JARIMAH QISHASH-DIYAT
Makalah Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata
Kuliah Fiqh Jinayah Prodi Hukum Keluarga Islam pada Fakultas Syariah dan Hukum Islam
IAIN BONE
Oleh
KELOMPOK
9
FATIMAH ZAHRAH
NIM.01.17.1212
ALDIANSYAH
NURDIN
NIM.01.17.1224
FAKULTAS
SYARIAH FAKULTAS HUKUM
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BONE
2020
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat, karunia, serta
taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Jarimah Qishash-Diyat”. Disamping itu,
kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
kami selama pembuatan makalah ini berlangsung sehingga terselesaikanlah makalah
ini.
Kami sangat berharap
makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita
mengenai Jarimah
Qishash-Diyat. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di
dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab
itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang
telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna
tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat
dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya makalah yang telah disusun
ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya
kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan
kami memohon kritik dan saran yang membangun dari anda demi perbaikan makalah
ini di waktu yang akan datang.
Bone, 17 Februari 2020
Penyusun
DAFTAR
ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i
KATA PENGANTAR.......................................................................................... ii
DAFTAR ISI........................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah..................................................................... 1
B. Rumusan
Masalah............................................................................... 2
C. Tujuan
Penulisan................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian
Jarimah, Qishash dan Diyat........................................ 3
B. Dasar
Hukum Qishash dan Diyat ................................................ 6
C. Macam-Macam
Qishash dan Diyat………………………...........
12
D. Akibat/Hukuman
Qishash dan Diyat……………………………. 23
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................... 33
B. Saran ............................................................................................ 34
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Dalam literatur masyarakat, khusus
dalam kehidupan Islam terdapat berbagai permasalahan yang menyangkut tindakan pelanggaran
yang dilakukan manusia. Dengan adanya hal itu, maka dibuatlah aturan yang
mempunyai kekuatan hukum dengan berbagai macam sangsi. Sangsi yang
diberikan sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan. Maka dari itu,
dalam hukum Islam diterapkan jarimah (hukuman) dalam hukum Jinayah Islam yang
bertindak sebagai preventif (pencegahan) kepada setiap manusia, dan tujuan
utamanya adalah supaya jera dan merasa berdosa jika ia melanggar. Maka dari itu
adanya Qishash bukan sebagai tindakan yang sadis namun ini sebuah alternatif
demi terciptanya hidup dan kehidupan yang sesuai dengan Sunnah dan
ketentuan-ketentuan Ilahi.
Sebenarnya kalau hukum yang dibuat
manusia belum sepenuhnya bisa mengikat, dan hal tersebut bisa direkayasa
sekaligus bisa dilanggar, karena pada intinya hanya hukum Islam lah yang sangat
cocok bagi kehidupan manusia di dunia. Hal ini terbukti dengan adanya hukum Islam banyak negara
yang merasa cocok dengan berlakunya hukum Islam. Tapi ada satu hal yang masih
menjadi pertanyaan apakah benar hukum islam itu sulit diterapkan dalam suatu
tatanan kemasyarakatan atau itu hanya sebuah alasan dari sgelintir orang yang
tidak suka terhadap aturan tersebut.
Dalam
makalah ini diajukan beberapa hal yang menyangkut pelanggaran dan sangsi sesuai
dengan perbuatannya itu. Maka dari itu didalam makalah ini akan dibahas
mengenai Qishash/Diyat. Setelah mengetahui berbagi macam hukuman yang
diakibatkan atas pelanggaran seseorang maka diharapkan akan muncul suatu hikmah
dan tujuan kenapa hukuman itu ada dan dilaksanakan.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
uraian diatas maka penulis merumuskan sub pokok masalah sebagai beikut :
1. Apa
pengertian jarimah, qishash dan diyat?
2. Apa
dasar hukum qishash dan diyat?
3. Apsa
macam-macam qishash dan diyat?
4. Bagaimana
akibat/hukuman dari qishash dan diyat?
C. Tujuan
Penulisan
Dari
rumusan masalah di atas maka tujuan penulisannya, yaitu sebagai berikut:
1. Untuk
mengetahui pengertian jarimah, qishash dan diyat.
2. Untuk
mengetahui dasar hukum qishash dan diyat.
3. Untuk
mengetahui macam-macam qishash dan diyat.
4. Untuk
mengetahui akibat/hukuman dari qishash dan diyat.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Jarimah, Qishash dan Diyat
1. Pengertian Jarimah
Jarimah
berasal dari bahasa Arab جريمة yang berarti perbuatan dosa dan atau tindak pidana. Dalam
terminologi hukum Islam, jarimah diartikan sebagai perbuatan-perbuatan yang
dilarang oleh menurut syara dan ditentukan hukumannya oleh Tuhan, baik dalam
bentuk sanksi-sanksi yang sudah jelas ketentuannya (had) maupun
sanksi-sanksi yang belum jelas ketentuannya oleh Tuhan (ta'zir).
Dalam pembahasan mengenai tindak pidana kejahatan beserta sangsi hukumannya
disebut dengan istilah jarimah atau uqubah. Jarimah dibagi menjadi dua, yaitu
jinayat dan hudud. Jinayat membahas tentang pelaku tindak kejahatan beserta
sanksi hukuman yang berkaitan dengan pembunuhan yang meliputi qishash, diyat
dan kafarat. Sedangkan Hudud membahas tentang pelaku tindak kejahatan selain
pembunuhan yaitu masalah penganiayaan beserta sangsi hukumannya yang meliputi
zina, qadzaf, mencuri, miras, menyamun, merampok, merompak dan bughah.
2. Pengertian Qishas
Secara etimologis قصاص dari
kata Qashoshon- Yaqushu- Qoshan yang berarti تتبعته (mengikuti), menelusuri jejak atau langkah (تتبع الأثر ) seperti قصصت الأثر berarti:
“aku mengikuti jejaknya”. Hal ini sebagaimana firman Allah :
tA$s% y7Ï9ºs $tB $¨Zä. Æ÷ö7tR 4 #£s?ö$$sù #n?tã $yJÏdÍ$rO#uä $TÁ|Ás% ÇÏÍÈ
Artinya :
“Musa berkata, “Itulah (tempat) yang kita cari.” Lalu
keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. (QS. Al- Kahfi /18 :
64)[1]
Adapun arti qishash secara terminologi yang dikemukakan oleh
Al- Jurnani adalah yang mengenakan sebuah tindakan (sanki hukum) kepada pelaku
persis seperti tindakan yang dilakukan oleh pelaku tersebut (terhadap korban).[2]
Sementara itu dalam Al- Mu’jam Al- Wasit, qishash
diartikan dengan menjatuhkan sanki hukum kepada pelaku tindak pidana sama
persis dengan tindak pidana yang dilakukan, nyawa dengan nyawa dan anggota
tubuh dibalas dengan anggota tubuh.[3]
Berdasarkan
tafsiran Al-Quran Qishaash ialah mengambil pembalasan yang sama. qishaash itu
tidak dilakukan, bila yang membunuh mendapat kema'afan dari ahli waris yang
terbunuh Yaitu dengan membayar diat (ganti rugi) yang wajar. pembayaran diat
diminta dengan baik, umpamanya dengan tidak mendesak yang membunuh, dan yang
membunuh hendaklah membayarnya dengan baik, umpamanya tidak
menangguh-nangguhkannya. bila ahli waris si korban sesudah Tuhan menjelaskan
hukum-hukum ini, membunuh yang bukan si pembunuh, atau membunuh si pembunuh
setelah menerima diat, Maka terhadapnya di dunia diambil qishaash dan di
akhirat Dia mendapat siksa yang pedih.
