh suara mayoritas (orang banyak), walaupun ia mengajak orang lain untuk memecat Imam tersebut, dan ia tidak tunduk kepadanya; atau menolak untuk melaksanakan kewajiban tetapi baru sebatas ajakan semata.
Dalam sejarah misalnya, Sa’ad bin Ubadah tidak mau membaiat Abu Bakar, sampai ia meninggal. Contoh lain seperti pembangkangan (keluarnya) kelompok Khawarij dari Ali. Mereka tidak dianggap pemberontak, sampai mereka mewujudkan sikapnya itu dengan menggunakan kekuatan. Jadi, apabila baru sebatas ide, sikap tersebut belum termasuk pemberontakan.
c. Adanya niat yang melawan hukum (al-Qasḍ al-Jinaīy)
Untuk terwujudnya tindak pidana pemberontakan, disyaratkan adanya niat melawan hukum dari mereka yang membangkang. Unsur ini terpenuhi apabila seseorang bermaksud menggunakan kekuatan untuk menjatuhkan Imam atau tidak menaatinya. Apabila tidak ada maksud untuk keluar dari Imam atau tidak ada maksud untuk menggunakan kekuatan maka perbuatan pembangkangan itu belum dikategorikan sebagai pemberontakan.
Untuk bisa dianggap keluar dari Imam, disyaratkan bahwa pelaku bermaksud untuk mencopot (menggulingkan) Imam, atau tidak mentaatinya,atau menolak untuk melaksanakan kewajiaban yang diebankan oleh syara’. Dengan demikian, apabila niat atau tujuan pembangkangannya untuk menolak kemaksiatan, pelaku tidak dianggap sebagai pemberontak. Apabila seorang pembangkang melakukan jarimah-jarimah sebelum mughalabāh (penggunaan kekuatan) atau selesainya pemberontakan maka disini tidak diperlukan adanya niat untuk memberontak, karena dalam hal ini ia tidak dihukum sebagai pemberontak, melainkan sebagai jarimah biasa.
4. Hukuman Kelompok Pemberontak
a. Memerangi mereka dan meminta untuk bertobat.
Jika kelompok pemberontak sudah tidak memiliki pertahanan dan kekuatan, Ulil Amri menangkap dan memenjarakan hingga mereka bertobat. Jika mereka memiliki pertahanan dan kekuatan dalam kondisi siap berperang, maka pemerintah harus mengambil langkah-langkah persuasif untuk mengajak kembali patuh kepada Ulil Amri. Jika masih tidak dihiraukan maka boleh diperangi sampai mereka kalah, dan boleh membunuh para anggota kelompok pemberontak yang sudah melarikan diri.
Persejataan milik pemberontak boleh di sita dan dirampas untuk digunakan jika memang kaum Muslim membutuhkanya. Seorang imam boleh melakukan hal itu terhadap harta orang yang adil (patuh kepada pemimpin dan pemerintah) jika memang kondisi yang ada membutuhkan hal itu, maka secara prioritas hal ini tentunya juga boleh dilakukan terhadap pemberontak. Adapun harta benda pemberontak, maka Imam menahan dan menyitanya dari tangan pemberontak hingga pemberontak tidak lagi melakukan pemberontakan. Jika pemberontak sudah tidak bersikap memberontak lagi, maka harta para pemberontak itu baru bisa dikembalikan lagi. Harta benda pemberontak tidak bisa dimiliki dengan berdasarkan penundukkan terhadap mereka, karena mereka adalah orang-orang Islam.
b. Apakah mereka dikenai sanski denda ganti rugi dan tuntutan pertanggung jawaban atas jiwa dan harta yang mereka rusak.
Ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iah dan Hanabilah mereka menyatakan bahwa kelompok pemberontak yang melandaskan sikap pemberontakkannya pada suatu pemahaman dan interprestasi. Mereka tidak dikenai denda ganti rugi dan tuntutan pertanggungjawaban atas jiwa dan harta benda yang mereka rusak saat berkecamuknya perang.
Hal ini berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh az-Zuhri, ia mengatakan, mayoritas terbesar umat Islam pada saat terjadi konflik horizontal, termasuk di dalamnya adalah para sahabat yang sebelumnya pernah ikut dalam perang Badr, bersepakat yakni dalam berbagai konflik yang mereka lalui seperti perang jamal, dan perang shiffīn bahwa hukuman hadḍ tidak ditegakkan terhadap seseorang yang menghalalkan kemaluan yang haram yang hal itu ia landaskan suatu hasil pemahaman interprestasi dari al-Qur’an. Bahwa hukuman mati tidak di tegakkan terhadap seseorang yang mengalirkan darah yang diharamkan yang dilandaskan pada suatu hasil pemahaman interprestasi dari al-Qur’an.
Ulama juga sepakat, bahwa aḥlul adli (kaum muslimin yang taat dan patuh kepada pemerintahan Islam) jika pemberontak membunuh kelompok pemberontak, ia tidak berdosa dan tidak pula terkena kewajiban membayar kafarat, juga tidak terkena denda ganti rugi atas harta benda kelompok pemberontak yang dirusakkan.
c. Hukuman untuk berbagai kejahatan yang dilakukan oleh kelompok pemberontak.
Menurut ulama Hanafiyah, hukuman ḥadd tidak bisa ditegakkan terhadap kelompok pemberontak, karena imam tidak memiliki kekuasaan dan kewenagan atas dārul baghyi. Ulama Malikiyah dan ulama Hanabilah sependapat dengan ulama Hanafiyah dalam hal bahwa kelompok pemberontak tidak menanggung denda atas jiwa dan harta benda yang mereka rusakkan di tengah-tengah berkecamuknya konflik, dan mereka tidak dikenai hukuman ḥadd.