Sedangkan
Syaikh Prof. Dr. Shalih bin Fauzan mendefiniskannya dengan, “Al-Qisas adalah
perbuatan (pembalasan) korban atau walinya terhadap pelaku kejahatan sama atau
seperti perbuatan pelaku tadi.”
Jadi dapat kita
simpulkan bahwa Qisas adalah pembalasan yang serupa yang dilakukan terhadap
seseorang yang melakukan tindak penganiayaan atau kejahatan yang merugikan
orang lain sesuai dengan perbuatan atau pelanggarannya, baik itu terbunuh,melukai,
merusak anggota badan,atau mnghilngkan manfaatnya. Atau Qisas adalah meng-ambil
pembalasan yang sama atau serupa, mirip dengan istilah “utang nyawa dibayar
dengan nyawa”.
Dengan demikian, nyawa pelaku pembunuhan dapat dihilangkan
karena ia pernah menghilangkan nyawa korban atau pelaku penganiyaan boleh
dianiaya karena ia pernah menganiaaya korban.
3.
Pengertian Diyat
Diyat
adalah harta yang harus ditunaikan disebabkan tindak kejahatan dan
diserahkan kepada pihak korban atau walinya. Dikatan wadaitu al-qatil. Maksudnya adalah
aku menyerahkan diyat kepada pihak korban. Ketentuan diyat berlaku
terkait tindak kejahatannya yang ada qishasnya dan
yang tidak ada qishasnya. Diyat juga disebut aqal (ikatan)
yang pada mulanya adalah lantaran lantaran jika seseorang melakukan tindak
pembunuhan terhadap orang lain¸maka dia mengumpulkan diyat sejumlah
unta lantas dia mengikatnya dihalaman para wali pihak korban. Maksdunya dia
mengikat unta-unta itu dengan talinya untuk diserahkan kepada mereka. Dikatakan ‘aqaltu
‘an (saya memberikan aqal atas nama fulan ). Yaitu jika saya
membayarkan diyat atas namanya lantaran tindak kejahatan yang dilakukannya.[4]
Diyat
adalah ialah denda pengganti jiwa yang tidak berlaku atau tidak dilakukan
padanya hukum bunuh.[5]
B.
Dasar Hukum Qishash dan Diyat
1. Dasar hukum
mengenai qishash yaitu:
a.
Q.S Al-Baqarah
178-179:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNä3øn=tæ ÞÉ$|ÁÉ)ø9$# Îû n=÷Fs)ø9$# ( çtø:$# Ìhçtø:$$Î/ ßö6yèø9$#ur Ïö7yèø9$$Î/ 4Ós\RW{$#ur 4Ós\RW{$$Î/ 4 ô`yJsù uÅ"ãã ¼ã&s! ô`ÏB ÏmÅzr& ÖäóÓx« 7í$t6Ïo?$$sù Å$rã÷èyJø9$$Î/ íä!#yr&ur Ïmøs9Î) 9`»|¡ômÎ*Î/ 3 y7Ï9ºs ×#ÏÿørB `ÏiB öNä3În/§ ×pyJômuur 3 Ç`yJsù 3ytGôã$# y÷èt/ y7Ï9ºs ¼ã&s#sù ë>#xtã ÒOÏ9r& ÇÊÐÑÈ öNä3s9ur Îû ÄÉ$|ÁÉ)ø9$# ×o4quym Í<'ré'¯»t É=»t6ø9F{$# öNà6¯=yès9 tbqà)Gs? ÇÊÐÒÈ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan
atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka
dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka
Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang
mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af)
membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang
demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat.
Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat
pedih”.[6]
b.
Al-Isra’ 33:
wur (#qè=çFø)s? }§øÿ¨Z9$# ÓÉL©9$# tP§ym ª!$# wÎ) Èd,ysø9$$Î/ 3 `tBur @ÏFè% $YBqè=ôàtB ôs)sù $uZù=yèy_ ¾ÏmÍhÏ9uqÏ9 $YZ»sÜù=ß xsù Ìó¡ç Îpû È@÷Fs)ø9$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. #YqÝÁZtB ÇÌÌÈ
Artinya:
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang
diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar dan
Barangsiapa dibunuh secara zalim, Maka Sesungguhnya Kami telah memberi
kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas
dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan”.[7]
c.
Al-Maidah 45:
$oYö;tFx.ur öNÍkön=tã !$pkÏù ¨br& }§øÿ¨Z9$# ħøÿ¨Z9$$Î/ ú÷üyèø9$#ur Èû÷üyèø9$$Î/ y#RF{$#ur É#RF{$$Î/ cèW{$#ur ÈbèW{$$Î/ £`Åb¡9$#ur Çd`Åb¡9$$Î/ yyrãàfø9$#ur ÒÉ$|ÁÏ% 4 `yJsù X£|Ás? ¾ÏmÎ/ uqßgsù ×ou$¤ÿ2 ¼ã&©! 4 `tBur óO©9 Nà6øts !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqßJÎ=»©à9$# ÇÍÎÈ
Artinya:
“Dan Kami
telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa
(dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan
telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak
kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa
tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu
adalah orang-orang yang zalim”[8]
d. Hadis Nabi Muhammad SAW:
لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ
إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ الثَّيِّبُ
الزَّانِي وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالتَّارِكُ لِدِينِهِ الْمُفَارِقُ
لِلْجَمَاعَة,
Artinya:
“Tidak halal darah seorang muslim yang
bersyahadah bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah sesungguhnya aku adalah
rasulullah kecuali dengan salah satu dari 3 orang yaitu seorang duda yang
berzina, pembunuh disebabkan oleh pembunuhannya, dan orang yang meninggalkan
agamanya yang berpisah terhadap jama’ah”.
e.
Kewajiban qishash merupakan ijmak umat Islam
f.
Rasional: Secara akal pasti menuntut adanya qhisash.
Dari segi keadilan dengan gambarang diperlakukannya
orang yang membunuh sesuai dengan cara dia melakukan jinayah tersebut. Dari
segi kemaslahatan yaitu demi menuntut keamanan orang awam, menjaga jiwa,
menahan pelaku jinayah dan semua ini tidak mungkin sukses kecuali dengan
qishash. Ini berdasarkan ayat { وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ}, yang berarti: “Dan dalam kisas itu
ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal”.
Sedangkan dalil dari as-Sunnah lainnya di antaranya adalah hadits Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:“Barangsiapa yang menjadi keluarga korban terbunuh maka
ia memilih dua pilihan, bisa memilih diyat dan bisa juga dibunuh (qisas).” (HR.
al-Jama’ah).