Sementara itu, Imam Syafi’i mengatakan, seorang anggota pemberontak apabila mereka mengambil sesuatu dari harta kaum Muslimin, maka ia dikenai hukuman potong tangan, meskipun itu ia lakukan di kawasan kekuasaan kelompok pemberontak. Karena berarti ia adalah orang yang melakukan kejahatan, sehingga sama saja apakah ia memiliki kawasan yang menjadi markas pertahanan dan perlindungan maupun tidak. Karena seorang pelaku kejahatan seharusnya berhak untuk diperberat, bukan justru diberi keringanan.
Sementara itu, dalam buku M. Nurul Irfan & Masyrofah, Fiqh Jinayah,dijelaskan dalam menentukan sanksi terhadap para pelaku pemberontakan, ulama fiqh membagi jarimah pemberontak itu menjadi dua bentuk, yaitu sebagai berikut;
• Pemberontak yang tidak memiliki kekuatan senjata dan tidak menguasai daerah tertentu sebagai basis mereka, pemerintah boleh memenjarakan mereka sampai mereka bertaubat.
• Para pemberontak yang menguasai suatu daerah dan memiliki kekuatan senjata, pemerintah harus melakukan tindakan sesuai dengan petunjuk al-Hujarāt ayat 9. Pemerintah harus mengimbau mereka untuk mematuhi segala peraturan yang berlaku. Apabila usaha ini disambut dengan senjata, maka pemerintah boleh memeranginya.
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa untuk menjatuhkan sanksi bagi pelaku jarimah al-Baghyu ini harus dilakukan secara berhati-hati dan tidak boleh gegabah. Sebab bagaimanapun yang dihadapi oleh pemerintah itu bukan musuh yang harus dibunuh, melainkan sedang berhadapan dengan pihak yang kecewa terhadap kebijakan yang selama ini telah dijalankan. Selain itu, sangat mungkin pemberontak itu beragama Islam, sama dengan pemerintah yang mau menghukumnya. Oleh sebab itu, dalam menjatuhkan sanksi betul-betul haru dicermati dengan baik.
5. Pertanggungjawaban Pidana & Perdata Pelaku Jarimah al-Baghyu dalam Hukum Pidana Islam
Pertanggungjawaban pemberontak secara pidana dan perdata berbeda-beda bentuknya dan disesuaikan dengan kondisi yang ada di dalamnya. Tanggung jawab yang harus dipukul sebelum dan sesudah terjadinya pertempuran berbeda dengan ketika pemberontak dalam kondisi pertempuran.
a. Tanggunng Jawab Pemberontak Sebelum dan Sesudah Pertempuran atau Pemberontakkan
Pemberontak harus bertanggung jawab secara perdata dan pidana atas
setiap tindak pidana yang dilakukan sebelum dan setelah terjadi pertempuran
sebagaimana tindak pidana pada umumnya. Jika ia membunuh dan memenuhi syarat-syarat qisas, ia harus di qisas. Jika ia mengambil harta dengan cara sembunyi-sembunyi dan memenuhi syarat-syarat pencurian, ia harus dihukum sebagai pencuri. Jika ia menggasab harta atau merusaknya, ia harus dihukum sesuai dengan ketentuan hukum atas orang yang tidak menunaikan kewajiban. Apapun kondisinya, ia juga wajib membayar ganti rugi seperti biasanya jika ia melakukan hal-hal yang mewajibkan ganti rugi, seperti pencurian, gasab dan perusakan.
b. Tanggung Jawab Pemberontak Pada Saat Pertempuran
Tindak pidana yang dilakukan pemberontak ditengah pertempuran adakalanya berkaitan dengan kondisi perang dan adakalanya tidak. Jika tindak pidana berkaitan langsung dengan pemberontakan seperti melawan pasukan pemerintah, membunuh, menguasai negara dan hukumnya, menguasai fasilitas umum dan pajak, merusak jalan-jalan utama dan jalan tol (jalan layang), membakar benteng-benteng, merusak gerbang-gerbang, tempat penitipan dan perbuatan lainnya yang memang menjadi kelaziman (berkaitan dengan) pertempuaran, pemberontak tidak dihukum dengan hukuman biasa. Semua yang pemberontak lakukan digolongkan sebagai tindak pemberontakan.
Dalam tindak pidana pemberontakan, hukum Islam menganggap cukup
menumpahkan darah dan harta pemberontak dengan kadar yang bisa memberikan efek jera dan menumpas mereka. Jika pemerintah berhasil menumpas para pemberontak dan mereka meletakkan senjata, darah dan harta mereka menjadi maksum (mendapat jaminan keamanan).
Pihak penguasa hendaknya mengampuni mereka atau memberikan hukuman takzir atas pemberontakannya, bukan atas tindak pidana dan perbuatan yang mereka lakukan pada saat mereka memberontak karena hukuman yang dijatuhkan atas pemberontak dalam situasi pertempuran adalah diperangi, jika diperangi dianggap sebagai hukuman (‘uqubah), dan hal-hal yang berkaitan dengan peperangan diantaranya adalah dibunuh, dilukai, atau dipotong tangan atau kaki.
Pada realitasnya, peperangan tidak dianggap sebagai hukuman (‘uqubah),tetapi lebih sebagai sarana untuk menumpas gerakan para pemberontak agar mereka kembali taat. Jika memerangi mereka adalah hukuman (‘uqubah), berarti pihak penguasa boleh membunuh pemberontak setelah mengalahkan pihak pemberontak, karena hukuman yang diberikan adalah balasan atas apa yang terjadi. Para ulama sepakat, jika pertempuran berakhir, memerangi dan membunuh mereka tidak dibolehkan. Perbedaan pendapat terbatas dalam masalah hukum membunuh tawanan dan mempercepat kematian orang yang terluka ketika terjadi pemberontakan, di mana sebagian ulama membolehkan dan sebagian tidak membolehkan.