Ayat dan hadits
di atas menunjukkan bahwa wali (keluarga) korban pembunuhan dengan sengaja
memiliki pilihan untuk membunuh pelaku tersebut (qisas) bila menghendakinya,
bila tidak bisa memilih diyat dan pengampunan. Pada asalnya, pengampunan lebih utama, selama tidak
mengantar kepada mafsadat (kerusakan) atau ada kemashlahatan lainnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah me-rajih-kan,
bahwa pengampunan tidak boleh diberikan pada qatlu al-ghilah (pembunuhan dengan
memperdaya korban).
Sedangkan Ibnu al-Qayyim rahimahullah, ketika menyampaikan
kisah al-’Urayinin, menyatakan, “Qatlu al-ghilah mengharuskan pembunuhan pelaku
dilakukan secara had (hukuman), sehingga hukuman baginya tidak gugur dengan
adanya pengampunan dan tidak dilihat kembali kesetaraan (mukafah). Inilah
mazhab ahli Madinah dan salah satu dari dua pendapat dalam Mazhab Ahmad, serta
yang dirajihkan asy-Syaikh (Ibnu Taimiyah, pen) dan beliau rahimahullah
berfatwa dengan pendapat ini.”
2. Dasar hukum diyat dalam fiqh Islam adalah nash sebagai berikut:
a.
An-nisa: 92:
4 `tBur @tFs% $·YÏB÷sãB $\«sÜyz ãÌóstGsù 7pt7s%u 7poYÏB÷sB ×ptÏur îpyJ¯=|¡B #n<Î) ÿ¾Ï&Î#÷dr& HwÎ) br& (#qè%£¢Át 4
Artinya:
“Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah
(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar
diat yang diserahkan kepada keluarganya
(si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah.”[9]
Ayat ini
adalah diperuntukkan untuk pembunuhan yang tidak sengaja. Walau bagaimanapun,
ulama sepakat wajibnya membayar diyat dalam pembunuhan
yang sengaja ketika gugurnya kisas karena perdamaian.
b. Hadis Nabi ada banyak sekali tentang diyat hanya
saja yang paling terkenal ada sebuah tulisan tentang Fara’idhl, beberapa
sunnah dan diyât yang dikirimkan Nabi Muhammad SAW ke ahli
Yaman. Sebagian
tulisan tersebut adalah
إنَّ مَنْ اعْتَبَطَ مُؤْمِنًا
قَتْلًا عَنْ بَيِّنَةٍ فَإِنَّهُ قَوَدٌ إلَّا أَنْ يَرْضَى أَوْلِيَاءُ
الْمَقْتُولِ , وَأَنَّ فِي النَّفْسِ الدِّيَةَ مِائَةً مِنْ الْإِبِلِ.......,
Artinya:
“Sesungguhnya barangsiapa yang membunuh orang
mukmin dengan tanpa sebab yang sah dari pembuktian maka dia wajib dikisas
kecuali yang menjadi wali kepada si terbunuh meridhainya. Dan sesunggunya bagi
nyawa 100 unta……”.
c.
Ahli Ilmu telah bersepakat (ijmak) akan kewajiban diyat secara
keseluruhan.
d.
Di antara dalil
dari al-Qur‘ân adalah firman Allah Azza wa Jalla: Maka barangsiapa yang mendapat suatu permaafan dari saudaranya,
hendaklah yang memaafkan mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah yang
diberi maaf membayar diyat kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik
pula”. (Q.S.
Al-Baqarah/2: 178)
e.
Sedangkan dari
Sunnah di antaranya adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ قُتِلَ لَهُ قَتِيْلٌ فَهُوَ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ
إِمَّا أَنْ يُفْدَى وَإِمَّا أَنْ يُقْتَل
Artinya:
“Barangsiapa yang keluarganya
terbunuh maka ia bisa memilih dua pilihan, bisa memilih diyat dan bisa juga
memilih pelakunya dibunuh (qishâsh).”[HR al-Jamâ’ah].
Demikian juga kaum Muslimin telah bersepakat tentang
pensyariatan diyat pada jinâyat pembunuhan.
C. Macam-macam Qishash dan Diyat
1.
Macam-macam Qishash
Dalam
fiqih jinayah, sanksi qishash ada dua macam, yaitu sebagai berikut:
a.
Qishash karena melakukan jarimah pembunuhan (yang merupakan
hukuman bagi pembunuh).
b.
Qishash karena melakukan jarimah penganiyaan (yang merupakan
hukuman bagi pelaku tindak pidana melukai, merusak atau menghilangkan fungsi
anggota badan.
Maksud dari
macam-macam qishash adalah jenis-jenis dari kejahatan yang dihukum dengan
cara qishash.. Syaikh ‘Abdul Qadir ‘Awdah menjelaskan secara global ada 5 jenis
kejahatan yang masuk di dalam akibat hukum qishash yaitu :
a. Pembunuhan sengaja
(القتل العمد).
Bagian pertama (pembunuhan sengaja) adalah pembunuhan yang
pembunuh itu sengaja memukul orang lain dengan senjata seperti pedang, pisau,
tombak, timah, atau apa saja yang dapat digunakan sebagai senjata untuk
memisahkan anggota jasad seperti barang yang ditajamkan seperti kayu, batu,
api, dan jarum sebagai alat membunuh.
Pengertian tersebut didatangkan karena makna “العمد”
adalah sengaja. Sengaja adalah perkara yang samar yang tidak mungkin untuk
diketahui kecuali dengan bukti yang menunjukkan kepadanya. Bukti tersebut bisa
berupa penggunaan alat untuk membunuh. Maka alat tersebut dijadikan sebagai
bukti kesengajaan. Secara kesimpulan alat pembunuhan tersebut menempati
tempatnya pembunuhan dengan sengaja sebagai tempat persangkaan wujudnya niat
untuk membunuh.
b. Pembunuhan
sepertisengaja (القتل شبه العمد)
Bagian kedua (pembunuhan yang menyamai sengaja), menurut
mazhab Hanafi adalah sesuatu pembunuhan yang dilakukan dengan menggunakan alat
yang secara umumnya tidak menyebabkan kematian seperti batu kecil, kayu kecil,
tongkat kecil, atau sebuah tamparan.
Dari pengertian ini, maka gambarannya adalah ketika ada
orang melakukan sebuah pukulan yang secara umumnya tidak menyebabkan kematian
seperti sekali tamparan, atau dengan menumbuk satu kali; akan tetapi mangsa
mati, karena seperti ia memiliki sakit jantung atau lainnya, maka perbuatan ini
digolongkan sebagai pembunuhan yang menyamai sengaja.
Adapun pembunuhan yang dilakukan dengan memakai batu yang
besar, tongkat besar atau yang menyamainya dan bukan merupakan senjata, maka
terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama Hanafi. Menurut Imam Abu Hanifah,
ia termasuk dalam pembunuhan yang menyamai sengaja (شبه
العمد) sedangkan menurut dua
murid Mazhab Hanafi adalah termasuk dari pembunuhan sengaja (العمد).