Jika pertempuran berakhir, darah pemberontak menjadi maksum. Pemberontakan adalah faktor yang menghalalkan darahnya dan tidak ada
pemberontakan jika tidak ada peperangan. Tindak pidana yang tidak berkaitan dengan pertempuran (pemberontakan) dan dilakukan pemberontak pada saat peperangan dianggap sebagai tindak pidana biasa dan hukumannya adalah hukuman biasa. Misalnya, meminum minuman keras ditengah peperangan.
c. Tanggung Jawab Pemberontak Secara Perdata
Tidak ada kewajiban atas pemberontak untuk mengganti rugi kerusakan yang ia timbulkan pada saat pertempuran berlangsung, baik jiwa maupun harta. Syaratnya, kerusakan tersebut sudah menjadi kelaziman dalam pertempuran. Jika kerusakan tersebut bukan hal yang lazim terjadi dalam peperangan atau ia merusak barang-barang tidak dalam kondisi perang, si pemberontak wajib mengganti rugi.
Jika harta tidak rusak atau rusak sebagian, pemberontak harus mengembalikan barang tersebut dan mengganti rugi sesuai dengan kerusakan yang terjadi. Syaratnya, kerusakan tersebut tidak termasuk kelaziman pertempuran. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah dan Ahmad bin Hanbal, juga menjadi pendapat yang shahih dalam mazhab Syafi’i.
Ada sebuah pendapat dalam mazhab Syafi’i yang mengharuskan pemberontak mengganti rugi semua kerusakan yang pelaku pemberontak timbulkan, baik jiwa maupun harta, baik di luar maupun di dalam pertempuran, karena kerusakan yang dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan. Para ulama yang berpendapat demikian tidak mewajibkan qisas dalam pembunuhan. Para ulama berpendapat mengugurkan qisas karena ada syubhat dan mewajibkan pemberontak untuk membayar diyat orang-orang yang dibunuh dalam pemberontakan.
Ulama yang mewajibkan ganti rugi berdalih bahwa Abu Bakar berkata
kepada orang-orang yang murtad, “Kalian (wajib) membayar diyat korban kami, dan kami tidak wajib membayar diyat korban kalian”. Alasan lainnya, jiwa dan harta yang dirusak merupakan harta yang dirusak tanpa alasan yang benar dan tidak dalam kondisi terdesak. Karenanya, ganti rugi diwajibkan, tidak ubahnya harta yang rusak dalam kondisi selain perang. terbesar yang pernah terjadi ditengah para sahabat, yang melibatkan para veteran perang badar, menyempakati tidak adanya hukuman huduḍ atas laki-laki yang menghalalkan farji yang haram melalui takwil al-Qur’an, tidak membunuh laki-laki yang menumpahkan darah yang diharamkan melalui takwil al-Qur’an, dan tidak membayar ganti rugi melalui takwil al-Qur’an. Alasannya, pemberontak adalah kelompok yang menolak taat dengan cara perang dan memiliki takwil yang layak. Maka dari itu, ia tidak wajib membayar ganti rugi atas milik orang lain yang ia rusak, sebagaimana halnya aḥlul al-‘adl (golongan yang tidak memberontak). Selain itu, mewajibkan mereka mengganti rugi akan membuat mereka enggan untuk kembali taat. Jadi, mereka tidak perlu mengganti rugi sebagaimana halnya kafir harbi di haruskan mengganti rugi.
Imam Malik berpendapat bahwa pemberontak tidak diwajibkan mengganti rugi walaupun ia banyak melakukan tindak pidana, baik merusak jiwa maupun harta, asalkan ia memenuhi dua syarat. Pertama, pemberontak harus memiliki takwil. Jika tidak, ia harus membayar ganti rugi. Kedua, perusakan terjadi pada saat pemberontakan dan merupakan hal yang lazim terjadi dalam masa perang.
Imam Malik menyebut pemberontak yang tidak mempunyai takwil yang layak dan keluar dari keadilan sebagai pembangkang. Akan tetapi, seseorang yang tidak memiliki takwil tidak disebut pembangkang. Selama ia tidak keluar dari keadilan. Hukumnya sama dengan orang yang memiliki takwil yang layak.
Dengan demikian, pertanggungjawaban tindak pidana pemberontak baik perdata maupun pidana, seluruh tindakan pemberontakan, baik yang bersifat pidana dan perdata yang dilakukan sebelum dan sesudah pemberontakan wajib dipertanggungjawabkan. Jika pemberontak melakukan pembunuhan, pencurian, dan pemerkosaan; pemberontak harus dikenakan sanksi pidana sesuai dengan jarimah yang dilakukan. Apabila membunuh, maka harus di qishash; apabila mencuri, maka harus dipotong tangan; apabila memerkosa, maka harus dikenakan hukuman zina; apabila melenyapkan harta, maka dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
B. Jarimah Meminum Khamr
1. Pengertian Meminum Khamr
Khamar (khamr) berasal dari kata khamara –yakhmuru atau yakhmiru yang secara etimologi berarti tertutup, terhalang, atau tersembunyi. Sedangkan secara terminologi terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama fiqh. Menurut Imam Malik, Imam Syafi‟i, dan Imam Ahmad, khamr adalah minum minuman yang memabukkan baik minuman tersebut dinamakan khamr maupun bukan khamr, baik berasal dari perasan anggur maupun berasal dari bahan-bahan yang lain. Pengertian asy-syurbu menurut Imam Abu Hanifah adalah meminum minuman khamr saja, baik yang diminum itu banyak maupun sedikit.
Jumhur ulama‟ fiqh menyatakan bahwa minuman keras adalah setiap minuman yang di dalamnya terdapat zat yang memabukkan, baik minuman itu dinamakan khamr atau bukan, terbuat dari anggur atau bukan. Pengarang kitab alHidayah menerangkan, bahwa khamr menurut bahasa adalah minuman yang berasal dari perasan anggur. Sedangkan, Menurut Ibnu Arabikhamr itu arak, karena khamr ditinggalkan dalam waktu yang lama sehingga mengalami perubahan. Perubahan tersebut dicirikan dengan baunya. Semua arti leksicon tersebut bisa diterapkan pada semua jenis minuman yang memabukkan.
Pengertian khamr menurut Sayid Sabiq yaitu benda cair yang sudah dikenal pembuatannya dengan cara fermentasi dari biji-bijian atau buah-buahan, yang mana kandungan gula yang ada padanya berubah menjadi alkohol, melalui proses persenyawaan dengan zat tertentu yang harus dicampurkan untuk terjadinya proses fermentasi tersebut
Dari definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Khamr adalah semua jenis minuman atau zat yang memabukkan baik yang terbuat dari anggur, kurma, madu, gandum, atau bahan lainnya, baik diminum atau dikonsumsi sedikit maupun banyak.
2. Dasar Hukum Meminum Khamr
Meminum minuman khamr adalah perbuatan yang dilarang. Para peminum khamr dinilai sebagai perilaku setan. Dalil hukum yang mengatur tentang sanksi hukum peminum khamr diungkapkan oleh Allah dalam Alquran secara bertahap tentang status hukum. Hal itu diungkapkan sebagai berikut:
a. Ayat-ayat Al-quran
Surah Al-Baqarah ayat 219
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا...
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya..”
Surah An-nisa’ ayat 43
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَقْرَبُواْ الصَّلاَةَ وَأَنتُمْ سُكَارَى حَتَّىَ تَعْلَمُواْ مَا تَقُولُونَ...
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu sholat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan”.
Surah Al-Maidah ayat 90-91
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ. إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاء فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَن ذِكْرِ اللّهِ وَعَنِ الصَّلاَةِ فَهَلْ أَنتُم مُّنتَهُونَ.
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang. Apakah kamu tidak ingin menghentikan”
b. Hadits
Riwayat dari Ibnu Umar ra.
“Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra. Berkata: Umar telah berkhutbah di atas mimbar Rasulullah Saw. Beliau mengucap syukur kepada Allah dan memuji-Nya, kemudian dia berkhutbah: Sesungguhnya arak telah diharamkan oleh Allah berdasarkan ayat Alquran. Arak yang dimaksud, terdiri dari lima macam jenis, yaitu gandum, barli, tamar, zabib dan madu. Arak ialah benda yang menyebabkan hilang akal yaitu mabuk”
3. Unsur-Unsur Jarimah Minuman Khamr
a. Asy-Syurbu (meminum)
Sesuai pengertian asy-syurbu (minuman) sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, Imam Malik, Imam Syafi’I, dan Imam Ahmad berpendapat bahwa unsur ini (Asy-Syurbu) terpenuhi apabila pelaku meminum sesuatu yang memabukkan. Dalam hal ini tidak diperhatikan nama dari minuman itu dan dari bahan apa minuman itu diproduksi. Dengan demikian, tidak ada perbedaan apakah yang diminum itu dibuat dari perasan buah anggur, gandum, kurma, tebu, maupun bahan-bahan yang lainnya. Demikian pula tidak diperhatikan kadar kekuatan memabukkannya, baik sedikit maupun banyak, hukumannya tetap haram.
Dianggap meminum apabila barang yang diminumnya telah sampai ke tenggorokan. Apabila minuman tersebut tidak sampai ke tenggorokan maka tidak dianggap meminum, seperti berkumur-kumur. Demikian pula termasuk kepada perbuatan meminum, apabila meminum minuman khamr tersebut dimaksudkan untuk menghilangkan haus, padahal ada air yang dapat diminumnya. Akan tetapi, apabila hal itu dilakukan karena terpaksa (darurat) atau dipaksa, pelaku tidak dikenai hukuman.
Apabila seseorang meminum khamr untuk obat maka para fuqaha berbeda pendapat mengenai status hukumnya. Menurut pendapat yang rajah dalam madzhab Maliki, Syafi’I, dan Hanbali, berobat dengan meggunakan (minuman) khamr merupakan perbuatan yang dilarang, dan peminumnya (pelaku) dapat dikenai hukuman had. Alas an mereka adalah hadits Nabi Saw.
b. Ada Niat yang Melawan Hukum
Unsur ini terpenuhi apabila seseorang melakukan perbuatan minum minuman keras (khamr) padahal ia tahu bahwa apa yang diminumnya itu adalah khamr atau muskir. Dengan demikian, apabila seseorang minum minuman yang memabukkan, tetapi ia menyangka bahwa apa yang diminumnya itu adalah minuman biasa yang tidak memabukkan maka ia tidak dikenai hukuman had, karena tidak ada unsur melawan hukum.