Sedangkan menurut mazhab Syafi’i; pembunuhan yang menyerupai
sengaja adalah setiap perbuatan yang disengaja akan tetapi keliru dalam
membunuh; yaitu setiap perbuatan yang tidak diniatkan untuk membunuh, namun
menyebabkan kematian. Sebagian ulama Syafi’I mendefinisikan sebagai perbuatan
dengan niat melukai dengan sesuatu yang biasanya tidak mematikan, tetapi
menyebabkan kematian.[10]
Menurut Syaikh ‘Abd
al-Qâdir ‘Audah,
yang juga termasuk pembunuhan menyerupai sengaja adalah pembunuhan dengan cara
dipukul, dilukai, diracun, ditenggelamkan, dibakar, dibenturkan, dicekik, dan
setiap perbuatan yang termasuk pembunuhan disengaja
jika
pelaku tidak berniat membunuh walaupun berniat menyerang.
c. Pembunuhan tersalah
( القتل الخطأ )
Bagian ketiga (Pembunuhan yang tidak sengaja/tersalah)
adalah sebuah pembunuhan yang tidak ada niat membunuh atau memukul sama sekali.
Seperti tersalah di dalam niat atau dzann pelaku: melempar
sesuatu yang ia sangka haiwan buruan, ternyata manusia. Atau sangka ia
kafir harbî ternyata muslim. Maksud di sini adalah
kesalahan tersebut dikembalikan hati itu sendiri yaitu niat.
Termasuk di dalam pembunuhan tersalah adalah pembunuhan
karena uzur syar’î yang diterima seperti orang yang tidur
dengan tidak sengaja bergerak dan menjatuhi orang yang lain yang tidur di
sebelahnya sehingga menyebabkan orang tadi mati.
d. Pencederaan sengaja
(الجرح العمد)
Bagian keempat (pencederaan sengaja) adalah segala jenis
penyerangan terhadap jasad manusia seperti memotong anggota badan, melukai,
memukul, akan tetapi nyawa orang tersebut masih tetap dan perbuatan tersebut dilakukan
dengan sengaja.
Bagian kelima (pencederaan tidak sengaja) adalah si pelaku
berniat untuk melakukan pekerjaan tersebut tapi tidak dengan niat permusuhan,
seperti orang meletakkan batu di jendela, tanpa sengaja batu jatuh terkena
kepala orang sehingga pecah dan terlihat tulang kepala. Atau seperti orang yang
terjatuh di atas orang yang tidur dan menyebabkan tulang rusuk orang tadi
patah.
Dalam pencederaan (الجرح) tidak ada “شبه
العمد” adalah karena makna
dari menyamai sengaja adalah pukulan dengan sesuatu yang bukan senjata. Maka
wujudnya konsep “شبه العمد” adalah dianggap dari segi alat memukul itu. Konsep membunuh di
sini itu kasus hukumnya akan berbeda sesuai dengan alatnya. Sedanglan kerusakan
pada selain jiwa (الجرح) itu hukumnya tidak menjadi beda dengan berbedanya alat (sama).
Hanya saja dilihat dari segi hasil pencederaan tersebut yaitu sengaja atau
tidak sengaja. Maka menurut mazhab Hanafi, pencederaan yang memiliki kriteria “شبه العمد”
dimasukkan ke dalam konsep pencederaan yang sengaja.[12]
Menurut mazhab Syafi’I dan Hanbali pula, pencederaan yang
memiliki kriteria pembunuhan “شبه العمد” adalah termasuk pencederaan yang
tersalah/tidak sengaja (الخطأ). Ini dikarenakan menurut mereka “tidak kisas kecuali ketika
sengaja tidak pada tersalah dan yang menyamai sengaja” (لا قصاص إلا في الخطأ وشبه العمد).
Sanksi
hukum qishash yang diberlakukan terhadap pelaku pembunuhan sengaja (terencana)
terdapat dalam firman Allah berikut
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNä3øn=tæ ÞÉ$|ÁÉ)ø9$# Îû n=÷Fs)ø9$# (
Artinya:
“Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan
orang-orang yang dibunuh;(Q.S Al-Baqarah:178)[13]
Ayat ini berisi tentang hukuman
qishash bagi pembunuh yang melakukan kejahatannya secara sengaja dan pihak
keluarga korban tidak memaafkan pelaku. Kalau keluarga korban tidak memaafkan
pelaku, maka sanksi qishash tidak berlaku dan beralih menjadi hukuman diyat.[14]
Dengan demikian, tidak setiap pelaku
tindak pidana pembunuhan pasti diancam sanki qishash. Segala sesuatunya harus
diteliti secara mendalam mengenai motivasi, cara, faktor pendorong, dan teknis
ketika melakukan jarimah pembunuhan ini.
Ulama fiqh membedakan jarimah
pembunuhan menjadi tiga katagori, yaitu sebagai berikut:
a. Pembunuhan Sengaja
b. Pembunuhan semi sengaja
c. Pembunuhan tersalah.[15]
Ketiga macam pembunuhan di atas
disepakati oleh jumhur ulama, kecuali Imam Malik. Mengenal hal ini, Abdul Qadir
Audah mengatakan, perbedaan pendapat yang mendasar bahwa Imam Malik tidak
mengenal jenis pembunuhan semi sengaja, karena menurutnya di dalam Al-quran
hanya ada jenis pembunuhan sengaja dan tersalah. Barang siapa menambah satu
macam lagi, berarti ia menambah ketentuan nash.[16]
Dari tiga jenis tindak pidana
pembunuhan tersebut, sanksi hukuman qishash hanya berlaku pada pembunuhan jenis
pertama, yaitu jenis pembunuhan sengaja. Nash yang mewajibkan hukuman qishsh
ini tidak hanya berdasarkan Alquran, tetapi juga hadis Nabi dan tindakan para
sahabat.
Pernyataan diatas mewajibkan hukuman
qishash terhadap pelaku jarimah pembunuhan secara sengaja. Adapun dua jenis
pembunuhan lainnya, sanksi hukumannya berupa diyat. Demikian juga pembunuhan
sengaja yang dimaafkan oleh pihak keluarga korban, sanksi hukumannya berupa
diyat.
Adapun sebuah jarimah dikatagorikan
sengaja, diantaranya dijelaskan oleh Abu Ya’la sebagai
berikut: “Jika pelaku sengaja membubuh jiwa dengan benda
tajam, seperti besi, atau sesuatu yang dapat melukai daging, seperti melukainya
dengan besi atau dengan benda keras yang biasanya dapat dipakai membunuh itu
disebut sebagai pembunuhan sengaja yang pelakunya harus di qishash.”[17]
Selain itu, pendapat lain
yang dikemukakan oleh Abdul Qadir ‘Awdah sebagai berikut : “ Jika
pelaku tidak sengaja membunuh tetapi ia sekedar bermaksud menganiaya, maka
tindakannya tidak termasuk pembunuhan sengaja, walaupun tindakannya itu
mengakibatkan kematian korban. Dalam kondisi demikian, pembunuhan itu termasuk
kedalam katagori pembunuhan sengaja sebagaimana dikemukakan oleh ulam fiqh.”[18]
2.