Apabila seseorang tidak tahu bahwa minuman khamr itu dilarang, walaupun ia tahu bahwa barang tersebut memabukkan maka dalam hal ini unsur melawan hukum (qasad jina’i) belum terpenuhi. Akan tetapi, alasan tidak tahu hukum tidak biasa diterima dari orang-orang yang hidup dan berdomisili di negeri dan lingkungan islam
4. Pembuktian Jarimah asy-Syurbul Khamr
Pembuktian untuk jarimah syurb al-khamr dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Saksi
Jumlah saksi yang diperlukan untuk membuktikan jarimah khamr adalah dua orang yang memenuhi syarat-syarat persaksian, sebagaimana yang telah diuraikan dalam jarimah zina dan qadzaf. Disamping itu Imam Abu Hanifah dan Imam Abu Yusuf mensyaratkan masih terdapatnya bau minuman pada waktu dilaksanakan persaksian. Dengan demikian, kedua imam ini mengaitkan persaksian dengan bau minuman keras (khamr). Akan tetapi, Imam Muhammad Ibn Hasan tidak mensyaratkan hal ini, syarat lain yang dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya adalah persaksian atau peristiwa minum khamrnya itu belum kadaluarsa. Batas kadaluwarsa menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Abu Yusuf adalah hilangnya bau minuman. Adapun menurut Muhammad Ibn Hasan batas kadaluarsa adalah satu bulan. Adapun menurut imam-imam yang lain, tidak ada kadaluarsa dalam persaksian untuk membuktikan jarimah syurb al-khamr.
b. Pengakuan
Adanya pengakuan pelaku. Pengakuan ini cukup satu kali dan tidak perlu diulang-ulang sampai empat kali. Ketentuan-ketentuan yang berlaku untuk pengakuan dalam jarimah zina juga berlaku untuk jarimah syurb al-khamr .Imam Abu Hanifah dan Imam Abu Yusuf mensyaratkan pengakuan tersebut sebelum kadaluarsa. akan tetapi, imam-imam lain tidak mensyaratkan.
c. Qinayah
Jarimah syurb al-khamr juga bisa dibuktikan dengan qarinah atau tanda. Qarinahtersebut antara lain:
• Bau Minuman
Imam Malik berpendapat bahwa bau minuman keras dari mulut orang yang meminum merupakan suatu bukti dilakukannya perbuatan minuman khamr, meskipun tidak ada saksi. Akan tetapi, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi‟i, dan pendapat yang rajih dari Imam Ahmad berpendapat bahwa bau minuman semata-mata tidak bisa dijadikan sebagai alat bukti, karena sebenarnya mungkin saja ia sebenarnya tidak minum, melainkan hanya berkumur-kumur, atau ia menyangka apa yang diminumnya itu adalah air, bukan khamr.
• Mabuk
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa mabuknya seseorang sudah merupakan bukti bahwa ia melakukan perbuatan meminum minuman keras (khamr). Apabila dua orang atau lebih menemukan seseorang dalam keadaan mabuk itu harus dikenai hukuman hadd, yaitu dera empat puluh kali. Pendapat ini juga merupakan pendapat Imam Malik. akan tetapi, Imam Syafi‟i dan salah satu pendapat Imam Ahmad tidak menganggap mabuk semata-mata sebagai alat bukti tanpa ditunjang dengan bukti yang lain. Sebabnya adalah adanya kemungkinan minumnya itu dipaksa atau karena kesalahan.
• Muntah
Imam Malik berpendapat bahwa muntah merupakan alat bukti yang lebih kuat daripada sekedar bau minuman, karena pelaku tidak akan muntah kecuali setelah meminum minuman keras. akan tetapi Imam Abu Hanifah, Imam Syafi‟i, dan Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya tidak menganggap muntah sebagai alat bukti, kecuali apabila ditunjang dengan bukti-bukti yang lain, misalnya terdapatnya bau minuman keras dalam muntahnya.
C. Jarimah Murtad (Al-Riddah)
Al-riddah berasal dari kata irtadda, menurut wazan ifta’ala, berasal dari kata radda yang artinya: “berbalik”. Kata riddah dan irtidad, dua-duanya berarti “kembali kepada jalan, dari mana orang datang semula”, tetapi kata riddah khusus digunakan dalam arti “kembali pada kekafiran”, dan orang yang kembali dari Islam pada kekafiran, disebut murtad.
Kata riddah atau irtidād mengandung pengertian “berpindah”, dan kata riddah ‘an al-Islām berarti “keluar dari Islam”. Dalam wacana hukum Islam, ia dipahami sebagai “keluar dari agama Islam menuju kepada kekafiran, baik dengan niat, ucapan, maupun tindakan, baik dimaksudkan sebagai senda gurau, atau dengan sikap permusuhan maupun karena suatu keyakinan.” Termasuk dalam kategori riddah adalah pengingkaran terhadap ajaran-ajaran agama Islam yang sudah pasti, pelecehan terhadap Islam, atau penghinaan terhadap Allah dan Rasul-Nya.
Pengertian ini mencakup keluar dari iman dan kembali ke kafir, baik iman itu didahului kekafiran – seperti orang kafir, beriman, dan kembali kafir maupun tidak didahului kekafiran. Keduanya itu disebut murtad millah (agama) dan murtad fitri (alami).
Riddah adalah kembali ke jalan asal (status sebelumnya). Di sini yang dimaksud dengan riddah, adalah kembalinya orang yang beragama Islam yang berakal dan dewasa, ke kekafiran dengan kehendaknya sendiri, tanpa paksaan dari orang lain; baik itu laki-laki maupun perempuan. Dengan demikian, maka logislah bila orang gila dan anak kecil, tak bisa dinyatakan kembali ke kafiran, karena mereka bukan mukallaf.