Macam-macam Diyat
a. Diyat ditinjau dari kadarnya terbagi
kedalam dua macam, yaitu :
·
Diyat Mughalladzhah (Diyat berat)
Diyat Mughaladhah adalah denda
disebabkan karena membunuh seorang yang merdeka islam secara sengaja (‘amdin).
· Diyat Mukhafafah (Diyat ringan)
Diyat Mukhafafah yaitu
denda disebabkan karena pembunuhan seseorang islam tanpa disengaja (syibhul
‘amdin).
Perbedaan mendasar antara diyat ringan dan diyat berat
terletak pada jenis dan umur unta. Dari segi jumlah unta, antara diyat ringan
dan diyat berat sama-sama berjumlah 100 ekor. Akan tetapi, klo diyat ringan
hanya terdiri dari 20 ekor unta umur 0-1 tahun, 20 ekor yang lain umur 1-2
tahun, 20 ekor yang lain 2-3 tahun, 20 ekor yang lain umur 3-4 tahun, dan 20
ekor yang lain berumur 4-5 tahun. Sedangkat diyat berat terdiri dari tiga
katagori terakhir diatas ditambah 40 ekor unta yang disebut dengan khalifah,
yaitu unta yang sedang mengandung atau bunting.[19]
b.
Ditinjau Dari
Jenis Kejahatanya
1) Diyat pembunuhan
·
Pembunuhan
Sengaja (qotlu al-‘amd)
Diyat
pembunuhan sengaja menurut imam Syafi’i adalah seratus ekor unta di bagi tiga yaitu: tiga puluh
ekorunta hiqqah (unta yang memasuki tahun keempat), tiga puluh ekor unta jad’ah
(unta yang memasuki tahun kelima), dan empat puluh ekor unta khalifah (unta
yang sedang mengandung).
Hal ini
didasarkan atas hadits rasulullah saw yang diriwayatkan oleh umar bin syu’aib
dari bapaknya, bahwa rasulullah saw bersabda:
“Barang siapa membunuh dengan sengaja, maka diserahkna pada wali-wali terbunuh untuk memilih untuk membunuh kembali (qishash) atau diyat, yakni tiga puluh unta hiqqah,tiga puluh unta jada’ah, dan empat puluh unta khalifah, mana yang dianggap lebih maslahat baginya maka itu lebih baik baginya.”
“Barang siapa membunuh dengan sengaja, maka diserahkna pada wali-wali terbunuh untuk memilih untuk membunuh kembali (qishash) atau diyat, yakni tiga puluh unta hiqqah,tiga puluh unta jada’ah, dan empat puluh unta khalifah, mana yang dianggap lebih maslahat baginya maka itu lebih baik baginya.”
·
Pembunuhan
Mirip Sengaja (qotl al-khoto’ al-‘amd)
Imam ahmad dan
imam hanafi berpendapat bahwa diat bagi kasus pembunhan mirip sengaja dibagi
empat bagian yaitu: 25 unta bintu makhad; 25 unta bintu labun; 25 unta hiqqah;
dan 25 unta jad’ah. Sedangkan imam syafii menyamkan diyatnya denga pembunuhan
sengaja.
·
Pembunuhan
Tersalah (qotl al-khoto’)
Imam syafii
berpendapat bahwa diyat pembunuhan tersalah dibagi liam yaitu: 20 unta binti
makhad; 20 bintu labun; 20 unta hiqqah; 20 unta jad’ah; 20 unta ibni labun.
Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh al- Bukhary dan Turmudzi
dari ibnu mas’ud bahwa rasulullah saw bersabda: “Pada diyat pembunuhan tersalah
adalah 20 unta betina binti makhad; 20 unta jantan ibni makhad; 20 unta betina
ibni labun; 20 unta jad’ah; 20 unta hiqqah.”
2) Diyat selain pembunuhan
·
Pelukaan
Perkara yang
mewajibkan diyat adalah pelukaan dan pemotongan anggota badan. Tentang pelukaan
baik secara bahasa maupun secara hukum ada sepuluh yaitu:
Ø Al-Dhamiyah, yakni pelukaan mengeluarkan pada kulit
Ø Al-Harisah, yakni pelukaan yang
merobek kulit
Ø Al-Badhi’ah,
yakni pelukaan membelah daging
Ø Al-Mutalahimah, yakni pelukaan yang
masuk dalam daging
Ø Al-Simhaq,
yakni pelukaan yang kulit tipis antara daging dan tulang
Ø Al-Mudhihah, yakni pelukaan
menampakkan tulang atau membukanya.
Ø Al-Hasyimah, yakni pelukaan yang
sampai memecah tau mematahkan
Ø Al-Munaqilah, yakni pelukaan yang
sampai mengeluarkan tulang
Ø Al-Ma’mumah,
yakni pelukaan yang sampai pangkal otak
Ø Al-Jaifah pelukaan yang sampai kebagian dalam
Kesepuluh
pelukaan ini dinamakan al-syijaj, yang pelukaannya berpusat pada mika dan
kepala. Sedangkan pelukaan yang mengenai badan disebit al-jurh. Jenis
pelukaan yang telah disebutkan diatas akan mendapatkan diyat yang berbeda-beda
karena tingkat luka yang terjadi bertingkat-tingkat.
·
Pemotongan Anggota Badan
Manusia mempunyai anggota tubuh
diantaranya ada yang merupakan organ tunggal, seperti hidung, lidah dan penis.
Disamping itu ada pula organ-organ yang berpasangan, seperti kedua mata,
telinga, bibir, janggut, kaki, tangan, pelir, buah dada, pantat dan kedua bibir
kemaluan wanita.
Apabila sesorang merusak anggota
tunggal atau yang berpasangan milik orang lain, maka wajib ia membayar diyat
sepenuhnya (diyat penuh). Jka merusak salah satu dari anggota yang berpasangan
maka wajib membayar setengah diyat. Hal ini didasarkan pada hadits nabi saw
yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud sebagai berikut:
فى كل اثنين من الانسان الدية
Artinya:
“ pada tiap-tiap sepasang angota badan dari
manusia dikenakan diyat).
c.
Ditinjaui Dari Perbedaan Jenis dan Kafa’ah
Diyat itu berbeda-beda menurut perbedaan jenis dan kekufuan.
Mengnai faktor-faktor yang mempengharuhi pengurangan diyat adalah kewanitaan,
kerkafiran, kehambaan.
D.
Akibat/Hukuman dari Qishash dan Diyat
1. Penerapan hukuman qishash
a. Bagi pembunuhan sengaja (القتل العمد) maka sanksinya ada 3 yaitu :
·
Hukuman Pokok (al-‘uqubat al-ashliyah )
·
Hukuman Pengganti (al-‘uqubat
al-badaliyah)
·
Hukuman Tambahan (al-‘uqubat al-thaba’iyah)
Secara
global pembunuh dengan sengaja wajib terkena 3 perkara :
·
Dosa besar
·
Diqishash karena ada ayat qishash
·
Terhalang menerima warisan karena ada hadis “orang yang
membunuh tidak mendapat waris apapun”.