Menurut Wahbah al-Zuhayli dalam kitabnya al-Fiqh al-Islamiyyu wa Adillatuh, arti riddah menurut bahasa: kembali dari sesuatu ke sesuatu yang lainnya. Lebih buruk dari pada kafir dan berat pula hukumannya, dan sia-sia amal perbuatannya, jika mati dalam kekafiran. Murtad tersebut termasuk perbuatan maksiat yang besar dan diancam Allah dengan dosa dan azab akhirat, melebihi kejahatan menolak bergama Islam.
Sedangkan al-riddah menurut istilah ulama’ adalah kembali dari Islam ke kafir, maka murtad adalah seseorang yang kembali dari Islam ke kufur, dan riddah disini meliputi tiga hal, pertama adalah riddah dengan perkataan,seperti mencela para Nabi dan menghina mereka (cemooh atau ejekan “istihza”), kedua adalah riddah dengan tindakan seperti sujud terhadap patung atau berhala atau sesuatu yang disembah selain Allah meletakkan kitab Allah dalam sampah dan perlawanan atau penentangan “’inad”,ketiga adalah riddah dengan keyakinan seperti menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal atau mengingkari rukun Islam.
Dengan berbagai macam definisi riddah di atas, dapat disimpulkan bahwa riddah berasal dari radda berarti kembali (secara etimologis). Adapun dalam arti terminologis, riddah adalah kembalinya seseorang dari agama Islam ke kufr atau meninggalkan Islam. Dalam arti lain disebut juga kafir sesudah beriman.
Dengan adanya ancaman dalam bentuk hukuman dunia itu, maka riddah termasuk dalam salah satu tindak kejahatan yang dikenai ancaman hukuman hudud. Hukuman hudud dilaksanakan bila telah terpenuhi syarat dan rukun dari pelaksanaan hud d tersebut, yaitu:
1. Tindakan itu adalah keluar dari agama Islam ( اﻟﺮﺟﻮع ﻋﻦ اﻹﺳﻼم ), dengan melalui salah satu cara sebagaimana disebutkan sebelumnya, yakni melakukan sesuatu melalui perbuatan yang secara jelas dengan dalil yang pasti dalam teks al-Qur’an dan al-Sunnah, dan melalui ucapan dan akidah (al-riddah bi al-fi’l, al-qawl wa al-aqi > dah).
2. Keluar dari agama Islam itu dilakukan dengan niat, sengaja dan penuh kesadaran serta mengetahui bahwa tindakannya itu dilarang agama dengan ancaman hukuman dunia dan akhirat.
Selanjutnya Muhammad Rawas Qal’ahjiy berpendapat bahwa seseorang tidak dianggap murtad, kecuali orang tersebut mempunyai beberapa syarat diantaranya sebagai berikut.
1. Islam yaitu, disyaratkan bagi orang murtad adalah orang yang sebelumnya sudah memeluk agama Islam, kemudian ia meninggalkan Islam dan pindah ke agama selain Islam. Oleh karena itu, hukuman riddah tidak berlaku pada orang Yahudi yang meninggalkan agamanya pindah ke agama kristen atau sebaliknya. Tindakan itu dilakukannya dalam beragama Islam. Pindahnya non muslim dari satu agama ke agama lain, tidak disebut murtad, karena kekafiran itu sama tingkatannya antara satu dengan lainnya.
2. Balig dan berakal. Apabila orang gila, tidur, pemabuk dan semacamnya, jika mereka berucap riddah, maka tidak dianggap murtad, karena mereka berucap tidak menggunakan akal, dan apabila seorang yang belum balig atau berumur murtad, maka riddah-nya tidak dianggap, karena akalnya belum sempurna. Dengan pernyataan yang sama, Amir Syarifuddin berpendapat, pelaku tindakan riddah itu, adalah seseorang yang telah dewasa dan berakal sehat. Murtad yang dilakukan oleh anak-anak atau orang gila, tidak termasuk kepada tindakan yang dikenai hukuman mati. Hal ini dinyatakan dalam hadis Nabi SAW sebagai berikut:
“Diangkatkan al-qalam (tuntunan hukuman) dari tiga pihak: dari anak-anak sehinggan dia dewasa, dan dari orang yang tidur sampai dia terbangun dan dari orang gila sampai dia berakal atau sembuh”
3. Berniat dan Ikhtiyar. Tindakan riddah itu dilakukan secara sadar dengan kehendak sendiri. Apabila tindakan seorang muslim, karena terpaksa mengucapkan kalimat kufur, maka ia tidak kafir, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-Nahl (16): 106. Orang yang salah berucap dengan kalimat kafir, atau karena kebodohanya sehingga ia tidak tahu bahwa ucapannya bisa mengkafirkannya, maka ia tidak dianggap kafir.
4. Bertakwa dan beriman (ma’rufan bi al-taqwa wa husn al-iman). Ibn Taymiyah berpendapat, tidak boleh mengkafirkan salah satu ulama muslim,mhanya dikarenakan salah bicara atau berpendapat.
Jenis –jenis Riddah dalam islam
Dalam pembahasan ini, dikelompokkan perbuatan dan macam-macam riddah, sebagai berikut :
1. Riddah dengan ucapan, adalah: 1. Mencaci Allah SWT atau Rasul-Nya SAW., atau malaikat-malaikat-Nya atau salah seorang dari Rasul-Nya, 2. Mengaku mengetahui ilmu ghaib atau mengaku nabi atau membenarkan orang yang mengaku sebagai nabi, 3.Berdo’a kepada selain Allah atau memohon pertolongan kepada-Nya.