Hukuman pokok (uqubat ashliyah) untuk
pembunuhan sengaja adalah Qishash. Qishash di sini adalah hukum bunuh.
Ketika mustahiq al-qishâsh memaafkan dengan tanpa
meminta diyat, maka menurut mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’I
dalam sebuah pendapat ; maka tidak wajib bagi pembunuh tadi membayar diyat secara
paksa. Hanya saja baginya ia boleh memberinya sebagai gantian dari pemaafan
dari mustahiq al-qishâsh tadi. Secara hukum si mustahiq
al-qishâsh berhak untuk memaafkan secara gratis tanpa ada
tuntutan diyat.
Mustahiq
al-qishâsh juga berhak untuk memberi kemaafan dengan tuntutan diyat, banyak dan sedikitnya sesuai dengan kesepakatan
pembunuh. Diyat di sini dianggap sebagai gantian dari Qishash. Dalam
hal ini, hakim tidak boleh menetapkan hukuman pokok dengan gantiannya secara
bersamaan bagi sebuah pekerjaan. Dalam arti, ia tidak boleh diqishash dan
sekaligus membayar diyat.
Sedangkan cara qishash pula terjadi khilaf.
Menurut madzhab Hanafi, Qishash hanya boleh
dilaksanakan menggunakan senjata seperti pedang. Maksudnya, hukuman qishash
dilaksanakan hanya dengan senjata, tidak dengan membalas seperti cara pembunuh
tersebut membunuh atau lainnya.[20] Hukum ini juga ditetapkan menurut
sebuah riwayat yang paling shahih menurut madzhab hambali.
Hukuman Pengganti (al-uqubat badaliyah)
adalah membayar diyat mughalladzah. Menurut Imam al-Syafi’I
sebagai qaul jadîd diyat tersebut adalah 100 unta
bagi pembunuh lelaki yang merdeka. Jumlah 100 itu dibagi 3: 30 berupa
unta hiqqah, 30 unta jadza’ah, dan 40 unta khalifah.
Ketika tidak dapat ditemukan maka berpindah pada harga unta-unta tersebut.
Sedangkan menurut qaul qadîm jika tidak ada maka boleh
membayar 100 dinar atau 12000 dirham.
Seumpama pembunuhnya perempuan merdeka maka
ia adalah separuhnya diyat lelaki;
yaitu 50 unta. 15 berupa unta hiqqah, 15
unta jadza’ah, dan 20 unta khalifah.
Hukuman Tambahan (al-‘uqubat al-thaba’iyah)
kejahatan pembunuhan adalah terhalang untuk menerima waris dan wasiat. Dalam
hal waris ulama sepakat, sedangkan untuk wasiat masih terjadi perbedaan
pendapat.
b. Bagi Pembunuhan yang seperti sengaja
(القتل شبه العمد) maka sanksinya ada 3 yaitu :
·
Hukuman Pokok (al-‘uqubat ashliyah)
·
Hukuman Pengganti (al-‘uqubat badaliyah)
·
Hukuman Tambahan (al-‘uqubat al Thaba’iyah).
Hukuman Pokok
(uqubat ashliyah) bagi pembunuhan yang seperti sengaja adalah membayar diyat mughalladzah. Diyat ini
sama dengan membunuh dengan sengaja. Hanya saja bedanya berada pada penangung
jawab dan waktu membayarnya.
Hukuman pengganti
(uqubat badaliyah) bagi pembunuhan seperti sengaja ini adalah ta’zir. dan
hukuman tambahan (uqubat al-thaba’iyah) pembunuhan yang menyamai sengaja adalah
terhalang untuk menerima waris dan wasiat seperti yang telah lewat.
2. Penerapan hukuman diyat adalah :
a. Pembunuhan terhadap muslim
Pembunuhan
ada tiga yaitu :
·
Pembunuhan yang benar-benar di sengaja. adapun diyat yang
harus di tanggung bagi pelaku pidana jika ahli waris memaafkan yaitu :100 ekor unta
yang berbeda dalam masing-masing dan hal tersebut dapat di kelompokan sebagai
berikut :
وَأَخْرَجَهُ
أَبُو دَاوُدَ, وَاَلتِّرْمِذِيُّ: مِنْ طَرِيقِ عَمْرِوِ بْنِ شُعَيْبٍ, عَنْ
أَبِيهِ, عَنْ جَدِّهِ رَفَعَهُ :
(
اَلدِّيَةُ ثَلَاثُونَ حِقَّةً, وَثَلَاثُونَ جَذَعَةً, وَأَرْبَعُونَ خَلِفَةً
فِي بُطُونِهَا أَوْلَادُهَا (
Artinya:
“Abu Dawud dan Tirmidzi meriwayatkan
dari jalan Amar dan Ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya Radliyallaahu
'anhu dalam hadits marfu': "Diriwayatkan 30 ekor hiqqah, 30 ekor jadz'ah,
dan 40 ekor unta bunting yang diperutnya ada anaknya.
v 30 ekor unta hiqqah(yang telah
berumur 3 tahun)
v 30 ekor unta jadza’ah(yang telah
berumur 4 tahun)
v 40 ekor unta khalifah(unta yang
telah positif bunting) yang dinyatakan oleh ahli dan disaksikan oleh dua orang
yang adil.[21]
·
Pembunuhan seperti di sengaja.adapun diyat bagi si pelaku
pidana yaitu sama denganpembunuhan dengan sengaja,yaitu dangan 100 ekor unta
dengan pengelompokan yang sama.
وَعَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم
( عَقْلُ شِبْهِ اَلْعَمْدِ مُغَلَّظٌ
مِثْلُ عَقْلِ اَلْعَمْدِ, وَلَا يَقْتَلُ صَاحِبُهُ, وَذَلِكَ أَنْ يَنْزُوَ
اَلشَّيْطَانُ, فَتَكُونُ دِمَاءٌ بَيْنَ اَلنَّاسِ فِي غَيْرِ ضَغِينَةٍ, وَلَا
حَمْلِ سِلَاحٍ ) أَخْرَجَهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ وَضَعَّفَهُ
Artinya:
“Dari dia bahwa
Rasulullah Saw bersabda: "Diyat orang yang membunuh seperti disengaja itu
berat, seperti diyat orang yang membunuh dengan sengaja, namun pembunuhnya
tidak dibunuh. Yang demikian itu karena godaan syetan sehingga terjadi
pertumpahan darah antara orang-orang tanpa rasa dengki dan tanpa membawa
senjata." riwayat Daruquthni.”
·
Pembunuhan yang tidak di sengaja atau kekliruan(khata’)
adapun diyatnya sebagai berikut.
وَعَنْ
اِبْنِ مَسْعُودٍ رضي الله عنه عَنْ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: (
دِيَةُ اَلْخَطَأَ أَخْمَاسًا: عِشْرُونَ حِقَّةً, وَعِشْرُونَ جَذَعَةً,
وَعِشْرُونَ بَنَاتِ مَخَاضٍ, وَعِشْرُونَ بَنَاتِ لَبُونٍ, وَعِشْرُونَ بَنِي
لَبُونٍ ) أَخْرَجَهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ وَأَخْرَجَهُ اَلْأَرْبَعَةُ,
بِلَفْظٍ:
(
وَعِشْرُونَ بِنِي مَخَاضٍ ) , بَدَلَ: ( بُنِيَ لَبُونٍ ) وَإِسْنَادُ
اَلْأَوَّلِ أَقْوَى وَأَخْرَجَهُ اِبْنُ أَبِي شَيْبَةَ مِنْ وَجْهٍ آخَرَ
مَوْقُوفًا, وَهُوَ أَصَحُّ مِنْ اَلْمَرْفُوعِ
Artinya:
“Dari
Ibnu Mas'ud bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Denda
bagi yang membunuh karena kekeliruannya seperlima-seperlima dari 20 ekor hiqqah
(unta yang memasuki tahun keempat), 20 ekor jadz'ah (unta yang memasuki tahun
kelima), 20 ekor bintu labun (unta betina yang memasuki tahun ketiga), dan 20
ekor ibnu labun (unta jantan yang memasuki tahun ketiga). Riwayat Daruquthni.
Imam Empat juga meriwayatkan hadits tersebut dengan lafadz: 20 ibnu makhodl
menggantikan lafadz labun. Sanad hadits pertama lebih kuat. Ibnu Abu Syaibah
meriwayatkan dari jalan lain secara mauquf. Ia lebih shahih daripada marfu'.
Diyat
yang harus di tanggung oleh pelaku jani terhadap ahliwaris dari korban
pembunuhan yang khata’ ialah,100 ekor unta yang di tentukan dalam 5
kelompok jenisnya yaitu:
·
20 ekor unta hiqqah
·
20 ekor unta jadza’ah
·
20 ekor unta makhadh
·
20 ekor unta bintu labun
·
20 ekor unta ibnu labun.
Adapun
diyat pembunuhan orang wanita,maka adalah separoh dari diyat pembunuhan orang
laki-laki,jika pelaku jinayat belum baligh atau dewasa maka wajib di tahan
kecuali ada jaminan yang setara dengan diyat yang di tanggung pelaku jina hal
ini berlaku pada selain pembegal,jika pelaku jani tidak dapat membayar diyat
seketika maka diyat dapat di angsur selama tiga tahun dengan ansuran setiap
akhir tahun.
Adapun
diyat bagi orang yahudi,nasrani kafir mustakam,maka diyatnya yaitu sepertiga
diyat orang islam,baik membunuh atau melukai.[22]
sedangkan untuk kafir dzimmi yaitu setengah dari diyat kaum muslimin dan kafir
mu’ahad setengah diyat orang merdeka,
وَعَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم (
عَقْلُ أَهْلِ اَلذِّمَّةِ نِصْفُ عَقْلِ اَلْمُسْلِمِينَ ) رَوَاهُ
أَحْمَدُ وَالْأَرْبَعَةُ. وَلَفْظُ أَبِي دَاوُدَ: ( دِيَةُ اَلْمُعَاهِدِ نِصْفُ
دِيَةِ اَلْحُرِّ ) وَلِلنِّسَائِيِّ: ( عَقْلُ اَلْمَرْأَةِ مِثْلُ عَقْلِ
اَلرَّجُلِ, حَتَّى يَبْلُغَ اَلثُّلُثَ مِنْ دِيَتِهَا ) وَصَحَّحَهُ
اِبْنُ خُزَيْمَةَ
Artinya:
“Dari dia Radliyallaahu 'anhu
bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Diyat kafir
dzimmi (kafir yang keamanannya atas tanggung jawab pemerintah Islam) setengah
diyat kaum muslimin." Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Sedang lafadz menurut
riwayat Abu Dawud: Diyat kafir mu'ahad (yang terikat perjanjian dengan
pemerintahan Islam) setengah diyat orang merdeka." Menurut Nasa'i:
"Diyat perempuan setengah diyat laki-laki hingga sepertiga diyatnya."
Hadits dinilai shahih oleh Ibnu Khuzaimah.”
b.
Penganiayaan terhadap muslim
Sedangkan
diyat dalam hal penganiayaan atau mencederai jika yang di cederai adalah
anggota badan yang tunggal yang membawa banyak kemanfaatan dan kebaikan seperti
lidah,maka diyatnya sama dengan diyat dari pembunuhan secara di sengaja atau
diyat mugholadloh,namun jika yang di cederai salah satu dari anggota yang ganda
seperti kedua kaki dan tangan maka maka separoh dari diyat,namun jika
keduanya berlaku hukum diyat penuh.
وَعَنْ
اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا, عَنْ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم
قَالَ : ( هَذِهِ
وَهَذِهِ سَوَاءٌ -يَعْنِي: اَلْخُنْصَرَ وَالْإِبْهَامَ )
رَوَاهُ
اَلْبُخَارِيُّ وَلِأَبِي دَاوُدَ وَاَلتِّرْمِذِيَّ : ( دِيَةُ اَلْأَصَابِعِ سَوَاءٌ,
وَالْأَسْنَانُ سَوَاءٌ: اَلثَّنِيَّةُ وَالضِّرْسُ سَوَاءٌ )
وَلِابْنِ
حِبَّانَ : ( دِيَةُ
أَصَابِعِ اَلْيَدَيْنِ وَالرِّجْلَيْنِ سَوَاءٌ, عَشَرَةٌ مِنْ اَلْإِبِلِ
لِكُلِّ إصْبَعٍ )
Artinya:
“Dari Ibnu Abbas bahwa Nabi Shallallaahu
'alaihi wa Sallam bersabda: "Ini dan ini sama saja -yaitu jari kelingking
dan ibu jari”. Riwayat Bukhari. Menurut riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi:
"Denda jari sama-sama dan gigi-gigi juga sama; gigi depan dan geraham
sama." Menurut Riwayat Ibnu Hibban: "Denda jari-jari kedua tangan dan
kaki sama, sepuluh unta untuk setiap jari."
وَعَنْهُ;
أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( فِي الْمَوَاضِحِ خَمْسٌ, خَمْسٌ
مِنْ اَلْإِبِلِ )
رَوَاهُ
أَحْمَدُ. وَالْأَرْبَعَةُ. وَزَادَ أَحْمَدُ: ( وَالْأَصَابِعُ سَوَاءٌ,
كُلُّهُنَّ عَشْرٌ, عَشْرٌ مِنَ اَلْإِبِلِ ) وَصَحَّحَهُ اِبْنُ
خُزَيْمَةَ, وَابْنُ اَلْجَارُودِ
Artinya:
“Dari dia bahwa Nabi Shallallaahu
'alaihi wa Sallam bersabda: "Luka yang tulangnya tampak dendanya lima,
yaitu lima ekor unta." Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Ahmad menambahkan:
"Dan jari-jari masing-masing sepuluh unta."(Hadits shahih menurut
Ibnu Khuzaimah dan Ibnu al-Jarud)
Jadi
diyat untuk setiap pemotongan sebuah jari itu sama, baik jari jempol, kelingking
yaitu diyatnya sepuluh ekor unta, dan setiap masing-masing sebuah gigi diyatnya
adalah lima ekor unta, dan begitu juga dengan diyat dari luka yang tulangnya
nampak.[23]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari materi diatas dapat disimpulkan bahwa:
1. jarimah diartikan sebagai perbuatan-perbuatan yang dilarang
oleh menurut syara dan ditentukan hukumannya oleh Tuhan, baik dalam bentuk
sanksi-sanksi yang sudah jelas ketentuannya (had) maupun
sanksi-sanksi yang belum jelas ketentuannya oleh Tuhan (ta'zir).Qisas adalah
pembalasan yang serupa yang dilakukan terhadap seseorang yang melakukan tindak
penganiayaan atau kejahatan yang merugikan orang lain sesuai dengan perbuatan
atau pelanggarannya, baik itu terbunuh,melukai, merusak anggota badan,atau
mnghilngkan manfaatnya. Diyat
adalah ialah denda pengganti jiwa yang tidak berlaku atau tidak dilakukan
padanya hukum bunuh.
2. Dasar hukum qisash dan diyat: Al-Qur’an,
Hadis, dan ijmak
3. Macam-macam qishash:
a. Qishash karena melakukan jarimah
pembunuhan
b. Qishash karena melakukan jarimah
penganiyaan
Ada 5 jenis
kejahatan yang masuk di dalam akibat hukum qishash yaitu: Pembunuhan sengaja,
Pembunuhan tersalah, pembunuhan tidak sengaja, Pencederaan sengaja, dan Pencederaan
tersalah
Macam-macam Diyat:
a. Diyat ditinjau dari kadarnya: Diyat
Mughalladzhah (Diyat berat), Diyat Mukhafafah (Diyat ringan)
b. Ditinjau Dari Jenis Kejahatanya: Diyat pembunuhan dan Diyat selain pembunuhan
c. Ditinjaui Dari Perbedaan Jenis dan
Kafa’ah
4. Akibat/Hukuman dari qishash dan
diyat
1. Hukuman qishash: Bagi pembunuhan
sengaja (القتل العمد) maka sanksinya ada 3 yaitu :Hukuman Pokok
(al-‘uqubat al-ashliyah), Hukuman
Pengganti (al-‘uqubat al-badaliyah), Hukuman Tambahan (al-‘uqubat
al-thaba’iyah). Bagi Pembunuhan yang seperti sengaja (القتل شبه العمد) maka sanksinya ada 3 yaitu :Hukuman Pokok
(al-‘uqubat ashliyah), Hukuman Pengganti (al-‘uqubat badaliyah), Hukuman
Tambahan (al-‘uqubat al Thaba’iyah).
2. Penerapan hukuman diyat adalah
:Pembunuhan terhadap muslim ada tiga yaitu : Pembunuhan yang benar-benar di
sengaja, Pembunuhan seperti di sengaja. Pembunuhan yang tidak di sengaja atau
kekliruan(khata’) dan Penganiayaan terhadap muslim.
B.
Saran
Demikianlah makalah ini kami
buat, kami sangat mengharap kritik dan
saran yang membangun agar dapat menjadi sumber rujukan, sehingga dalam
penulisan makalah kami lebih baik di masa mendatang. Semoga makalah ini dapat
bermamfaat bagi kita semua.
DAFTAR
PUSTAKA
Ali bin Abu Zahrah Al-Jurjani, Kitab Al-Ta’rifat, ( Jakarta: Dar Al-Hikmah, 1985)
Abd al-Qadir ‘Audah, Al-Tasri’ al-Jana’ i al-Islami, (Beirut:
Mu’assasah al-Risalah, 1992)
As’ad
aliy, Terjemah Fathul Mu,
(Yogyakarta: Menara Kudus, 1979)
Abu
Amar Imron, Terjemahan Fat-hul Qarib,
(Kudus: Menara Kudus, 1983)
Abu Ya’la, Al- Ahkam Al- Sultaniyyah, (Beirut:
Dar Al- Kutub Al- Ilmiyyah, 1983)
Ibrahim
Anis, Al-Mu’jam Al-Wasit, (Mesir:
Majma’ Al-Lughah Al- Arabiyyah, 1972)
Ibn ‘Abidin, Radd al-Muhtar ‘ala al- Durr al-Mukhtar, (Beirut: Dar Ihya
al-Turats al-Arabi, 1987)
M. Nurul Irfan dan Masyrofah., Fiqh
Jinayah, (Jakarta: Paragonatama Suhardi, 2013)
Sayyid
Sabiq, Fiqih Sunnah Jillid 4,(Jakarta: Cakrala Publishing, 2009)
Sulaiman Rasjid, Fiqh
Islami, (Jakarta: Djajamurni Djakarta, 1959)
Zain al-Din bin Ibrahim Ibn Nujaym,
Al-Bahr al-Ra’iq Syarh Kanz al-Daqa’iq,
(Beirut: Dar al- Kitab al-Islami, 1992)
[1] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bogor: PT
Sygma Examedia Arkanleema, 2007), h. 30.
[2] Ali bin Abu Zahrah Al-Jurjani, Kitab Al-Ta’rifat, ( Jakarta: Dar
Al-Hikmah,1985 ), h. 176.
[3] Ibrahim Anis, Al-Mu’jam Al-Wasit, (Mesir: Majma’
Al-Lughah Al- Arabiyyah, 1972), h. 740.
[6]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 27.
[7]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 285.
[8]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 115.
[9] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 93.
[10]Abd al-Qadir ‘Audah, Al-Tasri’ al-Jana’ i al-Islami, (Beirut:
Mu’assasah al-Risalah, 1992), h. 94
[11] Abd al-Qadir ‘Audah, Al-Tasyri’ al-Jana’i al-Islam, h. 663.
[12] Zain al-Din bin Ibrahim Ibn
Nujaym, Al-Bahr al-Ra’iq Syarh Kanz
al-Daqa’iq, (Beirut: Dar al- Kitab al-Islami, 1992), h. 334.
[13]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 27.
[15] Abdul
Qadir Audah, Al- Tasyri’ Al- Jina’i Al- Islami, h. 10. Abu Ya’la,
Al- Ahkam Al- Sultaniyyah, (Beirut: Dar Al- Kutub Al- Ilmiyyah, 1983)
, h. 272-275.
[20] Ibn ‘Abidin, Radd al-Muhtar ‘ala al- Durr al-Mukhtar,
(Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabi, 1987), h. 346.
[21] As’ad aliy, Terjemah Fathul Mu, (Yogyakarta: Menara Kudus, 1979), h. 268
[22] Abu Amar Imron, Terjemahan Fat-hul Qarib, (Kudus: Menara
Kudus, 1983), h. 120.
[23] As’ad Aliy, Terjemah Fathul Mu, h. 273.