2. Riddah dengan perbuatan, adalah sebagai berikut: 1. sujud kepada patung, pohon, batu, kuburan dan memberikan sembelihan untuknya, 2. membuang mushaf al-Qur’an ditempat-tempat yang kotor, 3. melakukan sihir, mempelajari dan mengajarkannya, 4. memutuskan hukum dengan selain apa yang diturunkan Allah dan meyakini kebolehannya.
3. Riddah dengan i’tiqa > d (kepercayaan), adalah sebagai berikut: kepercayaan adanya sekutu bagi Allah atau kepercayaan bahwa zina, khamr dan riba adalah halal atau hal semisalnya yang telah disepakati kehalalan, keharaman atau wajibnya secara ijma’ (konsensus) yang pasti, yang tidak seorangpun tidak mengetahuinya.
Sebagian ulama berpendapat bahwa riddah ada dua jenis: Pertama, riddah mujarradah (kemurtadan murni). Kedua, riddah mughalladah (kemurtadan berat), yang oleh syariat harus diganjar hukuman bunuh. Berdasarkan dalil-dalil syariat, maka terhadap kedua jenis riddah itu wajib dijatuhi hukuman bunuh. Hanya saja, dalil-dalil yang menunjukkan gugurnya hukum bunuh, karena bertaubat hanya terarah kepada jenis pertama, sedangkan terhadap jenis kedua, maka dalil-dalil menunjukkan wajibnya membunuh pelakunya, karena tidak terdapat nash maupun ijma' yang menggugurkan hukum bunuh tersebut.
Dalam kitab al-Mawsu’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah, jenis riddah ada empat, yaitu:
1. Riddah mujarradah, yaitu riddah dikarenakan kurang begitu faham dengan ajaran atau riddah karena bujukan, anjuran atau dorongan dari agama-agama lain. Perbuatan riddah tersebut taubatnya diterima.
2. Riddah mughalladah, yaitu riddah seseorang yang mengerti atau faham ajaran Islam dan berniat menghancurkan orang Islam, atau tamak jabatan atau harta yang menyebabkannya pindah agama. Jenis perbuatan riddah ini taubatnya tidak diterima, akan tetapi segera dibunuh oleh hakim.
3. Al-riddah ila din: seperti seseorang meninggalkan Islam, karena pindah ke agama sama seperti Yahudi dan Nasrani, atau ke non-agama sama seperti Hindu.
4. Al-riddah ila ghair din: seperti seseorang meninggalkan Islam pindah ke zindiq (tidak beriman kepada Allah dan tidak percaya agama-agama lainnya).
Macam-macam Hukum Riddah
Apostasy atau konversi agama (riddah) mendapat hukuman (al-‘uqubat ) yang berbeda-beda tergantung tempat dan waktu kejahatan itu berlaku (dhuruf al-jarimah), yaitu Hukuman asal, hukuman ganti, dan hukuman tambahan. Adapun penjabarannya sebagai berikut.
1. Hukum Asal atau Pokok
Pidana pokok untuk jarimah riddah adalah pidana mati. Sanksi pidana pokok lain, adalah pidana penjara. Akan tetapi ini hanya berlaku bagi perempuan yang murtad (murtadah). Pada dasarnya hukuman asal riddah adalah dibunuh sebagaimana sabda Rasulullah SAW. Dibunuh adalah hukuman secara umum bagi seorang murtad, dan tidak membedakan laki-laki atau perempuan, muda atau tua.
Akan tetapi Abu Hanifah berpendapat, perempuan tidak dibunuh karena riddah, tapi ia dipaksa masuk Islam. Adapun paksaannya ke Islam dengan cara dipenjara, dan ia dikeluarkan bila ia bertaubat dan masuk Islam. Apabila tidak, maka ia dikurung sampai ia masuk Islam atau mati. Hujjah Abu Hanifah adalah sesungguhnya Rasulullah SAW melarang membunuh perempuan kafir. Apabila seorang perempuan tidak dibunuh karena perempuan kafir, maka lebih utama tidak membunuh seorang perempuan yang berbuat riddah.
Sedangkan madhhab-madhhab lainnya berbeda pendapat dengan madhhab Abu Hanifah, karena madhhab lain tidak membedakan antara lakilaki dan perempuan. Hukuman murtad bagi perempuan (murtadah) adalah hukuman mati sebagaimana hukuman murtad bagi laki-laki (murtad).
2. Hukum Pengganti
Hukuman pengganti pada orang yang berbuat riddah (konversi agama) dilihat dari dua keadaan: Keadaan pertama, pidana pengganti diberikan kepada pelaku riddah, apabila sanksi pidana pokok tidak dapat diterapkan, yaitu jika pelaku riddah telah bertaubat. Sanksi pidana pengganti ini adalah ta’zir yang diputuskan oleh penguasa atau hakim (al-qadi), sesuai dengan tindak kejahatan, berupa penahanan sementara, dera, denda atau pencelaan dirinya, dan penahanan sementara tersebut tidak ada batasnya sehingga muncul islah.
Keadaan kedua, apabila ada kesamaran, sebagaimana pendapat Abu Hanifah, bahwa sanksi pidana pokok tidak dapat diterapkan pada perempuan murtadah dan anak murtad. Pendapat Imam Malik, bahwa keduanya dipenjara sampai masuk Islam dan dipaksa masuk Islam.
3. Hukum Tambahan
Sanksi pidana tambahan untuk pelaku riddah, adalah merampas hartanya dan hilangnya hak terpidana untuk mengelola hartanya (tasarruf almal). Menurut salah satu pendapat dari al-Malikiyyah dan al-Hanabilah, dan rajih dari al Shafi’iyyah, bahwa harta orang murtad yang telah dibunuh, menjadi harta fay’ (harta rampasan) di bayt al-mal (kas negara) kaum muslimin, dan didistribusikan kepada penerima fay’, karena harta tersebut tidak boleh diwarisi orang muslim atau orang kafir.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
al-Baghyu adalah usaha melawan pemerintahan yang sah dengan terang-terangan atau nyata, baik dengan mengangkat senjata maupun tidak mengindahkan ketentuan yang digariskan oleh pemerintah. AsySyafi’i mengatakan, pemberontak adalah orang Muslim yang menyalahi Imam, dengan cara tidak mentaatinya dan melepaskan diri dari Imam, menolak kewajiban, yang memiliki kekuatan, argumentasi, dan pimpinan. Pemberontak adalah sekelompok kaum Muslim yang tidak menaati pemerintah yang sah. Mereka menolak menjalankan kewajiban yang diperintahkan dan memerangi jamaah kaum Muslim yang lain, dengan dalih perbedaan hukum yang mereka pahami dan yakini, mereka mengaku bahwa kebenaran berada di pihaknya dan kekuasaan berada di tangannya. Orang-orang seperti ini wajib diperangi oleh kaum Muslim bersama pemerintah yang adil.
Khamar (khamr) berasal dari kata khamara –yakhmuru atau yakhmiru yang secara etimologi berarti tertutup, terhalang, atau tersembunyi. Sedangkan secara terminologi terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama fiqh. Menurut Imam Malik, Imam Syafi‟i, dan Imam Ahmad, khamr adalah minum minuman yang memabukkan baik minuman tersebut dinamakan khamr maupun bukan khamr, baik berasal dari perasan anggur maupun berasal dari bahan-bahan yang lain.
Riddah adalah kembali ke jalan asal (status sebelumnya). Di sini yang dimaksud dengan riddah, adalah kembalinya orang yang beragama Islam yang berakal dan dewasa, ke kekafiran dengan kehendaknya sendiri, tanpa paksaan dari orang lain; baik itu laki-laki maupun perempuan. Dengan demikian, maka logislah bila orang gila dan anak kecil, tak bisa dinyatakan kembali ke kafiran, karena mereka bukan mukallaf.
B. Saran
Apabila ingin mengerjakan makalah seperti diatas, saya sarankan agar pembaca lebih memperbanyak referensinya. Agar memiliki pembahasan yang lebih luas dan tidak kewalahan dalam mengerjakannya. Dan untuk para pembaca yang menggunakan alat elektronik maka saya sarankan agar lebih teliti. Agar susunannya tidak teracak sehingga meyusahkan pembaca untuk menyusunnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Qadir Audah, al-Tasyrī’ al-Jinā’ī al-Islāmī Muqāran bi al-Qānūn al-Waḍ’ī, diterjemahkan: Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Jilid V, (terj: Tim Tsalisah), (Bogor: PT. Kharisma Ilmu, tt)
Mustofa Hasan & Beni Ahmad Saebani, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah) Dilengkapi dengan Kajian Hukum Pidana Islam, cet ke-I, (Bandung: Pustaka Setia, 2013)
M. Nurul Irfan & Masyrofah, Fiqh Jinayah, cet ke-II, (Jakarta: Amzah, 2014)
Abu Isa Muhammad bin Isa At-Tirmidzi, Jami’ at-Tirmidzi, (terj: Tim Darussunah, Idris,dkk.,), (Jakarta: al-Mahira, 2013)
Abu Abdullah Muhammad bin Yazid al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, (terj: Saifuddin Zuhri), (Jakarta: almahira, 2013)
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005)
Wahabah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid VII, (terj: Abdul Hayyie alKattani, dkk), (Jakarta: Gema Insani, 2011)
Atabik Ali, dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Arab Indonesia,Yogyakarta: Multi Gaya Grafika
H.M.K. Bakrie, Hukum Pidana Dalam Islam, Sala: Ramadhani, 1958
Abd al-Adzim Ma‟ani dan Ahmad al-Ghundur, Maqashid asySyari’ah, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003
Sulaiman Ahmad Yahya al-Faifi, Ringkasan Fikih Sunnah Sayid Sabiq, Jakarta: Pustaka Pinang, 2009
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam ,(Jakrta: Sinar Grafika, 2007).
Abū al-Fadl Jamāl al-Dīn Muhammad b. Mukram Ibn Manzūr, Lisān al-‘Arab, Juz 3, Cet. ke-1, (Beirut: Dār al-Fikr, 1990)
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Vol. 4, Cet. ke-4, (Jakarta: Ichtiar van Hoeve, 2000), 1233.
‘Abd al-Karīm Zaydān, al-‘Uqūbah fī al-Sharī‘ah al-Islāmiyyah, Cet. ke-2 (Kairo: Mu’assasah alRisālah, 1988)
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh (Jakarta: Kencana, 2003), 317-318. Lih. Abd al-Qadir ‘Awda, al-Tasri’ al-Jina’i, juz II, 707,719.
Qal’ahjiy, al-Mawsu’ah, jilid I, 946-947. Lih., Taqiyyuddin, Kifayat al-Akhyar
Abd al-Qadir ‘Awda, al-Tashri @’ al-Jina>i Muqa>ranan bi al-Qanun al-wad‘i (Beirut: Muassasah alRisalah, 1421 H/2000M), juz II, 720.
Amir ‘Abd al-‘Aziz, al-Fiqh al-Jinai fi al-Islam (tt: Dar al-Salam, tt), 413. Lih, ‘Awda, Tashri’ alJina @ ’i, juz 2, 728.
Atabik Ali, dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Arab Indonesia,Yogyakarta: Multi Gaya Grafika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar